CILACAP.INFO – Dahulu kala, di tepi Sungai Serayu wilayah Desa Maoslor, Kecamatan Maos, terdapat sebuah padepokan yang terkenal. Banyak orang dari berbagai daerah datang untuk menimba ilmu kebatinan maupun ilmu kanuragan. Padepokan itu dipimpin oleh seorang tokoh agama Islam yang terkenal dengan panggilan Mbah Platarklasa. Ada yang menyebutnya pula dengan nama Mbah Patrakusuma.
Konon ceritanya, beliau adalah seorang utusan dari Kerajaan Mataram (Pasuruan, Jawa Tengah) bernama Pangeran Rogokerti, bersama saudara sepupunya Dewi Roh Esti yang pada waktu itu ditugaskan di tlatah kulon untuk menghimpun kekuatan, tidak lain untuk mengusir penjajah Belanda. Beliau datang ke rumah Wongso Dipuro, petani jahe penghuni awal tlatah Maoslor yang tinggal di Gang Gombong yang sekarang diganti nama Jalan Jambu.
Suatu malam mereka duduk-duduk di tempat yang tidak jauh dari Gang Gombong bersama tiga puluh lima orang sahabatnya untuk membicarakan tentang dituasi di Kerajaan Mataram yang porak poranda karena kekejaman penjajah Belanda. Tempat itu sering digunakan sebagai tempat musyawarah dan sebagai tempat istirahat di kala mereka lelah berputar mengelilingi desa.
Tempat itu akhirnya diberi nama Palinggihan yang artinya ‘tempat duduk’ sehingga sekarang sebagai nama dusun. Beliau merasa hidupnya lebih nyaman, rakyat sekitar pun merasa tenteram karena perlakuan Mbah Platarklasa yang arif dan bijaksana serta mempunyai kesaktian yang luar biasa.
Mbah Platarklasa merupakan pemilik bundhel berisi pusaka yang berkekuatan gaib berupa tombak, keris, sutra dua jenis, stambul, dan cincin. Bundhel tersebut diperoleh dengan keprihatinan dalam menjalani hidup, bertapa tanpa mengenal lelah, berpuasa hingga empat puluh dari empat puluh malam, baik puasa lahir maupun batin. Menjelang wafat, beliau berpesan kepada para cantriknya.
“Wahai para cantrik, tolong wasiat ini sampaikan kepada siapa pun yang menempati wilayah Maoslor dan sekitarnya. yang pertama, janganlah berani membuat atau memasang pagar jaro (bambu) menyamai pagar makam para leluhur! Kedua, jangan membuat rumah bentuk bale malang. Dan, yang terakhir, jangan membuat taman yang gemerlapan!”
Entah apa alasannya, yang jelas itulah pesan terakhir yang beliau sampaikan. Mbah Platarklasa pun wafat menghadap Sang Pencipta. Karena kearifan dan kelebihan yang dimiliki, makamnya terus dikunjungi para peziarah yang datang dari berbagai daerah. Bahkan, pernah seorang putri raja asli dari Bali bernama Dewi Siti Ghojari yang sudah lama menetap di Keraton Surakarta datang dengan mengendarai kereta kuda yang bernama Jaran Megantara. Dewi Siti Ghojari bermaksud untuk bersemadi mencari ketenangan diri. Tibatiba angin menyapu memorak-porandakan pohon-pohon di se kitar tempat duduk Dewi Siti Ghojari bersemedi. Lenyapnya suara gemuruh terdengar sayup-sayup suara gaib.
“Ngger, untuk sementara menetaplah di Palinggihan ini. Sucikan dirimu dengan puasa selama empat puluh hari empat puluh malam (ngebleng). Berputarlah mengelilingi desa sebanyak tujuh kali di malam Jumat Kliwon atau Selasa Kliwon mulai pukul 00.00 dan jangan sekali-kali kaugunakan untuk kesombongan, hingga kaumenemukan kesempurnaan hidup!”
