Kisah Haryo Leno Pendiri Sidareja Cilacap

ilustrasi kisah pendiri Sidareja Cilacap Haryo Leno
ilustrasi kisah pendiri Sidareja Cilacap Haryo Leno

CILACAP.INFO – Alkisah, Pasirluhur adalah sebuah kadipaten yang gemah ripah loh jinawi. Kadipaten tersebut dipimpin oleh seorang adipati yang arif bijaksana dan mengayomi rakyat. Beliau adalah Kanjeng Adipati Kadang Doho. Kanjeng Adipati mempunyai seorang putri yang cantik jelita, yaitu Dewi Ciptarasa.

Kecantikan Dewi Ciptarasa tidak hanya dikagumi di kadipatennya, tetapi juga terkenal hingga kadipaten-kadipaten di sekitarnya. Bahkan, telah sampai pula kabar kecantikannya tersebut hingga ke tanah Pajajaran. Nama Dewi Ciptarasa berasal dari kata cipta dan rasa yang memiliki arti ‘menggugah rasa’. Setiap orang yang melihat Dewi Ciptarasa akan tertarik kepadanya.

Dewi Ciptarasa memiliki kulit yang putih dan halus bagaikan pualam. Wajahnya cantik bagaikan bidadari. Rambutnya panjang, lebat, dan hitam berkilau. Alisnya sehitam arang kayu. Matanya jernih indah berseri. Bibirnya merah merona bagaikan buah ceri. Badannya anggun tinggi semampai. Tidak akan ada habisnya mengagumi kecantikan Dewi Ciptarasa. Semua keindahan ada padanya dan semuanya menyatu hingga terbentuklah kecantikan yang sempurna.

Salah satu putra Pajajaran yang bernama Banyakcatra atau Kamandaka datang ke Pasirluhur untuk membuktikan kecantikan Dewi Ciptarasa. Ia penasaran dengan kabar yang beredar. Ia ingin membuktikan kebenaran kabar itu. Benarkah sang Putri memiliki kecantikan bidadari khayalannya seperti yang diceritakan banyak orang? Ia pun berangkat mencari jawabannya.

Akhirnya, sampailah ia di Pasirluhur. Ia bertemu dengan orang yang dicarinya. Setelah menyaksikan kecantikan Dewi Ciptarasa, Banyakcatra percaya akan berita-berita yang didengar selama ini. Singkat cerita, mereka kemudian saling mengenal dan memiliki ketertarikan satu sama lain. Mereka pun saling jatuh hati dan akhirnya menikah. Pernikahan Dewi Ciptarasa dan Banyakcatra atau Kamandaka dikaruniai seorang putra yang tampan dan diberi nama Bajang Laut.

Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun, Bajang Laut tumbuh menjadi pemuda yang tampan dan gagah perkasa. Namun, sangat disayangkan, semenjak ia dilahirkan hingga menjadi dewasa ini Bajang Laut tidak pernah ke luar dari desanya. Karena hal itu, Bajang Laut memiliki keinginan untuk mengembara mencari ilmu dan pengalaman. Dengan keinginan yang sangat besar itu, Bajang Laut memberanikan diri menemui ayahnya. Setelah memantapkan diri, Bajang Laut menghadap ayahandanya.

“Wahai, anakku, ada apa engkau menghadapku?”

Bajang Laut pun menjawab, “Ampun beribu ampun, Rama. Saya mohon izin untuk pergi mengembara! Hamba ingin mencari ilmu dan pengalaman.”

“Mengembara? Apa yang akan kau dapatkan dari mengembara?” tanya ayahnya.

“Saya bisa mendapat ilmu, Rama.

Setidaknya saya belajar hidup mandiri. Dengan pengalaman hidup di luar istana, saya berkeinginan menjadi orang yang berguna bagi banyak orang. Tidak hanya bergantung kepada apa yang telah diberikan Rama. Tolong, izinian saya pergi Rama,” Bajang Laut memohon agar keinginannya dikabulkan oleh ayahandanya.

Bajang Laut yang tumbuh menjadi pemuda tampan dan gagah meminta izin kepada ayahandanya untuk mengembara.

“Apakah kautahu hidup di luar sana sangat sulit. Akan ada banyak rintangan yang kauhadapi. Selama ini hidupmu selalu dilayani, sedangkan di luar kauharus melakukan semuanya sendiri. Apa kamu sanggup?”

“Itulah sebabnya, Rama. Hamba ingin belajar tentang hidup dan kehidupan. Saya ingin mencari pengalaman hidup mandiri. di luar sana adalah tempat yang tepat. Dengan hidup sendiri saya akan banyak belajar. Saya akan berusaha untuk mengatasinya.”

“Bagus sekali keinginanmu itu, anakku. Jadi, sudah kaupikirkan masak-masak keputusanmu ini?”

“Ya, Rama.”

“Kalau memang itu sudah keputusan yang engkau ambil, Rama akan mengabulkannya. Rama hanya dapat memberikan nasihat karena sebelum ini engkau belum pernah ke luar dari desa ini. Rama minta engkau menjaga diri dan jangan sampai membuat malu keluarga ini!” nasihat ayahnya.
“Pergilah, anakku! Berhati-hatilah karena ada banyak rintangan yang akan kau hadapi di luar sana!” pesan ayahandanya sambil memberikan restunya.

Ayahandanya, Bajang Laut menghadap ibun- danya yang sedang berada di Tamansari. Ia ingin mengabarkan rencananya itu sekaligus meminta izin kepada ibundanya. Mendengar permintaan anaknya, ibundanya menangis dan terus membujuknya untuk membatalkan rencana itu. Ia khawatir terjadi apa-apa pada anak semata wayangnya.

Namun, rencana Bajang Laut sudah bulat. Ia kukuh dalam pendiriannya. Ia yakin kepergiannya itu akan membawa manfaat, yaitu menambah ilmu dan pengalaman hidup. Dengan berat hati sang ibunda akhirnya merelakan Bajang Laut pergi mengembara.

Persiapan pun dilakukan. Semua perlengkapan yang diperlukan selama perjalanan disediakan. Namun, Bajang Laut hanya memilih yang sekiranya sangat diperlukan dan mudah dibawanya mengembara agar tidak terlalu membebaninya.

Tibalah saatnya Bajang Laut untuk meninggalkan rumah. Ia memohon restu kepada kedua orang tuanya. Ia pergi mengikuti arah angin dan langkah kakinya. di awal perjalanan Bajang Laut merasa lancar dan belum bertemu dengan banyak rintangan.

Di tengah pengembaraannya, Bajang Laut bertemu dengan dua orang kakak beradik pengembara sakti.

“Wahai, Ki Sanak. Kalau boleh saya tahu siapa nama Ki Sanak dan hendak ke mana Ki Sanak berdua?” tanya Bajang Laut.
“Maaf, Ki Sanak. Saya Haryo Leno dan ini adik saya Joko Leno. Kami berdua dari sebuah padepokan dan ingin mengembara mencari pengalaman hidup,” sahut Haryo Leno.

Dalam pertemuan itu mereka saling berbagi cerita dan mene- mukan banyak kesamaan tentang prinsip dan pandangan hidup. Mereka bertiga mengembara bersama-sama. Suka dan duka selama perjalanan mereka rasakan bersama sehingga terbentuklah ikatan seperti saudara kandung. Rasa persaudaraan di antara mereka bertiga begitu erat sehingga perjalanan itu menjadi sangat menyenangkan. Mereka bertiga sangat menikmati perjalanan itu. Mereka berbahagia dan tertawa bersama di antara embusan angin, hijaunya dedaunan, hamparan sawah yang menghijau dan gunung yang menjulang, hewan-hewan yang berlarian dan terlihat jinak. Mereka menyatu bersama alam.

Ketika mereka sedang asyik menikmati pemandangan dan beristirahat, berkatalah Bajang Laut, “Wahai, kedua saudaraku. Aku berjanji kelak jika aku menduduki singgasana. Kalian berdua akan aku jadikan sebagai penggawa!”

Waktu pun berputar dengan cepat, Haryo Leno dan Joko Leno masih setia bersama dengan Bajang Laut. Janji Bajang Laut yang akan mengangkat Haryo Leno dan Joko Leno sebagai penggawa apabila Bajang Laut menduduki singgasana membuat Haryo Leno tetap bertahan. Namun, janji Bajang Laut tidak kunjung terlaksana sehingga muncullah niat Haryo Leno pergi meraih impiannya sendiri.

Ia pergi tanpa pamit kepada kedua saudaranya. yang dilakukannya bukan karena ia membenci Bajang Laut, tetapi ia ingin memiliki kehidupan yang lebih baik. Ia ingin mencari kehidupannya sendiri. Karena Haryo Leno berpikir apabila dirinya hanya menunggu Bajang Laut benar-benar menduduki singgasana, hal itu memerlukan waktu yang lama dan belum pasti.

Dengan demikian, Haryo Leno memu- tuskan membuka hutan untuk bercocok tanam. Sampailah Haryo Leno di hutan yang tanahnya rata dan subur. Haryo Leno mem- buka hutan tersebut dan menjadikannya tanah pertanian. Karena keuletan dan kegigihannya, semua tanaman yang ia tanam tumbuh dengan subur. Tanaman-tanaman tersebut menghasilkan buah dan sayuran yang segar sehingga Haryo Leno dapat memanen hasil jerih payahnya sendiri, tanpa bergantung kepada orang lain.

Haryo Leno beranggapan bahwa sebuah proses perjuangan yang dilakukan dengan bersungguh-sungguh akan membuahkan hasil sesuai perjuangannya. Kesabaran dan ketelitian ia tanamkan pada dirinya. Proses yang baik akan memperoleh hasil yang baik pula.

Di kala sang mentari masih mengintip, Haryo Leno memandangi tanaman yang begitu subur, timbullah rasa puas, bangga, dan kagum. Dia pun bergumam dalam hati, “Tempat ini betul-betul sida reja ‘jadi ramai’ atau sida makmur ‘jadi makmur’. Jika kelak tempat ini menjadi desa, aku akan memberinya nama Desa Sidareja!”.

Memandang hasil kerja kerasnya membuat hati Haryo Leno se- nang. Ia benar-benar bahagia karena tanamannya tumbuh dengan

subur dan sehat. Dengan tanaman itulah Haryo Leno dapat mencukupi kebutuhan hidupnya. Sementara itu, sejak kepergian Haryo Leno yang tanpa pamit, Joko Leno dan Bajang Laut terus mencari Haryo Leno. Mereka berdua berpencar mencari ke mana-mana hingga ke pelosok-pelosok desa. Mereka khawatir terjadi sesuatu pada Haryo Leno. Bajang Laut pergi ke arah barat, sedangkan Joko Leno pergi ke arah timur.

Berbulan- bulan mereka melakukan pencarian itu. Pada titik-titik mendekati keputusasaan, Joko Leno berhasil menemukan Haryo Leno.
Tidak selang beberapa lama Joko Leno mendatangi Haryo Leno dan bertanya alasan kakaknya pergi dengan tiba-tiba dan tanpa pamit kepada Bajang Laut. Bahkan, pamit kepada adiknya sendiri pun tidak. Haryo Leno bercerita tentang kepergiannya karena ia merasa rugi bila hanya mengandalkan janji dari Bajang Laut. Bahkan, ia berpikir entah kapan Bajang Laut akan menduduki singgasananya.

Sementara, waktu itu Bajang Laut jauh dari rumahnya dan hidup bersama dirinya. Haryo Leno merasa tidak enak kepada Bajang Laut apabila dirinya pergi berpamitan karena ia berpikir bahwa Bajang Laut mungkin akan mengira dirinya orang yang tidak sabaran dan tidak percaya kepadanya. Ia juga khawatir Bajang Laut tersinggung dengan keputusan dan tindakannya tersebut. Oleh karena itu, Haryo Leno memutuskan pergi tanpa pamit. Akan tetapi, Joko Leno malah berkata lain.

“Hanya alasan Kakang saja. Sesungguhnya Kakang ingin menyaingi Bajang Laut, kan? Ingin menjadi penguasa dan memiliki wilayah kekuasaan sendiri! Kakang juga tidak mengatakan apa pun kepadaku. Kakang ingin meraih sukses sendirian?”
Haryo Leno menjawab, “Tidak adikku, bukan begitu. Kamu salah mengerti dengan apa yang aku katakan padamu.

Percayalah Kakang pergi karena Kakang hanya ingin mewujudkan cita-cita Kakang untuk dapat hidup mandiri dan tidak bergantung pada orang lain. Kakang tidak ingin berutang budi kepada Bajang Laut. Semua itu kulakukan bukan untuk menyaingi kerajaannya. Kalau Kakang tetap menunggu diangkat menjadi penggawa, Kakang pasti tidak akan dapat menjadi seperti sekarang ini.”

Terjadilah selisih pendapat antara mereka. Mereka memiliki alasan masing-masing sehingga terjadilah pertempuran. Kesaktian keduanya berimbang, pertempuran pun terus berlangsung. Mereka saling mengejar, melukai, dan tidak ada yang mau mengalah. Mereka hanya memikirkan pendapat masing-masing dan merasa pendapat pribadi mereka yang paling benar.

Pertempuran dua saudara kandung itu pun semakin menjadi-jadi. Konflik yang memicu terjadinya pertempuran itu hanyalah ke- salahpahaman antara Haryo Leno dan Joko Leno yang telah membela Bajang Laut. Padahal, Bajang Laut sendiri tidak mengetahui bahwa kakak beradik yang ia janjikan untuk menjadi penggawa di singgasananya itu telah bertempur hendak bunuh-membunuh.

Pertempuran tersebut berlangsung berhari-hari. Suatu saat Haryo Leno hendak bersandar (bahasa Jawa, sende-sende) karena lelah melawan Joko Leno. Setiap kali ada tempat yang digunakan untuk pertempuran pasti sebagai peringataan digunakan sebagai nama sebuah desa ataupun tempat. Salah satunya tempat yang digunakan bersandar oleh Haryo Leno. Tempat itu sekarang menjadi desa yang diberi nama Sindeh, dari kata sende.

Pertempuran belum juga berhenti, mereka terus saling mengejar. Akhirnya, mereka pun berhenti di suatu tempat. Tempat perhentian itu menjadi nama sebuah desa yang disebut Karanggandul. Nama itu diambil karena Haryo Leno melihat di sekitar tempat itu banyak pohon pepaya, dalam bahasa Jawa disebut dengan gandul. Saat itu Haryo Leno naik ke gunung dan berhenti untuk melihat sekelilingnya.

Ia melihat jurang yang sangat curam, banyak bebatuan besar, dan dikelilingi rumput liar yang lebat. Siapa pun yang masuk atau terjatuh ke jurang tersebut pasti tidak akan terselamatkan. Ditemukan jasadnya pun belum tentu karena apabila terjatuh badannya akan hancur dan tidak berbentuk.

Tempat itu dinamakan Jurang Ngadeg karena pada saat itu Haryo Leno melihat jurang itu dalam posisi berdiri atau bahasa Jawa ngadeg. Karena kesaktian yang dimiliki, keduanya masih bertempur untuk mengalahkan satu sama lain. Mereka bersikeras mempertahankan kekuatan dan pendirian mereka. Haryo Leno tetap teguh tidak mau

kalah dan dikalahkan, begitu pula dengan Joko Leno. Pertempuran semakin sengit dan berlangsung lama. Pada akhirnya, mereka berdua tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah. Keduanya meninggal akibat pertempuran tersebut. Mereka berdua pun dimakamkan di tempat mereka bertempur.

Ibarat ungkapan dalam bahasa Jawa me- nang dadi areng, kalah dadi awu ‘menang menjadi arang, kalah menjadi abu’. Menang ataupun kalah dalam pertempuran tersebut akan berbuah sia-sia karena semuanya telah hancur berantakan. Hingga saat ini kita masih dapat mengunjungi makam Haryo Leno dan Joko Leno di Cilacap.

Diceritakan oleh: Umi Farida

Disadur dari Cerita Rakyat Cilacap Jawa Tengah.

Diterbitkan oleh Balai Bahasa Jawa Tengah Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Cilacap Info
IKUTI BERITA LAINNYA DIGOOGLE NEWS

Berita Terkait