Istana Candi Kuning, Gunung Padang adalah tempat tinggal Ki Adeg Ciluhur, Adipati Majenang sekaligus putra mahkota Kerajaan Dayeuhluhur yang dipimpin oleh Prabu Gagak Ngampar. Prabu Gagak Ngampar merupakan saudara Prabu Niskala Wastu Kencana, Raja Galuh Wiwitan, yang wilayahnya membentang dari Sungai Pamanukan di barat hingga Gunung Ungaran di sebelah timur.
Dengan mata nanar berkilat perlambang semangat yang berkobar, seorang pemuda berseru, “Aku Panembahan Dalem Reksapati! Akan kupimpin prajuritku meluaskan wilayah atas perintah Panembahan Senapati! Ini untuk kejayaan Kerajaan Mataram di masa yang akan datang!”
Secepat kilat pemuda itu menghilang di bawah langit kelam Kadipaten Majenang. Langkah kaki membawanya ke arah matahari terbit, menembus hutan dalam kegelapan, menyibak semak dan pepohonan. Panembahan Dalem Reksapati menuju Leuweung Wates, hutan rimba di tengah Pegunungan Pembarisan yang belum pernah terjamah tangan manusia. Semburat warna jingga menyala sei ring kicauan burung nan memesona berpadu dengan gemericik air sea kan berirama.
Sayup-sayup terdengar senandung merdu suara seorang wanita. Tergerak hati Reksapati mencoba mendekati asal suara. Menyibak semak alang-alang. Terperanjat Reksapati ketika matanya melihat wajah rupawan nan menawan. Si gadis pun tidak kalah terkejutya melihat sosok pemuda muncul secara tiba-tiba di hadapannya.
“Duhai putri nan cantik jelita, engkaukah bidadari yang turun dari kayangan?” sapa Reksapati.
“Siapa Ki Sanak?”, tanya di gadis jelita itu.
Si gadis mundur teratur karena merasa tidak mengenal pemuda di hadapannya itu. Sejurus kemudian di gadis berlari lintang-pukang menyusuri tepian sungai. Sementara itu, Reksapati yang rupanya terlanjur jatuh hati diam-diam mengikuti arah laju di gadis.
Gadis yang bernama Ratna Kencana itu masuk ke dalam sebuah gubuk kecil di tepi hutan. Seorang wanita tua menyambutnya dengan pelukan dan usapan lembut di rambut sang putri yang dicintainya. Reksapati masih mengintai dibalik semak-semak. Kemudian, ia mencoba mendekati gubuk agar dapat melihat dengan jelas apa yang ada di dalamnya. Tampak seorang lelaki tua dengan mata terpejam duduk terlentang di dipan bambu panjang. Jemarinya memegang ce rutu hitam. Asap putih mengepul dari mulutnya membentuk bulatan-bulatan yang berputar-putar membumbung menyebar lalu menghilang. Tiba-tiba Reksapati dikejutkan oleh suara dan rasa sakit. Ia mengaduh, sebutir kerikil mengenai kepalanya.
“Hai, Anak Muda. Mengapa kau mengintip dari situ. Ayo, keluar! Jangan jadi pengecut!” bentak lelaki tua tersebut. Rupanya lelaki tua di dalam gubuk kecil itu bukanlah orang biasa. Ia tidak hanya me nyadari kedatangan seorang pemuda di gubuknya, tetap juga telah membuat Reksapati tidak dapat berlama-lama bersembunyi. Reksapati pun akhirnya ke luar dari tempat persembunyiannya. Ia berjalan mendekati lelaki tua sambil mengusap-usap kepalanya.
“Maaf, Pak Tua. Saya Reksapati. Saya membuntuti putri Anda yang cantik jelita. Sepertinya saya telah jatuh hati kepada putri Bapak. Saya ingin sekali mempersunting putri Bapak,” terang Reksapati kemudian.
“Enak saja engkau menyebutku Pak Tua, Anak Muda!” lelaki itu membuka mata, beranjak dari dipannya, menatap tajam mata Reksapati. Reksapati bergeming, balas menatap tajam sang lelaki tua. Menyelami tatapan tajam Reksapati, lelaki tua itu melihat kilatan api, pertanda bahwa Reksapati bukanlah manusia biasa, melainkan pemuda dengan kesaktian luar biasa. Dengan berat hati lelaki tua itu berkata.
“Aku Wangsakarta, Mata air Padontilu dan Leuweung Wates ini dalam penjagaanku. Ini adalah Dusun Larangan. Hanya aku, istriku, dan putriku yang menempati dusun ini. Tidak seorang pun berani memasuki dusun ini kecuali kami. Termasuk kau, Reksapati!” sentaknya tegas.
“Sebelum terjadi apa-apa denganmu, pergilah! Keluarlah dari Du sun Larangan ini!” tambahnya lagi.
“Tidak semudah itu, Ki Wangsakarta! Istana Candi Kuning Gunung Padang di Kadipaten Majenang telah luluh lantak. Aku yang menghancurkannya! Kalau hanya menguasai sebuah dusun, apa susahnya? Begitu juga untuk mempersunting putri cantikmu. Dengan kesaktian yang aku miliki, aku dapat melakukan apa pun yang aku mau!” timpal Reksapati dengan pongahnya. Ki Wangsakarta terdiam sejenak. Sejurus kemudia, ia memanggil putrinya, Ratna Kencana.
“Wahai, Anakku, Ratna Kencana, kemarilah cah ayu!” kata Ki Wangsakarta.
“Katakanlah kepada Ayah, bagaimana pendapatmu tentang pemuda ini?” lanjutnya.
Setelah terdiam beberapa saat, Ratna Kencana menjawab pertanyaan ayahandanya, “Ayahanda yang bijaksana. Aku kagum dengan keberaniannya. Tidak ada salahnya ayah menguji kesaktiannya. Untuk mengetahui apakah ia dapat menjaga aku, ayah, dan ibu. Atau mungkin ia dapat memberikan sesuatu untuk Dusun Larangan, Mata Air Padontilu dan Leuweung Wates. Ratna Kencana serahkan keputusan pada Ayahanda,” jawab Ratna Kencana.
“Baiklah, Reksapati. Akan kuizinian kau menikahi putriku dengan dua syarat. Pertama kau harus membuka hutan ini menjadi perkampungan sehingga dusun ini tidak lagi menjadi Dusun Larangan!” kata Ki Wangsakarta lagi.
“Kedua, apa pun permintaan Ratna Kencana padamu harus kauturuti meskipun berat kaulakukan. Jika melanggarnya, apa pun yang kau miliki termasuk kesaktianmu harus kau berikan kepadaku. Sanggupkah kau menerima tantanganku?” seru Ki Wangsakarta lagi.
“Itu bukanlah hal yang sulit bagiku, Ki! Aku yakin sanggup melaksanakan titah Aki!” jawab Reksapati mantap.
Suara petir menggelegar seiring dengan sumpah yang diucapkan Panembahan Dalem Reksapati. Ia mulai melaksanakan tugas pertamanya. Karena memiliki kesaktian yang luar biasa, ia berhasil mengubah hutan belantara menjadi sebuah kampung yang diberi nama Babakan yang bermakna ‘tahap-tahap’. Semakin lama, semakin banyak orang berdatangan untuk menetap di perkampungan tersebut. Seiring berjalannya waktu, daerah tersebut menjadi luas dengan para penduduk yang banyak. Panembahan Dalem Reksapati pun menikah dengan Ratna Kencana. Bahkan, Ratna Kencana tidak lama kemudian mengandung putra mereka yang pertama. Sangat besar kasih sayang Reksapati kepada istrinya. Apa pun yang diminta pasti akan diturutinya.
Panembahan Dalem Reksapati berhasil membuka sebuah hutan menjadi perkampungan yang diberi nama Babakan
sebagai syarat untuk mempersunting putri Wangsa Karta penguasa Desa Larangan.
Suatu hari, Ratna Kencana bermimpi. Dalam mimpinya ia mendengar suara gaib yang terus terngiang-ngiang dalam benaknya.
“Ratna Kencana, engkau, ayahmu, ibumu, dan jabang bayi dalam kandunganmu ada dalam kuasaku. Untuk keselamatan kalian, mintal ah pada suamimu untuk menangkap seekor ikan di Sungai Cibeng keng. Bakarlah ikan itu untuk dia makan. Dan, kamu harus menyaksikan suamimu memakan daging ikan itu hingga bersisa kepala dan duri saja!” Begitu terbangun, dengan wajah kebingungan Ratna memanggil suaminya.
“Kakanda, Kakanda, Kakanda, di mana engkau? Kakanda, di mana engkau? Kakanda, di mana engkau?” Berulang kali memanggil, tidak ada sahutan. Ratna ke luar dari pondoknya, memandang sekeliling berharap menemukan suaminya segera. Sadar suaminya tidak ada di sana, ia berjalan menyusuri perkampungan. Tidak sia-sia usahanya, ia pun menemukan suaminya sedang menebang kayu di pinggir hutan. Dengan senyum mengembang, ia hampiri Reksapati.
Mendengar suara langkah kaki, Reksapati berhenti dari pekerjaannya. Ia terkejut mendapati Ratna berdiri di hadapannya. Tangan kanannya menggenggam sebuah pancing yang pada mata kailnya telah tertancap seekor cacing yang sedang menggeliat, sedangkan tangan kirinya tidak berhenti mengelus perutnya.