Dalam hati Dewi Siti Ghojari bertanya, “Suara apa itu? Apa yang terjadi?” Dengan rasa takut, gemetar hingga berdiri seluruh bulu kuduk, beliau bertahan untuk tidak beranjak dari tempat duduknya. Diyakininya pasti ini yang dinamakan wangsit. Lalu, bagaimana, apakah Siti Ghojari melaksanakan wangsit itu? Dewi Siti Ghojari seketika itu juga melaksanakan apa yang diwangsitkan oleh suara gaib.
Betapa terkejut Dewi Siti Ghojari setelah empat puluh hari berpuasa ngebleng, kembali datang suara gemuruh. Ia terperanjat dengan hadirnya benda aneh berupa bundhel sudah ada di ha dap annya.
Singkat cerita, bundhel tersebut menjadi benda gaib yang turuntemurun. Dipegang oleh keturunan di dalam keluarga. Sampai suatu saat, bundhel tersebut dipegang oleh keturunan ke-33, yaitu Ki Anwar. Peninggalan pusaka bundhel bertahun-tahun dirawat oleh Ki Anwar, penduduk Desa Maoslor. Menjelang ajal, Ki Anwar bermaksud mewariskan bundhel tersebut kepada anak-anaknya. Namun, bag aimana dengan anak-anak Ki Anwar? Adakah yang sanggup menerima ta waran orang tua mereka?
Ternyata, tidak seorang pun anak Ki Anwar mau menerima karena beranggapan bahwa benda tersebut mengandung aliran dinamisme. Sementara, putra-putra Ki Anwar tidak ingin akidahnya ternoda oleh kepercayaan dinamisme. Ki Anwar saat itu sangatlah bingung, sedih mengingat umur yang sudah tua.
“Kepada siapa bundhel ini akan kuserahkan?” dalam keadaan bingung datanglah seorang abdi dalem bernama Ki Abu Hasan, sepupu Ki Anwar yang sudah lama mengabdi.
“Kanjeng, jangan bersedih! Suatu saat pasti ada penerus yang mampu mewarisi. Percayalah padaku, Kanjeng! Pasrahkan saja kepada Sang Pencipta.”
“Terima kasih, Ki Abu. Perkataanmu telah membuat hatiku sedikit lega.”
Tidak sampai satu tahun apa yang disampaikan Ki Abu Hasan menjadi kenyataan. Bahkan, ternyata Ki Abu Hasan sendiri yang menerima wangsit tersebut melalui mimpi-mimpi Ki Anwar. Secara gaib pula bundhel sudah ada di senthong kecil tempat Ki Abu Hasan bersemadi. Sejak saat itu banyak orang berdatangan ke rumah Ki Abu Hasan. Beliau dianggap sebagai sesepuh atau orang pintar. Mereka datang untuk meminta bantuan berbagai macam kesulitan hidup Bahkan mengobati orang sakit.
Dengan hati tulus, dilayaninya orangorang tanpa mengharap imbalan apa pun. Tidak terasa empat puluh tahun sudah Ki Abu Hasan memegang amanah tersebut. Beliau ingin mewariskan kepada anaknya. Dipanggilnya anak tertua karena sudah menjadi kebiasaan turun-temurun bahwa pewaris bundhel adalah anak laki-laki yang paling tua.
“Anakku, Tuslam. Umurku sudah tua. Mungkin hidupku tidak akan lama lagi. Bapak percaya kau pasti dapat memegang bundhel warisan leluhurmu!”
“Tidak Bapa. Bukan saya orang yang tepat untuk menerima bundhel itu. Berikan saja kepada yang mampu merawat dan menjaganya.”
Mendengar kakak kandungnya tidak mau menerima, datanglah putra Abu Hasan yang bungsu, yaitu Ki Hadi Prayitno yang terkenal dengan panggilan Hadi Rame. Dengan lantang ia berkata, ” Bapa, jika Kakang Tuslam tidak mau, saya siap melanjutkan jejak Bapa.”
Ki Abu Hasan masih menyangsikan putra bungsunya apakah mampu menjalankan amanah yang cukup berat. Apalagi dengan persyaratan yang tidak mudah. Mengingat usianya yang masih terlalu muda dikhawatirkan masih banyak memikirkan keduniawian. Oleh karena itu, Ki Abu Hasan masih memberi kesempatan kepada Ki Hadi Rame agar dipikirkan masak-masak.
Kemauan keras Ki Hadi Rame tidak dapat lagi dibendung. Beliau berpikir siapa lagi kalau bukan ia yang menerima. Kakak satu-satunya menolak dengan sangat tegas. Jangan sampai Bundhel Tlatah Maoslor lepas dari keluarga. Mulailah Ki Hadi Rame memenuhi seluruh persyaratan. Pada saat tapa yang dilakukan Ki Hadi Rame belum selesai, datanglah seorang pengembara dari Jawa Barat bernama Ki Slamet. Ki Slamet bertamu ke rumah Ki Abu Hasan dengan tujuan meminta bundhel warisan leluhur.
“Ki Abu Hasan, saya mendapat wangsit dari Mbah Platarklasa melalui mimpi. Sayalah yang berhak merawat bundhel melanjutkan tugas Ki Abu Hasan.”
“Apa maksud perkataanmu, Slamet?” tanya Ki Abu Hasan.
“Apa masih kurang jelas ucapan saya? Saya minta Ki Abu Hasan menyerahkan bundhel itu sekarang juga kepada saya! Saya sudah terbiasa merawat pusaka, percayalah kepada saya!”
“Oh, itu maksudmu?”
Ki Abu Hasan masuk ke senthong tempatnya menyepi. Ia mengambil bundhel dan meletakkan di atas meja.
“Silakan diambil, silakan dibawa!”
“Baik, itu perkara mudah, Ki Abu!”
Sambil mengangkat bundhel yang ada di atas meja tepat di hadapan Ki Abu, Ki Slamet dengan pongahnya berucap, “Terima kasih, Ki Abu, hahaha… .”
Namun, apa yang terjadi. Jeritan histeris terdengar memekakkan telinga. Ki Slamet terlempar jauh. Ia mengerang kesakitan. Dengan langkah gontai dan rasa penasaran serta napasnya yang masih terengah-engah, Ki Slamet berusaha mendekat kembali untuk mengambil. Namun, apa yang terjadi. Kembali pertarungan terjadi antara Ki Slamet dan kekuatan gaib dari bundhel yang sangat dahsyat.
Ki Slamet terlempar ketika berusaha mengambil bundhel.
“Seett… sett ciiaattt, aahhh, panaas…!” Ki Slamet terlempar jauh. Bahkan, ia sempat menjadi tontonan masyarakat sekitar. Berkali-kali dicoba, ternyata menyentuh pun tidak sanggup, apalagi membawa dan memboyongnya. Setelah beberapa hari Ki Abu Hasan meninggal dunia. Isi dari bundhel sudah tidak lagi lengkap karena stambul dan cincin putih setelah dibuka hilang musnah tanpa bekas. Tidak seorang pun yang mengetahui di mana keberadaannya.
Bagaimana nasib Bundhel Tlatah Maoslor. Siapakah yang menjadi penerus Ki Abu Hasan? Berkat kegigihan untuk melaksanakan berbagai persyaratan sebagai penerus orang tuanya, akhirnya Ki Hadi Rame anak bungsu dari Ki Abu Hasan kesampaian juga untuk merawat bundhel tersebut hingga sekarang. Beliau tinggal di Dusun Palinggihan tepatnya di Jalan Sawo. Hal itu merupakan bukti bahwa pewaris Bundhel Tlatah Maoslor adalah orang yang benar-benar jujur, arif, bijaksana, dan rendah hati.
Sampai sekarang menjadi keyakinan masyarakat Maoslor dan sekitarnya untuk tetap memegang teguh wasiat Mbah Platarklasa dan merawat makamnya dengan baik serta menjadikannya sebagai tempat berziarah bagi masyarakat untuk mendapatkan berkah Allah SWT.
Diceritakan oleh: Tri Wahyuni
Disadur dari Cerita Rakyat Cilacap Jawa Tengah
Diterbitkan oleh Balai Bahasa Jawa Tengah Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan