Kerajaan Demak yang terkenal dengan kemakmuran dan keadilan tiba-tiba dilanda keributan yang menggemparkan. Salah satu keris pusaka yang sangat ampuh raib tanpa meningg alkan jejak. Hal tersebut membuat Sultan Trenggono gelisah. Kegelisahan itu berkaitan dengan keampuhan keris tersebut. Jika keris tersebut berada di tangan yang salah, rakyat akan dilanda malapetaka yang teramat dahsyat. Pagi hari sang Sultan mengumpulkan perwiraperwira tempurnya untuk berunding mengenai hilangnya keris Tirta Mukti.
“Wahai panglima-panglimaku, sengaja pagi ini aku mengundang kalian untuk membahas persoalan yang sangat penting yang telah me landa negeri kita,” ujar sang Sultan. Sambil memberi hormat seorang panglima perang berujar, “Tanpa mengurangi rasa hormat kami kepada Paduka, persoalan apakah yang membuat Paduka menjadi gelisah dan khawatir sehingga harus mengadakan pertemuan pagi ini?”
“Panglima perangku Adiyaksa dan perwira yang lainnya, perlu kalian ketahui bahwa keris Tirta Mukti telah raib dari tempatnya. Tak ada satu tanda pun yang dapat dijadikan sebagai pedoman untuk melacak keberadaan pusaka tersebut.”
Mendengar pernyataan sang Sultan, seluruh perwira yang hadir dalam pertemuan tersebut sangat terkejut. Mereka merasa penjagaan sudah dilakukan dengan sangat ketat dan tidak mungkin ditembus oleh siapa pun untuk sampai ke wilayah penyimpanan benda-benda pusaka Kerajaan.
“Ampun Baginda, mengingat penjagaan tempat penyimpanan pu saka yang sangat ketat mustahil bagi orang luar untuk sampai ke tempat tersebut,” ujar Adiyaksa. “Apa yang kau ucapkan itu memang benar, Adiyaksa. Inilah yang membuatku bingung. Mengapa penjagaan yang sangat ketat itu dapat ditembus oleh pencuri itu. Jika memang itu terjadi, dapat kau bayangkan betapa saktinya pencuri itu,” jawab sang Sultan. Ruang pertemuan itu kembali riuh. “Ampun Sultan, menurut hamba pasti ada orang dalam yang membantu sang pencuri untuk sampai ke tempat penyimpanan benda pusaka Kerajaan. Atau, jangan-jangan yang menjadi pencurinya adalah orang kita sendiri,” ujar salah satu perwira.
Ruangan kembali riuh oleh pernyataan sang panglima, setiap panglima yang hadir mempertanyakan kira-kira siapa orang yang telah tega mengkhianati Sultan Trenggono dan Kerajaan Demak. “Itu yang terlintas dalam pikiranku juga. Pasti ada pengkhianat di tengah-tengah kita, tapi siapa?” tanya sang Sultan.
“Itu tidak penting untuk saat ini. yang terpenting adalah di mana keberadaan keris Tirta Mukti sekarang ini? Jika keris itu jatuh di tangan orang jahat, rakyat dan kerajaan kita akan ditimpa musibah yang sangat luar biasa, mengingat betapa saktinya keris Tirta Mukti. Nah, untuk mengatasi hal ini, Aku, Sultan Trenggono, Penguasa Kerajaan Demak, akan mengutus beberapa dari kalian yang hadir di sini untuk melacak keberadaan keris Tirta Mukti,” ujar sang Sultan. “Panglima Adiyaksa, masalah ini kuserahkan kepadamu. Pilih beberapa perwira terbaikmu untuk melacak keberadaan keris Tirta Mukti. Kalau perlu sebarkan beberapa mata-mata yang ada di kerajaan ini untuk mencari informasi keberadaan pusaka tersebut!” perintah Sultan kepada Panglima Perang Adiyaksa.
Lalu dipilihlah beberapa perwira terbaik di Kerajaan Demak untuk mencari keris Tirta Yaksa. Namun, beberapa bulan keris Tirta Yaksa belum juga ditemukan. Bahkan, perwira yang ditunjuk untuk mengemban tugas itu pun tidak pernah kembali lagi ke Kerajaan Demak. Melihat situsi seperti itu, kecemasan Sultan Trenggono semakin menjadi-jadi karena keris itu sangat ampuh, jika jatuh ke tangan orang jahat, pastilah malapetaka akan terjadi.
Untuk mengatasi rasa cemasnya, akhirnya sang Sultan bertapa. Sang Sultan mencari petunjuk dari Sang Pencipta. Dalam pertapaannya, sang Sultan mendapatkan petunjuk bahwa ada seorang pemuda yang akan dapat menemukan dan mengembalikan keris Tirta Yaksa ke Kerajaan Demak. Pemuda itu tinggal di sebuah masjid yang ada di wilayah Demak. Pemuda itu memiliki kesaktian luar biasa. Ia bernama Arya Jabat.
Mengetahui hal tersebut, Sultan Trenggono segera memanggil panglima perangnya. Sultan pun mengutus panglima Adiyaksa untuk menemui dan menjemput Arya Jabat. “Segala perintah Sultan akan segera hamba laksanakan. Hari ini juga hamba akan berangkat ke desa itu dan akan membawa Arya Jabat ke hadapan Sultan secepat mungkin,” sembah Adiyaksa.
Adiyaksa lalu berangkat ke daerah yang disebutkan oleh sang Sultan untuk menjemput Arya Jabat. Perjalanan menuju tempat itu ditempuh selama dua hari dua malam. Adiyaksa memacu kudanya secepat mungkin. Ia hanya beristirahat sebentar untuk makan dan menjalankan salat. Setelah sampai, Adiyaksa kemudian mengutarakan maksud dan niatnya kepada sang pemuda. Mendengar cerita Adiyaksa, dengan mantap Arya Jabat memenuhi permintaan sang Sultan. Pagi harinya mereka berangkat menghadap Sultan Trenggono di Demak.
Dua hari kemudian sampailah kedua orang itu di Kerajaan Demak. Setelah membersihkan diri dan beristirahat sejenak, Adiyaksa mengajak Arya Jabat menghadap Sultan Trenggono. Sultan Trengg ono sangat bersuka cita menerima kehadiran Arja Jabat dan Adiyaksa. “Wahai pemuda yang gagah berani, apa benar kamu yang bernama Arya Jabat?” tanya Sultan. “Ampun, Sultan, benar hamba adalah Arya Jabat. Apa yang dapat hamba lakukan untuk Sultan dan Kerajaan Demak?” jawab Arya Jabat.
“Arya Jabat, Kerajaan Demak baru dilanda musibah. Keris Tirta Mukti telah raib dari tempatnya. Saya tidak tahu siapa pencurinya dan di mana keberadaan benda pusaka itu sekarang. Setelah aku melakukan tapabrata, aku mendapatkan petunjuk dari Sang Pencipta bahwa hanya kamu yang akan dapat menemukan benda pusaka keris Tirta Muti. Setelah aku mencari keberadaanmu dan mencari informasi tentang kamu, aku dengar kesaktianmu cukup tinggi. Oleh karena itu, aku ingin kaumencarikan keris Tirta Mukti untukku. Jika kau berhasil, sebagai hadiah atas keberhasilan yang kamu raih, ambillah tahta Kadipaten Ambarawa sebagai hadiah dari Demak,” jawab Sultan dengan tersenyum. Sultan sangat yakin kali ini keris itu akan segera ditemukan.
“Baiklah, Sultan. Titah paduka akan hamba laksanakan dengan seluruh kemampuan yang saya miliki. Segera akan saya temukan dan akan saya kembalikan keris Tirta Mukti demi kemakmuran dan kebesaran Kerajaan Demak.” Sultan sangat senang mendengar kesanggupan dan janji Arya Jabat. Sultan bersabda, “Demak memiliki pusaka yang menurutku akan mampu menandingi keampuhan Keris Tirta Mukti jika benar ia telah jatuh di tangan orang jahat dan kau harus bertempur melawan orang itu untuk merampas pusaka Tirta Mukti. Bawalah pedang ini sebagai bekal, mungkin suatu saat kau akan membutuhkannya,” pesan Sultan sebelum Arya Jabat berangkat.
“Panglimaku Adiyaksa, urus semua perbekalan dan keperluan Arya Jabat. Penuhi semua permintaannya agar dia tidak kehabisan bekal di perjalanan,” perintah Sultan kepada Adiyaksa. Setelah menerima pedang dari Sultan Trenggono dan membawa perbekalan yang cukup, Arya Jabat berangkat memulai petualangannya mencari dan mengembalikan Keris Tirta Mukti ke Demak.
Hari demi hari dilalui Arya Jabat dalam perjalanan mencari Keris Pusaka. Semua halangan rintangan yang ditemui di jalan berhasil dilewati. Jin dan lelembut yang mencoba menghalanginya berhasil dia taklukan. Semua itu berkat ketaatannya dalam beribadah dan kesaktian ilmu kanuragan yang ia pelajari sejak dia masih kanakkanak. Gunung dilewati, sungai besar disebrangi, masuk ke luar hutan dijalani untuk menjunjung perintah Sultan Trenggono. Tanpa putus asa ia terus mencari di berbagai tempat.
Ia selalu bertanya kepada setiap orang yang ia temui di setiap perjalannya. Setiap padepokan ia singgahi. Ia selalu bertanya kepada pemimpin padepokan tentang Keris Tirta Mukti. Namun, semua yang sudah dilakukan belum membuahkan hasil yang dapat menuntunnya ke tempat keberadaan Keris Tirta Mukti. Ia tidak pernah menyerah. di setiap pencariannya itu Arya Jabat tidak lupa memanjatkan doa agar Tuhan memberikan petunjuk dan memudahkannya dalam mengemban titah Sultan Demak. Perintah dari Sultan Trenggono begitu ditaatinya, bukan karena menginginian tahta, namun sebagai wujud kepatuhan seorang hamba pada pemimpinnya.
Sudah berminggu-minggu Arya Jabat melakukan pencarian Keris Tirta Mukti. Tidak terasa bekal yang diberikan oleh Adiyaksa telah menipis dan pada akhirnya tidak bersisa. Mengetahui hal itu, Arya Jabat memutuskan untuk menyambangi sahabatnya yang ada di Padepokan Klapa Wuni. Padepokan itu sangat asri dan indah. Padepokan yang berada di sekitar Sungai Serayu itu dipimpin oleh seorang kiai yang bernama Klapa Wuni. Setelah ia menemui sahabatnya dan mengutarakan niatnya, Arya Jabat dibawa menghadap sang Kiai. Harapan yang ada dalam diri Arya Jabat adalah dia akan mendapatkan bantuan bekal dan informasi tentang Keris Tirta Mukti. Harapan itu rupanya tidak sia-sia, selain mendapat bekal, ia juga mendapat petunjuk dari Kiai Klapa Wuni tentang Keris Tirta Mukti.
“Alangkah berat beban yang engkau emban wahai pemuda. Keris itu berada tidak jauh dari tempat ini. Namun, untuk mendapatkan keris itu kamu harus menghadapi berbagai cobaan dan hambatan yang sekiranya akan dapat merenggut nyawamu,” ujar sang Kiai. “Alangkah bahagia hati saya mendengar kalau keberadaan benda pusaka itu tidak jauh dari tempat ini. Apa pun risikonya harus saya ambil Kiai demi terlaksananya tugas yang dipercayakan ke saya oleh Sultan Demak,” jawab Arya Jabat.
“Baiklah kalau itu sudah menjadi tekat dan keputusanmu. Aku tidak dapat memberikan secara jelas nama wilayah tempat pusaka itu berada. Namun, kamu harus melanjutkan perjalananmu ke arah barat. Setelah lebih kurang satu atau dua minggu perjalanan, kamu akan menemui sebuah desa yang sedang dilanda malapetaka, musim kemarau yang panjang menyebabkan desa itu mengalami paceklik. Nah, disitulah keris pusaka itu berada,” ujar Kiai Klapa Wuni. “Terima kasih Kiai atas bantuan dan informasi yang Kiai berikan kepada saya. Malam ini juga saya akan melanjutkan perjalanan sesuai dengan petunjuk Kiai,” jawab Arya Jabat.
Setelah berpamitan kepada sahabatnya dan Kiai Klapa Wuni, Arya Jabat melanjutkan perjalanannya untuk menemukan Keris Tirta Mukti. Hari silih berganti ia lalui hingga pada suatu hari setelah menempuh satu minggu perjalanan sampailah Arya Jabat di sebuah desa yang memiliki ciri-ciri seperti yang diucapkan oleh Kiai Klapa Wuni. Arya Jabat melihat pemandangan yang sangat menyedihkan akibat kemarau panjang yang dialami oleh desa tersebut.
Sambil memerhatikan keadaan sekeliling, Arya Jabat bergumam, “Astaghafi rullah. Benar apa yang dikatakan Kiai Klapa Wuni, desa ini benar-benar kekeringan. Persawahan tak terurus, ternak kurus-kurus Bahkan banyak yang mati kelaparan. Apa sebenarnya yang telah menimpa desa ini sehingga keadaannya sangat mengerikan seperti ini?”
Arya Jabat mempercepat langkahnya agar cepat sampai di pusat desa. Dalam waktu sekian menit sampailah dia di pusat desa. Keterkejutannya semakin bertambah ketika ia memperhatian keadaan sekitarnya, yang tidak jauh berbeda dengan keadaan luar desa. Tidak ada satu tanaman pun yang memiliki daun. Desa ini telah dilanda kemarau yang hebat. Banyak ternak yang ia jumpai dalam keadaan kurus kering. Jalan desa banyak yang retak-retak karena tidak mampu menahan terik matahari. Parit-parit pun kering kerontang.
“Ki Sanak, apa yang terjadi dengan desa ini?” tanya Arya Jabat pada salah satu penduduk yang kondisinya sangat mengenaskan. “Semua ini ulah Eyang Arjo Kusumo. Dia telah menjatuhkan kutukan ke desa ini karena penduduk sudah tidak mau memberikan tumbal kepadanya,” jawab penduduk desa. “Tumbal…? Maksud Ki Sanak tumbal apa?” tanya Arya Jabat dalam kebingungan yang semakin menghinggapinya.
“Setiap malam bulan purnama kami harus menyediakan seorang perempuan yang masih perawan. Jika kami tidak memberikannya, ia akan mengambilnya secara paksa dengan cara mengutus anak buahnya untuk menculik dan merampas dari penduduk. Bulan purnama dua tahun lalu kami tidak memberikannya karena memang di desa ini sudah tidak ada anak perawan. Mereka yang memiliki anak perawan memilih untuk ke luar dari desa ini atau mengungsikan anak perawannya ke saudara-saudaranya yang tinggal jauh dari desa ini,” jawab penduduk dengan nada ketakutan. “Siapakah Eyang Arjo Kusumo itu? Mengapa ia sangat kejam dan memiliki tabiat layaknya seorang iblis?” tanya Arja Jabat.
Penduduk itu kemudian menjelaskan panjang lebar tentang sosok manusia setengah iblis yang bernama Eyang Arjo Kusumo. Penduduk itu mengatakan bahwa Eyang Arjo Kusumo adalah seorang penyihir yang sangat menakutkan, badannya tinggi besar, hitam, rambut gimbal dan yang menjijikkan ia sangat suka minum darah. Tidak ada satu pendekar pun yang mampu menandingi dan mengalahkan manusia yang memiliki tabiat seperti layaknya iblis. Sudah puluhan Bahkan ratusan pendekar yang dibunuhnya. Hal tersebut terjadi karena ia memiliki keris sakti yang tidak dapat ditandingi oleh pusaka mana pun juga.
Salah satu kesaktian keris itu adalah dapat mencegah hujan hingga rakyat mengalami kemarau panjang yang menyengsarakan. Namun, pada saat Arya Jabat menayakan di mana dia dapat menemukan Eyang Arjo Kusumo, penduduk itu ketakutan setengah mati dan berlari meninggalkan Arya Jabat. Kemudian, ia mencoba untuk menggali informasi dari penduduk yang lainnya. Namun, yang ia dapatkan adalah tidak satu penduduk pun yang mau mengatakan di mana persembunyian Eyang Arjo Kusumo.
Hari telah berganti malam. Arya Jabat bertekad untuk mencari dan menemukan Eyang Arjo Kusumo. Pada saat ia mengutarakan niatnya kepada penduduk desa, penduduk melarangnya. Penduduk desa mengatakan kepada Arya Jabat bahwa Eyang Arjo Kusumo tidak akan dapat dikalahkan di malam hari. Pada malam hari kesaktian manusia berhati iblis itu menjadi berlipat ganda melebihi kekuatan seratus kerbau. Untuk menyenangkan hati penduduk, Arya Jabat memenuhi nasihat penduduk desa. Malam itu ia menginap di desa itu. Ia akan beristirahat dan mengumpulkan tenaga untuk menghadapi Eyang Arjo Kusumo di keesokan harinya.
Sebelum tidur Arya Jabat menunaikan ibadah salat isya. Untuk keperluan itu, ia harus berwudhu. Setelah berjalan sekian lama Arya Jabat tidak menemukan setetes air pun untuk berwudhu. Akhirnya, ia memutuskan untuk tayamum. Ketika ia hendak bertayamum, samar-samar ia mendengar suara teriakan perempuan meminta tolong. Arya Jabat berusaha untuk menemukan suber suara tersebut. Dalam waktu yang tidak begitu lama, Arya Jabat menemukan sumber suara tersebut. Ia melihat seorang perempuan yang dikelilingi oleh empat laki-laki yang memakai baju dan ikat kepala serba hitam. Pada masing-masing pinggang orang tersebut terselip sebilah golok yang berkilau ditimpa sinar rembulan malam itu.
Pertempuran pun terjadi. Keempat orang tersebut berhasil dikalahkan oleh Arya Jabat dalam satu gebrakan jurus ilmu kanuragan yang dimilikinya. Melihat hal tersebut keempat orang itu lari dan meninggalkan Arya Jabat di tengah kesunyian hutan.
“Te… te… terima… ka… sih…, Ki Sanak, kalau bukan karena Ki Sanak, niscaya pesuruh Arjo Kusumo telah menangkapku dan menjadikanku tumbal untuk malam bulan purnama besok,” ucap wanita itu terbata-bata karena masih dilanda rasa takut yang luar biasa. “Sama-sama, Oya siapa namamu?” tanya Arya Jabat. “Nama saya Intan Sari. Nama Ki Sanak sendiri siapa?” “Nama saya Arya Jabat, saya dari Demak.”n “Kalau boleh tahu, apa yang membuat Kang Arya jauh-jauh datang dari Demak ke desa ini?” Lalu Arya Jabat menjelaskan asal-muasal dia melakukan per jalanan mencari Keris Tirta Mukti.
Melihat cantik dan lembutnya Intan Sari, muncul perasaan aneh dalam diri Arya Jabat. Arya Jabat jatuh cinta. Rupanya hal serupa dirasakan Intan Sari. Sepanjang perjalanan Intan Sari memberikan informasi kepada Arya Jabat bahwa sumur-sumur warga ditimbun dengan tanah. Sehingga menambah kesengsaraan penduduk, ia juga memberitahu keberadaan Eyang Arjo Kusumo. Sekarang bertapa di bawah pohon besar untuk mengembalikan kesaktiannya. di dekatnya ada sumur tua tempat membuang manusia dan hewan yang mati untuk tumbal sehingga baunya sangat memuakkan. Akibat kondisi sumur tua itu, banyak penduduk yang terkena wabah penyakit. Jika siang harinya sakit, malamnya akan meninggal dunia.
Penduduk benar-benar resah dengan keadaan ini. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika suasana desa itu siang malam sangat sepi dan memrihatinian. di mana-mana pemandangan serba memilukan. Dalam hati, Arya Jabat bernjanji untuk melepaskan desa ini dari Arjo Kusumo dan merebut Keris Tirta Mukti dari tangannya. Arya Jabat tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. Keesokan paginya perjalanan mencari Eyang Arjo Kusumo dimulai. Arya Jabat berpikir bahwa lebih cepat persoalan ini diselesaikan akan lebih baik. Tugas yang diembankan padanya akan segera tuntas dan mengembalikan Keris Tirta Mukti ke Demak. Setelah menempuh perjalanan selama hampir tiga jam, Arya Jabat melihat sesosok makhluk mengerikan sedang bertapa di bawah pohon besar. Ciri-cirinya orang yang bertapa di bawah pohon itu sama seperti yang Intan Sari ceritakan.
“Tak salah lagi dialah Eyang Arjo Kusumo yang telah mencuri Keris Tirta Mukti dan membuat kesengsaraan penduduk dengan keris itu. Aku harus segera menyelesaikan tugas ini demi penduduk desa dan tugas yang diemban dari Sultan Demak,” gumam Arya Jabat. “Hai Ki Sanak, kembalikan Keris Tirta Mukti yang kaucuri!” gertak Arya Jabat dengan suara lantang. Mendengar suara Arya Jabat pelahan Eyang Arjo Kusuma membuka mata dan menghentikan semadinya. “Huh kurang ajar! Siapa kau cecunguk, berani-beraninya mengganggu semadiku? Apa urusanmu dengan keris yang aku miliki. Keris ini milikku!! Selamanya akan jadi milikku. Hahaha…,” bantah Eyang Arjo Kusumo. “Manusia tidak punya malu…! Keris itu bukan punyamu. Keris itu milik Sultan Trenggono, penguasa Kerajaan Demak. Kau telah mencurinya dari Kerajaan Demak,” jawab Arya Jabat. “Huahaaaaa… hahahahaha… jika memang iya, kau mau apa? Mau ambil keris ini? Jika kau mampu ambilah!”
Eyang Arjo Kusumo melayang terbang menghampiri Arya Jabat.
Dalam hitungan detik pertempuran pun terjadi antara Arya Jabat dan Eyang Arjo Kusumo. Setelah berkata seperti itu Eyang Arjo Kusumo melayang terbang menghampiri Arya Jabat. Dalam hitungan detik pertempuran pun terjadi antara Arya Jabat dan Eyang Arjo Kusumo. Kedua orang itu memiliki kesaktian yang berimbang. Keduanya sama-sama sakti dengan pusaka di tangan masing-masing. Pertarungan berlangsung lama dan menguras tenaga. Tidak semudah yang Arya Jabat bayangkan untuk merebut Keris Tirta Mukti dari tangan Eyang Arjo Kusumo.
Begitu pun sebalikya, ternyata Arja Jabat tidak mudah dikalahkan seperti yang diperkirakan oleh Eyang Arjo Kusumo. Dari pagi sampai siang jurus demi jurus mereka adukan untuk mengalahkan satu sama lain. Pertempuran yang dahsyat itu beberapa kali mengeluarkan suara dentuman yang sangat keras pada saat tenaga dalam kedua orang itu beradu. Penduduk berbondong-bondong menyaksikan pertarungan. Mereka sangat berharap Arya Jabat dapat mengalahkan Eyang Arjo Kusumo agar mereka terlepas dari kutukan Keris Tirta Mukti.
Eyang Arjo Kusumo menghunus Keris Tirta Mukti dari sarungnya, seketika udara di sekitar menjadi sangat dingin menusuk sampai tulang bagian terdalam. Gerakan Arya Jabat menjadi lambat akibat situasi tersebut. Tanpa membuang waktu, Arya Jabat pun menghunus pedang pusaka pemberian Sultan Trenggono. Aneh… seketika itu suhu kembali seperti semula. Suara dentuman kembali terdengar ketika kedua pusaka itu beradu.
Setelah sekian ratus jurus mereka keluarkan, pada suatu kesempatan Arya Jabat berhasil merangsek Eyang Aryo Kusumo. Eyang Aryo Kusumo menjadi terpojok dan pada suatu kesempatan tiba-tiba pedang Arya Jabat sudah berada di samping leher Eyang Arjo Kusumo. Tinggal satu gerakan saja, terpisahlah kepala itu dari badan. Namun, gerakan itu urung dilakukan oleh Arya Jabat. Sekilas Arya Jabat melihat pujaan hatinya tergantung di sumur tumbal.
“Ha… ha… ha… ha… bocah bengal… sekarang kau tinggal pilih. Kau bebaskan aku atau kau biarkan pujaan hatimu mati di dalam sumur tumbal itu? Ha… ha… ha….” “Manusia culas…! Iblis licik… Awas kau…!” sambil berkata Arya Jabat tetap mengayunkan pedangnya dan terpenggallah kepala Eyang Arjo Kusumo. Namun, sebelum pedang itu sampai di leher dan memisahkan kepala dari tubuhnya, Eyang Arjo Kusumo berkesempatan mengayunkan keris Tirta Mukti di pinggang sebelah kanan Arya Jabat. Keduanya tersungkur di tanah. Saat itu juga Eyang Arjo Kusuma meregang nyawa dan Arya Jabat terluka parah akibat sabetan keris Tirta Mukti.
Dengan susah payah dan luka yang parah, sampailah Arya Jabat ke sumur tumbal. Intan Sari kemudian dibebaskan. Akan tetapi, Arya Jabat tergelincir dan terjerembab ke dalam sumur yang penuh dengan bangkai manusia yang mejadi tumbal Eyang Arjo Kusumo. Dengan susah payah Arya Jabat berusaha untuk ke luar dari sumur itu. Luka yang parah membuat Arya Jabat kehabisan darah dan tenaga sehingga dia tidak mampu ke luar dari sumur tumbal.
“Bertahanlah Kakang, aku akan mencari tali,” teriak Intan Sari. “Ambilah Keris Tirta Mukti dan pedangku ini. Pergilah ke Kerajaan Demak. Serahkan keris dan pedang ini kepada Sultan Trenggono,” ucap Arya Jabat dengan penuh susah payah akibat luka yang dialaminya.
“Jangan Kakang… Jangan tinggalkan aku.” Setelah melempar kedua pusaka itu, Arya Jabat menghembusan napasnya. Kesaktian Keris Tirta Mukti telah mengeluarkan nyawa Arya Jabat dari raganya. Setelah menhembusan napas untuk yang terakhir kalinya, keanehan pun terjadi. Sumur yang penuh dengan bangkai manusia berubah menjadi sumur dengan airnya yang sangat jernih. Secara ajaib pula terdengar suara Arya Jabat dari dalam sumur.
“Janganlah kalian bersedih… Ini sudah menjadi garis hidupku. Semoga air sumur ini akan membawa manfaat untuk kalian semua,” Semua penduduk desa berkabung atas kematian Arya Jabat. Arya Jabat harus meninggal untuk melepaskan penduduk desa dari kutukan Keris Tirta Mukti. Mulai saat itu penduduk desa tersebut tidak pernah kekurangan air bersih. Sumur itu akan tetap mengeluarkan air bersih meskipun di musim kemarau. Desa itu selalu menjadi hidup. Karena hal tersebut, penduduk desa bersepakat untuk memberi nama desanya Kahuripan yang berarti hidup kembali. Untuk mengenang sosok Arya Jabat yang telah menghidupkan desa itu kembali, penduduk menamai sumur itu Sumur Gemuling.
Copyright: Cerita Rakyat | Penerbit:
Balai Bahasa Jawa Tengah | Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.