“Adinda, Ratna, adakah sesuatu yang penting hingga kau mencariku sampai ke sini?” ujarnya heran.
“Ya, Kanda! Tangkaplah seekor ikan di Sungai Cibengkeng. Aku akan menemanimu, Kanda. Akan aku bakar ikan itu untuk kaumakan. Sisakan kepala dan durinya untukku.”
“Tapi, sejak tinggal di sini tidak pernah aku mendapati seekor ikan pun.”
“Ini keinginan di jabang bayi, Kanda!” Ratna merajuk sambil mengelus perutnya.
“Dan, ingatlah sumpah Kanda yang kedua pada ayahanda!” Ratna menambahkan.
Reksapati menyerah ketika diingatkan dengan sumpah. Ia pun menggandeng Ratna menuju tepi Sungai Cibengkeng. Mata kail ia lempar ke tengah sungai. Namun, tidak ada tanda-tanda seekor ikan pun menyambarnya. Berjam-jam mereka menanti. Karena kelelahan, Ratna Kencana tertidur di atas batu di samping suaminya. Hampir menyerah, Reksapati menggunakan kesaktiannya untuk menerawang apakah ada ikan.
“Kena, kau!” seru Reksapati kegirangan.
Dari kejauhan ibunda Ratna Kencana yang hendak turun ke sungai untuk mencuci baju terkejut mendapati Reksapati didampingi Ratna Kencana tengah memegangi pancing yang ada ikan berukuran besar. Wajah sang Ibu berubah menjadi pucat pasi. Ia menjatuhkan bakul berisi baju kotor yang hendak dicuci. Dalam suasana yang masih terang benderang, ia dikejutkan oleh suara petir yang menggelegar. Matanya berkaca-kaca, bibirnya bergetar bergumam.
“Duh, Gusti, lindungilah desa ini!” gumamnya dalam isak.
Tergopoh-gopoh sang Ibu pulang ke gubuknya. Ia berlari menghambur ke suaminya yang masih tertidur di dipan panjang. Suara gaduh dari langkah Nyi Wangsakarta membangunkan suaminya.
“Aki… Aki! Gawat, Kii… ikan… ikan… ikann…!”
“Ada apa, Nyi? Ada apa dengan ikan?” tanya Ki Wangsakarta kebingungan.
“Ikan di Sungai Cibengkeng, Ki. Ratna Kencana dan Reksapati mem ancing ikan itu. Entah apa yang akan mereka lakukan pada ikan itu, Aki…!” Wajah Nyi Wangsakarta tampak sangat gusar dan cemas.
Ki Wangsakarta terperanjat. Ia meloncat kuat dari dipan panjang kesayangannya. Ia berlari secepat kilat mencari putri semata wayangnya dan menantunya. Setibanya di tepi Sungai Cibengkeng ia terhenyak melihat putri dan menantunya duduk di atas batu besar dan menyantap ikan sepat berukuran besar yang telah dibakar di hadapan mereka. Melihat kedatangan Ki Wangsakarta, Ratna Kencana berteriak.
“Ayah, Ayah, Ayah! Kata Ayah tidak ada ikan di sungai ini. Lihat Ayah! Kanda Reksapati dapat menangkap ikan yang berukuran besar. Ikan sepat yang lincah, Ayah. Kami telah memakanya. Sayang, Ayah datang terlambat. Jadi, tidak dapat mencicipi ikan yang lezat ini, Ayah,” cerocos Ratna Kencana pada sang ayah yang masih tercenung melihat kejadian di hadapannya tersebut.
Ki Wangsakarta tidak menghiraukan perkataan Ratna Kencana. Ia berjalan pelan menghampiri Reksapati yang masih menikmati sisa-sisa ikan sepat bakar tersebut. Melihat ikan sepat yang hanya tinggal kepala dan durinya saja, Ki Wangsakarta terduduk lemas. Air matanya meleleh. Dengan suara parau dan bibir bergetar ia berujar.
“Anakku, Panembahan Dalem Reksapati. Ketahuilah bahwa ikan sepat itu adalah satu-satunya ikan yang menghuni Sungai Cibengkeng. Sungguh sangat terlarang bagi siapa pun menangkap, memindahkan, atau membunuh dan menyantapnya.
Ketahuilah bahwa kehidupan ikan sepat itu berarti kelangsungan hidup di Desa Babakan, Leuweung Wates dan Mata Air Padontilu. Kehidupan ikan berarti masa depan perkampungan. Kematian ikan berarti musibah dan bencana bagi perkampungan,” jelas Ki Wangsakarta tertunduk lesu.
Nyi Wangsakarta datang tergopoh-gopoh bersama puluhan warga Desa Babakan. Mendengar perkataan Ki Wangsakarta kepada Pa nembahan Dalem Reksapati membuat mereka semua menjadi keta kutan. Reksapati pun merasa sangat bingung dan merasa bersalah de ngan apa yang baru saja dilakukannya.
“Maaf, Ayahanda. Saya hanya menjalankan sumpahku yang kedua. Ratna Kencana memintaku untuk menangkap ikan di sungai ini dan menyantapnya. Saya benar-benar tidak tahu tentang ini semua. Maafk an saya, Ayah!” terang Reksapati gugup. Semua orang yang ada di tempat itu seketika diam seribu bahasa. Mereka terdiam mematung tidak mengerti harus berbuat apa. Mereka tenggelam dalam pi kirannya masing-masing. Suasana begitu mencekam dan hening. Dalam keheningan itu, tiba-tiba terdengar suara gaib menggema di sekeliling tempat mereka berdiri.
“Terkutuklah Ratna Kencana dan kalian semua! Bencana akan datang melanda! Terkutuklah Ratna Kencana dan kalian semua! Bencana akan datang melanda! Terkutuklah Ratna Kencana dan kalian semua! Bencana akan datang melanda!” suara itu berulangulang dan menggema membuat semua warga Desa Babakan diliputi ketakutan yang teramat sangat. Mereka panik dan resah. Apa sebenarnya yang telah terjadi. Ratna Kencana terperanjat, ia menangis sesenggukan. Menyesali permintaannya pada sang suami yang diturutinya dari mimpi.
“Kasihan warga desa ini. Mereka tidak tahu apa-apa tetapi harus menanggung bencana akibat kesalahanku… Andai saja waktu dapat diulang, mungkin dusun ini tetap menjadi Dusun Larangan. Tidak ada Desa Babakan. Tangis Nyi Wangsakarta pecah di tengah ke heningan.
Tiba-tiba kilat menyambar, petir menggelegar, terpaan angin yang kian kencang menimbulkan derak dahan pohon dan daun-daun bergesekan menambah suasana mencekam. Mega hitam menyelimuti langit di atas Leuweung Wates bagaikan memasuki masa kelam dan gelap.
“Apa yang dapat aku laukan, Ayahanda?” tanya Reksapati kemudian. Ia merasa harus melakukan sesuatu dengan kesaktiannya.
“Pengorbanan! Ada yang harus berkorban…!”
“Bukan! Bukan! Bukan! Ada yang harus dikorbankan! Kami yang akan berkorban. Jika kau sanggup membuat ikan yang kau makan hidup kembali, itulah masa depan perkampungan!”
Ki Wangsakarta menarik tangan istri dan putrinya. Berlari menjauh masuk ke hutan, lalu menghilang dalam kegelapan. Panembahan Dalem Reksapati mengerti, ia harus menghidupkan ikan sepat itu lagi. Ia berlutut di atas batu, mengerahkan kesaktiannya, men engadahkan tangan memohon perlindungan yang Maha Kuasa. Awan hitam berganti terang, angin berhenti bertiup kencang dan berubah menjadi sepoi-sepoi. Seketika, ikan sepat yang sudah ting gal kepala dan durinya saja dengan ajaib hidup lalu meloncat ke dalam Sungai Cibengkeng. Dan, ikan tersebut merupakan satusatunya (tunggal) yang dapat hidup setelah dimakan. Seiring dengan berjalannya waktu, daerah tersebut menjadi luas dengan penduduk yang banyak. Atas jasa Panembahan Dalem Reksapati, daerah yang dahulunya bernama Babakan diganti nama menjadi Sepatnunggal, berdasar pada kejadian luar biasa, yaitu ikan sepat satu-satunya yang ajaib.
Kini Sepatnunggal yang merupakan nama salah satu desa di Kecamatan Majenang, Kabupaten Cilacap, dikenal sebagai lokasi yang dilindungi oleh makhluk gaib atau jin. Dengan pusatnya di Kampung Larangan, Kampung Dana Warih, dan Kampung Wangen yang disangga oleh kampung-kampung lain, yaitu Kampung Babakan, Kam pung Leuwi Panjang, dan Kampung Kutangsa.
Kepercayaan penduduknya, bila pendatang berbuat jahat di daerah ini, ia tidak akan mampu ke luar dari desa dalam keadaan selamat. Dan, jika yang berbuat jahat atau mencemarkan nama baik desa adalah penduduk asli, disadari atau tidak ia akan “dijauhkan” atau “menjauh dengan sendirinya”.
Copyright: Cerita Rakyat.
Penerbit:
Balai Bahasa Jawa Tengah
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan