Kisah Asal Mula Sungai Serayu

desa kesugihan kidul terdapat sungai serayu
desa kesugihan kidul terdapat sungai serayu

CILACAP.INFO – Alkisah, di Jawa Tengah terdapat sebuah sungai yang mengalir dari hulu Pegunungan Dieng hingga bermuara di Laut Selatan yang letaknya tidak jauh dari Gunung Srandil tepatnya Bedhahan Winong.

Konon, dahulu di wilayah itu ada sebuah kerajaan yang dipimpin oleh Prabu Dewanata. Prabu Dewanata me-mimpin dengan sangat arif dan bijaksana. Ia memiliki dua orang istri. Salah satu istrinya bernama Dewi Kunthi. Pernikahan sang prabu dengan Dewi Kunthi Nalibrata menghasilkan lima orang putra yang sering disebut dengan Pandawa Lima.

Salah satu putra sang Prabu dari pernikahan tersebut adalah Bima atau lebih dikenal dengan nama Werkudara. Bima adalah seorang senopati penegak Pandawa, bersifat jujur, gagah berani, berkemauan keras, tidak mudah ditundukkan.

Bima juga dikenal memiliki tekad yang keras, jika ia memiliki keinginan harus tercapai. Tidak seorang pun dapat mengurungkan niatnya. Jiwa dan hatinya telah menyatu dengan watak dan sifatnya yang tegas. Ia dikenal dengan semboyan “Rawe-rawe rantas, malang-malang putung” yang berarti ‘tidak gentar dengan apa pun, semua penghalang akan dimusnahkan’.

Suatu ketika Pandawa Lima mendapat perintah dari sang ayah, yakni membangun sebuah candi yang akan digunakan sebagai tempat pemujaan di dataran tinggi Dieng. Kelima saudara yang ter-diri atas si sulung Puntadewa, Bima si kuat dan tegas, si tengah gagah perkasa Arjuna, serta si kembar Nakula dan Sadewa memiliki tekad baja untuk melaksakan titah ayahanda mereka tersebut.

Mereka melakukan perjalanan yang sangat jauh melewati daerah yang tidak mudah, terjal, licin, dan hutan belantara yang belum terjamah manusia. Namun, sudah menjadi tekad Pandawa sehingga hal ini bukanlah suatu halangan bagi mereka.

Di tengah perjalanan, tiba-tiba Bima berkata, “Wahai saudara-saudaraku, mohon berhentilah sejenak. Aku sudah tidak tahan,” kata Bima dengan muka gugup seperti menahan sesuatu. Saudara Bima yang lain terlihat kebingungan.

“Tidak tahan mengapa, Adik Bima?” tanya Puntadewa menanyai dengan suaranya yang lembut berwibawa.

“Kakang Bima, ada apa? Kau baik-baik saja kan?” tanya Arjuna menghampiri saudaranya yang berbadan tegap dan tinggi tersebut.

“Ssstt…! Tenanglah saudara-saudaraku. Aku baik-baik saja,” balas Bima dengan memberi isyarat pada saudara-saudaranya. Nakula dan Sadewa yang juga bingung hanya saling bertatapan tidak tahu harus berkata apa.

Bima tersenyum kecut dan mengangkat tangannya sebagai tanda isyarat. Bima segera menghambur ke arah semak-semak dan berdiri dibalik pohon. Tidak lama kemudian terdengar suaranya dari balik pohon tersebut.

“Aaahh, lega rasanya. Saudara-saudaraku, mari kita lanjutkan perjalanan,” kata Bima dengan senyum lebar. Saudara-saudara Bima hanya tersenyum melihat kelakuan Bima tersebut. Konon, air seni Bima tersebut menjelma menjadi aliran sungai yang cukup deras alirannya.

Tidak berapa lama berjalan tibalah mereka di sebuah desa. Na-mun anehnya, suasana di desa tersebut sangat mencekam. Seluruh penduduknya tidak ada yang berani ke luar rumah. Semua rumah penduduk tertutup rapat. Tidak terlihat aktivitas layaknya sebuah kehidupan desa yang tenteram. Pandawa heran dan penasaran dengan apa yang terjadi di desa yang belum mereka ketahui namanya tersebut.

“Apa gerangan yang terjadi?” Puntadewa atau Yudistira membu-yarkan keheningan.

“Kita coba mencari tahu saja dari penduduk, Kakang!” sergah Arjuna.

“Tetapi, tidak ada satu pun pintu rumah penduduk yang terbuka.

Kita hendak bertanya pada siapa, Adi?” lanjut Puntadewa gusar.

Mereka berlima terus berjalan menyusuri lorong desa yang sepi senyap itu. Mereka merasakan aroma anyir di mana-mana. Setelah beberapa lama mereka dihinggapi rasa penasaran dan gusar, sampailah mereka di sebuah gubuk yang pintunya terbuka sedikit. Dengan hati-hati Puntadewa selaku pemimpin Pandawa mengucapkan salam di depan pintu gubuk tersebut.

“Sampurasun, apakah ada orang di dalam?” tanyanya sopan dan lembut. Tidak ada jawaban dari gubuk tersebut. Puntadewa pun mengulangi salamnya. Bima yang sedari masuk wilayah tersebut sudah penasaran merasa sangat tidak sabar.

Ia hendak masuk ke dalam gubuk untuk mencari tahu apakah ada penduduk yang da-pat memberikan keterangan tentang keadaan desa yang sangat men-cekam tersebut. Ketidaksabaran Bima tersebut segera dicegah oleh Puntadewa dan Arjuna.

“Sabarlah, Adik Bima. Ayahanda dan ibunda mendidik kita untuk tahu adan sopan santun. Bukan begitu caranya bertamu. Aku mohon jagalah sikapmu!” cegah Puntadewa dengan penuh kewibawaan.
“Iya, Kakang Bima. Kita coba mengucap salam dahulu. Siapa tahu penghuni gubuk ini tidak mendengar,” tukas Arjuna dengan senyum mengembang menenangkan sang kakak yang tampak sudah tidak sabar tersebut.

Sementara itu, Nakula dan Sadewa hanya berdiri santun. Puntadewa mengulangi lagi salamnya untuk kali ketiga. Tidak berapa lama muncullah seorang lelaki renta dari arah belakang gubuk tersebut.

“Ada apa, Ki Sanak? Siapa kalian? Apakah kalian utusan Bakasura?” tanya lelaki itu dengan wajah ketakutan.

“Tenang, Ki. Kami datang dengan maksud yang baik. Perkenalkan, kami Pandawa. Putra Prabu Dewanata. Saya Puntadewa, mereka ini adik saya Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa,” jawab Puntadewa de-ngan tenang sembari memperkenalkan diri pada penghuni gubuk tersebut.

“Mau apa kalian datang ke desa ini? Desa ini hampir mati, Anak Muda. Bakasura menghabisi hampir seluruh penduduk desa. Ia sa-ngat tamak dan tidak berperikemanusiaan. Bahkan, kemarin ia su-dah memakan kepala desa kami. Pergilah kalian, pergilah sebelum Bakasuran memangsa kalian juga!” jelas lelaki tua tersebut.

“Aki, mohon maaf. Bolehkah saya tahu siapa Bakasura itu? Me-ngapa ia memangsa seluruh penduduk desa? Apa yang sebenarnya terjadi, Ki?” cecar Arjuna didorong oleh rasa penasaran yang teramat sangat.

“Anak Muda, masuklah dahulu ke gubukku. Aku khawatir Ba-kasura datang dan tiba-tiba menyergap kita semua di sini,” ajak lelaki tua tersebut mempersilakan para tamunya masuk ke gubuknya.

“Terima kasih, Ki. Ayo adik-adikku, kita masuk!” ajak Puntadewa kepada adik-adiknya.

Lelaki tua itu menggelar sebuah tikar lusuh dan mempersilakan para tamunya duduk di atasnya. Ia menghidangkan sebuah kendi berisi air dan sepiring makanan kepada para tamunya tersebut.

“Anak Muda, silakan dinikmati. Mohon maaf, saya hanya memiliki makanan itu. Maklumlah, sudah hampir setengah bulan saya tidak bekerja karena takut termangsa oleh Bakasura,” terang sang lelaki tua dengan wajah sendu penuh kegundahan.

“Terima kasih, Ki. ini sudah lebih dari cukup. Keramahan dan penerimaan Aki sudah sangat menyamankan kami,” jawab Punta-dewa dengan senyuman khasnya yang penuh kharisma.

“Mohon maaf, Aki. Sebenarnya siapakah Bakasura itu?” tanya Arjuna sudah mulai tidak sabar.

“Anak Muda, Bakasura adalah sosok raksasa penguasa Hutan Kalimalang. Ia sangat kejam dan tamak,” jawab lelaki tua itu mulai menjelaskan.

“Lalu, mengapa ia memangsa seluruh penduduk desa ini, Ki? Apakah ada perselisihan antara penduduk desa dengan Bakasura?” tanya Bima dengan mengernyitkan dahinya tanda keingintahuan yang tinggi.

“Sebenarnya ini adalah sebuah kesalahpahaman, Anak Muda. Tepat satu purnama yang lalu, penduduk desa ini merayakan merti desa. Suasana pesta begitu gempita karena banyak atraksi dan per-sembahan yang kami lakukan untuk memuja dewata.

Namun, kami melupakan satu hal. Kami tidak memberikan persembahan berupa lembu betina kepada Bakasura. Kealpaan kami ini membuatnya marah dan akhirnya ia bersumpah hendak menghabisi kami semua satu per satu,” beber sang lelaki tua dengan menunduk.

“Lalu, mengapa kalian tidak lari atau ke luar meninggalkan desa ini? Mengapa kalian masih di sini menunggu giliran untuk di-mangsa?” cecar Bima dengan nada geram.

“Sabar, adikku. Biarkan Aki ini menjelaskan dengan tenang agar kita tahu duduk persoalan yang terjadi di desa ini!” sergah Puntadewa menepuk pundak sang adik yang tampak tidak sabar.

“Bakasura bukanlah raksasa sembarangan, Anak Muda! Ia me-miliki kesaktian yang luar biasa. Ia memagari desa ini dengan ke-kuatannya. Siapa saja yang berani melanggar batas gaib yang ia pa-sang akan mati secara mengenaskan. Kami tidak punya pilihan, Anak Muda!” terang lelaki tua itu dengan terbata-bata menahan isak yang mulai menjalar.

“Istri dan kedua anakku sudah menjadi korban pagar gaib itu. Mereka terbakar dan terlilit ular api. Entah, bagaimana nasib kami yang tersisa di sini?” tangis sang lelaki mulai pecah mengingat ke-luarganya yang telah menjadi korban dari kemarahan Bakasura sang raksasa tamak.

“Aki, kami turut prihatin dengan kejadian yang menimpa ke-luargamu dan seluruh penduduk desa ini. Namun, aku yakin pasti ada cara untuk menghentikan kekejaman Bakasura, Ki. Kami mohon Aki tidak putus asa dengan pertolongan dari Sang Hyang Widi Wasa,” tukas Arjuna dengan tersenyum yang tersungging terlihat sangat tampan dan memesona.

Ketika sedang berbincang-bincang, tiba-tiba terdengar suara dentuman semacam langkah kaki besar yang mengguncangkan bumi. Sang lelaki tua spontan berteriak dan menghambur di bawah kolong dipan.

“Ayo Anak Muda, sembunyi. Itu Bakasura. Ia pasti akan memangsa kitaaa… Lekas sembunyiiii…,” teriak lelaki tua mencoba memperingati Pandawa akan kedatangan Bakasura, raksasa tamak yang sedang diceritakan tersebut.

Sesaat dentuman suara langkah kaki besar dan goncangan terhenti lalu terdengar suara serak yang menggelegar se-olah memecahkan gendang telinga manusia normal.

“Hahahahaha… Hai, penduduk Ekacakra, hari ini ada berapa gerobak makanan buatku?” tanya Bakasura dengan suara meng-gelegar dan suara tertawa yang memekakkan telinga. “Daging siapa lagi yang akan kalian persemBahkan kepadaku? hahahahaha…,” lan-jutnya sambil terus tertawa membahana.

Melihat kejadian itu para Pandawa menjadi geram. Mereka ke luar dari gubuk sang lelaki tua dan menghadapi sang raksasa yang tampak sangat lapar. Bima segera maju turun tangan menghadapi hal tersebut.

Dengan suara lantang ia menantang sang raksasa yang tamak itu. “Hai, Bakasura, hari ini ada segerobak makanan buatmu. Ma-kanlah dagingku sebagai santapanmu!” tentang Bima tanpa sedikit pun merasa jeri.

Puntadewa dan saudara-saudara Bima yang lain tersentak kaget mendengar tantangan Bima kepada Bakasura itu. Namun, mereka tetap yakin Bima akan mampu mengalahkan raksasa tersebut.

“Oohh, siapa kau?” bentak raksasa yang ternyata bermuka bu-ruk itu.“ Beruntung sekali aku hari ini. Makanan begitu banyak dan daging sebesar kamu, hahahaha,” tukasnya dengan tawa lebar mem-bahana.

“Aku sudah tidak sabar lagi menyantap dagingmu yang pasti lezat itu.”

Dengan membawa segerobak makanan bekal para Pandawa, Bima memamerkan kepada Bakasura. Kemudian Bima menghampiri Bakasura.

“Hai, Bakasura, mari makan… hahaha,” ledek Bima sambil me-nyantap segerobak makanan bekalnya dengan lahap. Bakasura sangat marah melihat kelakuan Bima. Ia naik darah, matanya melotot tajam, giginya menggerutuk, tangannya mengepal geram.

“Kurang ajar, kau manusia hina, apa maksudmu?” geramnya marah sembari menyerang Bima membabi buta. Pertarungan se-ngit pun terjadi antara Bakasura dan Bima. Bima menangkis se-rangan Bakasura dengan gesit. Ia juga mengayun-ayunkan gada sakti rujakpala, pusaka andalannya untuk melawan Bakasura yang ber-tubuh kuat itu.

Pertarungan sengit pun terjadi antara Bakasura dan Bima.

“Makhluk serakah kau, Bakasura! kau harus mati!” teriak Bima. Dengan satu ayunan gada sakti itu tubuh Bakasura tersungkur menghunjam bumi. Tubuhnya yang besar itu hancur berkeping-keping. Kemenangan Bima ini tidak mengherankan para Pandawa yang lain.

Mereka sangat mengenal kepiawaian Bima dalam hal menggunakan pusaka tersebut. Setelah itu keajaiban terjadi. Suasana yang tadinya redup mencekam berangsur menjadi terang dan cerah. Rupanya pengaruh kekuatan pagar ghaib yang ditanam Bakasura mulai sirna.

Singkat cerita, semenjak itu penduduk Desa Ekacakara pun kem-bali hidup tenang dan tenteram. Keluarga Pandawa pun melanjutkan perjalanan melewati aliran sungai yang merupakan jelmaan dari air seni Bima.

Akhirnya, sampailah mereka di suatu tempat. di tempat tersebut tinggallah beberapa penduduk. Keseharian mereka memanfaatkan air sungai untuk mencuci, mencuci beras, mandi, dan lain-lain.

Pada suatu hari, ada seorang gadis jelita penduduk desa tersebut sedang mencuci di sungai itu. Konon, namanya adalah Dewi Drupadi. Ia tampak sudah selesai mencuci baju di sungai itu. Cucian yang sudah bersih diletakkan di pinggir sungai, sedangkan Dewi Drupadi kembali ke sungai untuk mandi.

Ia mandi dengan sangat asyiknya. Ia berenang ke sana kemari menikmati kesejukan air dan keindahan pemandangan sambil sesekali bermain riak air sungai. Suara ketipak air yang dimainkan sang dewi itu clung plak clung clung clung plak clung clung clung plak clung clung clung clung.

Dari kejauhan Bima mendengar suara ketipak air tersebut. Se-mentara, saudaranya yang lain beristirahat di bawah pohon yang rindang. Bima mendengar harmonisasi suara indah yang diciptakan ketipak tersebut bak alunan nada yang menawan.

Bima mencari sumber suara yang menggelitik indra pendengarannya tersebut. Tidak sadar ia telah agak jauh meninggalkan keempat saudaranya yang sedang beristirahat. Ia berjalan mengendap-endap mendekati sumber suara, makin lama, makin dekat, dan makin jelas. Bima ter-kesiap dan terpana dengan pemandangan di depannya. Tampak oleh-nya sesosok gadis beraut menawan dan molek.

“Siapa gerangan perempuan yang cantik itu? Putri kayangankah?” gumam Bima.

“Cantik sekali, anugerah Sang Dewata,” lanjutnya. Sesekali Bima memukulkan tangan di kedua pipinya. “Apakah aku sedang ber-mimpi?” tukasnya.

“Ah, tidak, ini nyata,” lanjutnya lagi. “Sira ayu tenan,” desisnya da-lam kekaguman. Berkali-kali Bima mengucapkan kalimat itu sehingga suaranya terdengar oleh sang dewi yang masih asyik bermain ketipak air di sungai berair jernih itu.

“Siapa di sana? Siapa Ki Sanak? Siapa Ki Sanak?” tanya sang Dewi mulai gusar dan berenang menjauh dari sosok Bima yang berjalan mendekatinya.

“Jangan coba-coba mengganggu saya, beraninya Ki Sanak meng-intip saya, pergi!” hardik Dewi Drupadi sambil terus berenang ke tengah sungai.

“Jangan takut, Adinda. Perkenalkanlah, aku Bima!” teriak Bima lantang berusaha mengejar sang Dewi yang terlihat begitu gugup dan takut.

“Toloong… toloong,” teriak sang Dewi tidak menghiraukan te-riakan Bima. Ia berteriak minta tolong sambil terus berenang ke tengah sungai. Tiba-tiba saja tubuhnya tenggelam, rupanya tengah sungai itu dalam sekali.

“Haapp… haappp, tooo… loong”, teriak sang Dewi yang mulai tenggelam. Sayup-sayup suara minta tolong dari Dewi Drupadi menghilang seiring tenggelamnya tubuhnya. Melihat kejadian itu Bima segera menceburkan diri ke sungai mencoba menolong sang Dewi yang tenggelam. Namun, usaha Bima gagal.

“Duhai, Adinda… di manakah engkau kini… sira ayu, sira ayu…,” isak Bima menyesali perbuatannya. Ia terus menangis dan mende-siskan kata sira ayu. Sejak saat itu masyarakat di sekitar sungai me-namai sungai tersebut Serayu. Serayu berasal dari desisan kata Bima sira ayu yang bermakna ‘kamu cantik’.

Diceritakan oleh: Tri Wahyuni

Disadur dari Cerita Rakyat Cilacap Jawa Tengah

Diterbitkan oleh Balai Bahasa Jawa Tengah Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Cilacap Info
IKUTI BERITA LAINNYA DIGOOGLE NEWS

Berita Terkait