Pada suatu malam, Sri Susuhunan Surakarta bermimpi melihat seberkas sinar. Ia berusaha mengejar sinar itu. Namun, sinar itu mendadak menghilang tidak berbekas. Dalam mimpi berikutnya, Sri Susuhunan melihat kembali seberkas sinar itu dan ternyata datangnya dari setangkai bunga yang sangat indah. Bunga itu berwarna merah muda. Dalam mimpinya itu, terdengar suara gaib yang mengatakan bahwa barang diapa dapat memiliki setangkai bunga Wijayakusuma maka semua keturunannya akan menjasi raja di Kasuhunan Surakarta.
Sri Susuhunan lalu menceritakan mimpinya itu kepada Adipati Rekso. Ia menyuruh Adipati Rekso untuk mencari orang yang men getahui ciri-ciri bunga Wijayakusuma itu. Adipati Rekso kebingungan mencari orang yang mengetahui ciri-ciri bunga Wijayakusuma. Ia berjalan dalam guyuran hujan. Ia tidak meng hiraukan orang-orang di sekelilingnya yang menyapa dan mengajak untuk berteduh. Ia tetap saja berjalan hingga tanpa dirasakannya telah sampai ke rumahnya. Ketika ia hendak masuk ke pekarangan rumahnya, ia melihat orang tua yang sedang berteduh. Adipati Rekso memanggil orang tua tersebut untuk diajak berteduh di rumahnya. “Ki, mari berteduh di pendapa. Hujannya semakin deras. Ayo, mari, Ki!”
“Terima kasih, Jeng Adipati. Apakah hamba pantas berteduh di pendapa?”
“Ayolah, tidak perlu Ki Sanak berpikir seperti itu. Semua manusia itu sama. Mari, mari masuk.”
Mereka berdua lalu masuk ke pendapa. Mereka duduk sambil berbincang-bincang. Dari perbincangan itu, Adipati Rekso mengetahui bahwa orang tua tersebut bernama Kiai Surti. Ternyata, Kiai Surti itu orang yang sakti dan mengetahui ciri-ciri bunga Wijayakusuma.
Adipati Rekso kemudian membawa Kiai Surti menghadap kepada Sri Susuhunan di Kesultanan Surakarta. Dalam hatinya, Sri Susuhunan ragu apakah benar orang tua tersebut mengetahui tentang bunga Wijayakusuma yang diimpikan itu. Untuk menghilangkan rasa penasarannya, Sri Susuhunan bertanya kepada Kiai Surti tentang ciri-ciri bunga Wijayakusuma.
Kiai Surti menceritakan bahwa bunga Wijayakusuma itu ada hubungannya dengan Raja Ragola dan Dewi Rara Ayu. Raja Ragola adalah raja kecil yang memimpin di wilayah perbatasan dekat Pulau Jawa. Raja Ragola adalah raja yang sangat kejam. Kekejamannya tersebut tampak ketika Pendeta Janur dan pengikutnya dibunuh secara keji oleh Raja Ragola dan prajuritnya. Anehnya, mayat Pendeta Janur itu berubah menjadi seberkas sinar. Seberkas sinar itu melesat kemudian menukik ke tengah laut. Raja Ragola mengejar seberkas sinar itu. Namun, sinar itu menghilang dan kemudian muncullah ular naga yang sangat besar. Raja Ragola berhasil membunuh naga tersebut. Naga tersebut berubah wujud menjadi putri yang cantik jelita. Putri tersebut bernama Dewi Rara Ayu. Ia merupakan penjaga bunga Wijayakusuma yang berada di Pulau Majeti. Dewi Rara Ayu memberikan setangkai bunga Wijayakusuma kepada Raja Ragola. Setelah memberikan bunga Wijayakusuma Dewi Rara Ayu mendadak menghilang. Raja Ragola sangat senang karena memiliki bunga Wijayakusuma itu. Ia pulang ke kerajaannya dengan berjalan di atas gelombang air laut. di tengah laut pantai selatan Raja Ragola berjuang melawan ombak, angin, dan petir yang menggelegar.
Bunga Wijayakusuma yang ada ditangannya terlepas dan tertelan ombak sampai ke dasar lautan. Raja Ragola berusaha mencari bunga Wijayakusuma itu. Namun, ombak itu semakin lama semakin besar dan akhirnya Raja Ragola pun mati ditelan ombak yang menggulung dirinya.
Kiai Surti menutup ceritanya dengan menyimpulkan bahwa bunga Wijayakusuma itu berada di Pulau Majeti atau tepatnya berada di Pulau Nusakambangan yang berada di wilayah pantai selatan, termasuk wilayah Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah. Selanjutnya, Kiai Surti memberitahukan bahwa untuk berangkat ke Pulau Majeti itu harus membawa sesajen sebagai persembahan kepada makhluk halus penghuni Pulau Majeti yang menunggui bunga Wijayakusuma.
Sri Susuhunan Surakarta memerintah Ki Patih untuk mencari empat puluh prajurit yang gagah dan tangguh serta yang mengetahui seluk-beluk kelautan. Setelah terkumpul empat puluh orang prajurit pilihan, Sri Susuhunan menyuruh keempat puluh prajurit itu agar minta izin kepada keluarganya masing-masing dan memohon doanya serta meminta keluarganya untuk bersabar dan tabah serta mengiklaskan kepergiannya.
Rombongan prajurit yang dipimpin Ki Patih itu meminta restu lebih dulu kepada keluarga masing-masing sebelum berlayar mengarungi lautan. Sebelum pergi, mereka memanjatkan doa untuk keselamatan semua. Keempat puluh prajurit dan Ki Patih berangkat dengan menggunakan beberapa kapal layar. Mereka gembira dan semangat ketika mengarungi lautan. Ketika kapal-kapal layar yang mereka tumpangi hampir sampai di tempat tujuan, tiba-tiba ombak besar menghantam kapal-kapal mereka. Para prajurit dan Ki Patih berusaha sekuat tenaga mengendalikan kapal-kapalnya agar tidak oleng dan tenggelam. Sebagian prajurit mengeluarkan air yang masuk ke kapal dan berusaha menjaga keseimbangan kapal agar tidak tenggelam. Namun, ombak semakin besar dan disertai suara petir yang bergemuruh sehingga para prajurit itu kewalahan.
Akhirnya, tiga puluh enam prajurit mati diterjang ombak. Tubuh mereka hanyut ditelan ombak laut pantai selatan. Sisanya, empat prajurit dan Ki Patih terlempar ke pinggir pantai. Mereka tidak sadarkan diri. Ketika bangun dari pingsannya, mereka bingung tidak tahu berada di mana. Kemudian, Ki Patih mengajak keempat prajuritnya yang selamat itu untuk bersemadi dengan maksud agar diberi petunjuk oleh yang Mahagaib. Dengan sisa-sisa tenaganya, mereka bersemadi dengan khusuk sekali. Pada hari ketujuh semadinya, terdengar suara gaib yang memberitahukan bahwa tempat yang mereka singgahi itu adalah Pulau Majeti, tempat bunga Wijayak usuma berada.
Ki Patih dan keempat prajurit itu bersemadi lagi. Dalam semadinya itu datang godaan berupa ular naga yang sangat besar. Ular naga itu membuka mulutnya lebar-lebar hendak menyantap mereka. Dari mulut naga itu ke luar semburan api yang diarahkan kepada mereka. Mereka tetap saja konsentrasi tidak tergoda oleh godaan naga yang hendak memangsanya. Ular naga itu akhirnya seperti kepayahan sendiri. Gerakan-gerakan tubuhnya menjadi kendur. Usahanya untuk menggoda Ki Patih dan para penggawa itu gagal. Kemudian wujud ular naga itu menghilang tanpa meninggalkan jejak.
Malam itu semakin larut dan udara semakin dingin. Ki Patih dan keempat prajurit itu tiba-tiba mencium bau harum yang menyengat. Bau harum itu sangat menggoda kekhusukan semadinya. Semadi mereka itu berakhir secara bersamaan dan mereka membuka mata secara serempak. Mereka sangat takjub melihat bunga Wijayakusuma yang sedang mekar berada di depan mata mereka. Pancaran sinar yang ke luar dari bunga Wijayakusuma itu bertambah indah. Pancaran sinarnya sangat menakjubkan karena mereka belum pernah melihatnya.
Saat itu malam telah larut dan suasana semakin sepi. Hanya suara deburan ombak dan suara desiran angin yang terdengar. Suasana malam itu mendadak berubah, yang tadinya sangat dingin mendadak jadi hangat. Mungkin karena pancaran sinar bunga Wijayakusuma yang menyebabkan malam itu berbeda dengan malam lainnya. Biasanya, malam-malam di tepi pantai selatan terasa sepi dan dingin. Sekarang, saat bunga Wijayakusuma mekar dan memancarkan sinar, suasana menjadi terang benderang. Pada saat itu, bunga Wijayakusuma sedang mencapai puncak mekarnya. Bunga tersebut memancarkan sinar yang indah sehingga menerangi apa pun yang berada di sekelilingnya. Selain itu, bunga tersebut menebarkan keharuman yang semerbak ke sekelilingnya.
Ki Patih dan keempat prajurit itu sangat takjub melihat bunga Wijayakusuma yang sedang mekar.
Melihat keadaan seperti itu, Ki Patih dan para prajurit terpukau. Mereka tidak bosan-bosannya memandangi bunga Wijayakusuma yang sedang mekar itu. Namun, tiba-tiba bunga yang sedang mekar itu terlepas dari tangkainya dan jatuh tepat ke dalam mangkuk yang telah disediakan oleh Ki Patih. Sinarnya mendadak jadi berkurang, tetapi harumnya tetap semerbak. Akhirnya, bunga Wijayakusuma itu dapat dikuasai oleh Ki Patih dan keempat prajurit itu. Mereka berpelukan dan bercengkeraman karena terharu. Rasa lega menyelinap ke dalam hati mereka. Mereka bergumam bahwa untuk mendapatkan bunga Wijayakusuma itu harus ditebus dengan tiga puluh enam nyawa temannya. Ketiga puluh enam prajurit pilihan itu merupakan pahlawan yang telah berjuang mengemban tugas negara. Bunga Wijayakusuma itu telah meminta tumbal jiwa yang tidak sedikit. Tiga puluh enam jiwa prajurit teladan telah terenggut nyawanya dalam perburuan bunga Wijayakusuma itu.
Ki Patih kemudian mengajak keempat prajurit itu mempersiapkan diri untuk kembali ke Surakarta. Tidak lupa, Ki Patih membawa mangkuk yang berisi bunga Wijayakusuma itu. Ia membungkus bunga itu dengan kain. Ki Patih membawa bunga itu dengan hatihati. Keempat prajuritnya siap mengawal keamanan agar bunga Wijayakusuma dapat sampai di Kasuhunan Surakarta dengan selamat.
Sementara itu, di Kasuhunan Surakarta, Sri Susuhunan tampak gelisah dan resah. Setiap detik dirasanya bagaikan siksaan yang sangat menyakitkan. Wajahnya kadang-kadang memegang dan pandangannya seperti kosong. Sejak keberangkatan Ki Patih dan keempat puluh prajuritnya untuk mencari bunga Wijayakusuma, Sri Susuhunan selalu tegang. Ia merasa resah dan selalu gelisah menanti hasilnya. Dari hari ke hari Sri Susuhunan menanti dengan tidak sabar. Namun, ia tidak melupakan keluarga Ki Patih dan para prajuritnya. Hampir setiap hari ia berkeliling dan menjenguk serta memberikan harapan-harapan kepada keluarga yang ditinggalkan para utusannya itu agar selalu sabar dan tabah. Meskipun sebenarnya ia sendiri selalu gelisah dan resah.
Pada suatu hari, Adipati Rekso memberi tahu Sri Susuhunan bahwa ada berita tentang Ki Patih dan para prajuritnya. Dari berita itu dikabarkan bahwa hanya satu kapal layar yang kelihatan, sedangkan yang lainnya tidak tampak. Sri Susuhunan sangat terpukul mendengar berita itu. Ia merasa sedih karena banyak prajuritnya yang tidak kembali. Wajah Sri Susuhunan tampak pucat dan berlinang air mata. Ia memerintah Adipati Rekso menyiapkan penyambutan kedatangan Ki Patih dan keempat prajuritnya yang selamat itu. Sri Susuhunan juga menginstruksikan untuk mengundang keluarga korban dan masyarakat untuk menyambut kedatangan Ki Patih dan keempat prajurit yang selamat itu. Tidak lupa, para keluarga korban diberi santunan yang layak serta penghargaan setinggi-tingginya. Keluarga korban yang ditinggalkan juga diberi jaminan bagi kelangsungan hidupnya. Sri Susuhunan juga berusaha meyakinkan keluarga korban bahwa suami, ayah, atau anak yang telah menjadi korban itu adalah pahlawan karena telah berjuang demi kepentingan negara.
Sri Susuhunan duduk dan menengadahkan kedua tangannya untuk memohon kepada yang Mahakuasa agar bunga Wijayakusuma yang ditebus dengan banyak pengorbanan itu tidak menjadi sia-sia.
Sri Susuhunan mengharap semoga bunga itu menjadi dorongan bagi pelanjut dirinya dalam memimpin pemerintahan yang adil dan bijaksana dalam memimpin Kasuhunan Surakarta.
Copyright: Cerita Rakyat
Balai Bahasa Jawa Tengah
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan