“Hai, Anak Muda. Mengapa kau mengintip dari situ. Ayo, keluar! Jangan jadi pengecut!” bentak lelaki tua tersebut. Rupanya lelaki tua di dalam gubuk kecil itu bukanlah orang biasa. Ia tidak hanya me nyadari kedatangan seorang pemuda di gubuknya, tetap juga telah membuat Reksapati tidak dapat berlama-lama bersembunyi. Reksapati pun akhirnya ke luar dari tempat persembunyiannya. Ia berjalan mendekati lelaki tua sambil mengusap-usap kepalanya.
“Maaf, Pak Tua. Saya Reksapati. Saya membuntuti putri Anda yang cantik jelita. Sepertinya saya telah jatuh hati kepada putri Bapak. Saya ingin sekali mempersunting putri Bapak,” terang Reksapati kemudian.
“Enak saja engkau menyebutku Pak Tua, Anak Muda!” lelaki itu membuka mata, beranjak dari dipannya, menatap tajam mata Reksapati. Reksapati bergeming, balas menatap tajam sang lelaki tua. Menyelami tatapan tajam Reksapati, lelaki tua itu melihat kilatan api, pertanda bahwa Reksapati bukanlah manusia biasa, melainkan pemuda dengan kesaktian luar biasa. Dengan berat hati lelaki tua itu berkata.
“Aku Wangsakarta, Mata air Padontilu dan Leuweung Wates ini dalam penjagaanku. Ini adalah Dusun Larangan. Hanya aku, istriku, dan putriku yang menempati dusun ini. Tidak seorang pun berani memasuki dusun ini kecuali kami. Termasuk kau, Reksapati!” sentaknya tegas.
“Sebelum terjadi apa-apa denganmu, pergilah! Keluarlah dari Du sun Larangan ini!” tambahnya lagi.
“Tidak semudah itu, Ki Wangsakarta! Istana Candi Kuning Gunung Padang di Kadipaten Majenang telah luluh lantak. Aku yang menghancurkannya! Kalau hanya menguasai sebuah dusun, apa susahnya? Begitu juga untuk mempersunting putri cantikmu. Dengan kesaktian yang aku miliki, aku dapat melakukan apa pun yang aku mau!” timpal Reksapati dengan pongahnya. Ki Wangsakarta terdiam sejenak. Sejurus kemudia, ia memanggil putrinya, Ratna Kencana.
Tampilkan Semua