Suara seruling mengiringi semilir angin membuat hawa terasa sejuk. Daun-daun yang menghampar hijau di lembah dan tebing di sela perbukitan bergoyang pelan seakan mengikuti nada. Sungai kecil mengalir di sebelah sungai Cijolang, yang menjadi tanda saksi alam yang menjadi ciri khas Pasundan dengan ditandai bahasa sehari-hari, adat, kesenian, budaya, dan bentuk rumah, yang semuanya bercorak Pasundan.
Di tepi Sungai Cijolang berdiri patung pahlawan Pangeran Di-ponegoro yang sedang menunggang kuda dan mengacungkan senjata keris dengan gagahnya. Ini menandakan bahwa leluhur kita ikut berjuang mempertahankan bumi yang dicintainya bersama Pangeran Diponegoro. Inilah gambaran keadaan alam Dayeuhluhur yang ter-letak di dataran tinggi sesuai dengan asal-usul nama Dayeuhluhur.
Dayeuhluhur diambil dari dua kata dayeuh yang berarti ‘kota’ atau ‘tempat’ dan luhur yang berarti ‘tinggi’. Daerah ini merupakan tempat berkumpulnya orang-orang dengan kekuatan atau kesaktian yang tinggi pada zaman dahulu serta tempat bertapa atau berlatih ilmu kanuragan.
Zaman dahulu di wilayah Dayeuhluhur Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, berdiri Kerajaan Kawali yang dipimpin oleh Prabu Niskala Wastu Kencana. Raja ini memiliki dua orang istri. Istri pertama me-lahirkan seorang putra dengan nama Prabu Siliwangi dan istri kedua melahirkan putra bernama Prabu Dewa Niskala. Prabu Niskala Wastu Kencana mempunyai adik sepupu yang mempunyai putra bernama Gagak Ngampar. Gagak Ngampar tinggal bersama Prabu Niskala Wastu Kencana.
Pada suatu pagi yang cerah Prabu Niskala Wastu Kencana se-dang bersantai di Tamansari dengan didampingi istri-istri yang di-kasihinya. Mereka sedang menghibur Paduka Raja yang terlihat sedang bermuram durja. Salah seorang istrinya bertanya.
“Kanda Prabu, mengapa sepertinya hari ini Kanda bermuram durja. Ada apa gerangan, Kanda? Adakah yang tidak berkenan di hati Kanda mengenai Dinda, Tuanku Prabu?” tanya sang istri kepada Raja.
“Oh, tidak, Dinda. Adinda begitu baik kepada Kanda dan Dinda begitu menyayangi putra-putra Kanda,” jawab Raja kepada istrinya.
“Kalau begitu, apa gerangan yang Kakanda Prabu pikirkan? Mo-hon Kakanda Prabu berkenan menyampaikan segala sesuatu kepada hamba, mungkin hamba dapat membantu Kanda Prabu,” lanjut sang Istri.
“Oh, terima kasih, Dinda. Dinda sudah begitu perhatian kepada Kakanda.”
Prabu Niskala Wastu Kencana berkata dengan lirih, “Begini, Dinda Ratu. Usiaku sudah lanjut, Kanda sudah tidak mampu lagi memimpin kerajaan ini. Nah, untuk itu aku wariskan tahtaku kepada kedua putraku. Sebelah barat untuk Prabu Siliwangi dan sebelah timur untuk Dewa Niskala. Akan tetapi, aku masih memikirkan Gagak Ngampar yang menginginkan tahta Kerajaan Kawali. Aku ingin tidak ada perpecahan di antara mereka,” Prabu Niskala Wastu Kencana menyampaikan kegundahannya.
Niskala Wastu Kencana menghela napas panjang berusaha me-ngeluarkan beban yang ada dalam hati dan pikirannya.
“Oh begitu, Kanda Prabu?” Kedua permaisuri serempak men-jawab.
Semua hening dengan pikirannya masing-masing. Tiba-tiba se-orang permaisuri berkata, “Begini, Kanda Prabu. Menurut hamba, untuk menghindari perpecahan serta pertumpahan darah, sebaiknya Gagak Ngampar harus mencari sendiri daerah untuk dijadikan ke-rajaan, tetapi beri ia petunjuk dan bantuan.”
“Bagus sekali usulmu, Dinda. Sekarang suruh pengawal untuk memanggil Gagak Ngampar agar menghadapku.”
“Baik, Kanda,” jawab para permaisuri.
Permaisuri pun menyuruh salah satu pengawal untuk memanggil Gagak Ngampar yang saat itu sedang berlatih bela diri.
“Gagak Ngampar, Baginda menyuruhmu menghadap sekarang,” kata pengawal kepada Gagak Ngampar.
“Sekarang?” tanya Gagak Ngampar.
“Ya, sekarang juga. Baginda sudah menunggumu,” tegas sang pe-ngawal.
“Baiklah, aku akan segera menghadap,” dengan patuh Gagak Ngampar pun langsung bersiap-siap untuk menghadap.
Selang beberapa saat Gagak Ngampar sudah berada di hadapan Baginda Prabu.
“Daulat, Tuanku Prabu, ada apa gerangan Baginda memanggil hamba?”
“Oh, anakku, Gagak Ngampar. Ananda hari ini dipanggil karena suatu alasan. Aku memintamu memperluas wilayah kerajaan. Kamu harus pergi ke sebelah timur Sungai Cijolang. Dirikanlah sebuah kerajaan di sana!” perintah sang Raja.
“Baik, daulat Tuanku Prabu! Hamba akan melaksanakan perintah Prabu sebaik-baiknya.”
Pada hari yang telah ditentukan, Gagak Ngampar dilepas oleh Prabu Niskala Wastu Kencana. Ia pergi disertai pengawal dan prajurit dengan membawa perbekalan secukupnya. Tidak lupa pengasuh Gagak Ngampar yang lucu pun ikut bersama tuannya. Pengasuh yang sangat sayang dan setia itu adalah Mamang Lengser. Berangkatlah Gagak Ngampar dengan iringan doa dari seisi Keraton Kawali.
Selama perjalanan Mamang Lengser selalu menghibur tuannya dengan melenggak-lenggokkan badannya sambil bersenandung. Ma-mang Lengser tidak dapat diam. Ia terus saja berbicara.
“Mamang tahu tidak?”
“Tahu apa, Den?”
“Ya, kalau Mamang teh jelek pisan, pendek, perut buncit, muka hitam, hidung pesek, suka ngupil, pipinya bengkak, hehehe,” gurau Gagak Ngampar kepada Mamang Lengser.
Mamang Lengser menangis sejadi-jadinya, duduk di tanah sambil memukuli badannya sendiri.
“Ah, Aden mah ngejek ke Mamang, Aden mah nakal!” Mamang Lengser merajuk.
Turun dari kudanya, Gagak Ngampar mendekati Mamang Lengser sambil tersenyum.
“Aduh tobat, Mamang Lengser. Saya tidak akan mengejek Ma-mang Lengser lagi!”
“Alasan Aden mah, sok ngejek terus ka Mamang.” Hubungan ke-duanya memang sangat akrab sehingga sering bercanda.
“Betul, Mang. Betul tobat saya mah sakit. Sakit banget ini kaki saya diduduki Mamang.”
“Ampun, Den, ampun. Mamang tidak tahu. Mamang siap men-dapat hukuman dari Aden.”
“Jangan, begitu, Mamang. Ayo berdiri! Berdiri! Sekarang kita bersuten, nanti yang menang digendong!”
“Horeeeee, aku menang!” Gagak Ngampar berteriak dengan se-nangnya.
“Hah, Mamang kalah, Den,” gumam Mamang Lengser sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Mamang Lengser pun menggendong tuannya yang sangat di-sayanginya itu sambil bernyanyi. Tidak terasa sampailah mereka di suatu bukit yang letaknya strategis untuk dijadikan istana. Pada puncak bukit ini terdapat dataran yang cukup luas diapit oleh mata air dilindungi tebing curam untuk memudahkan pengawasan wilayah permukiman penduduk.
Sambil beristirahat Raden Gagak Ngampar berkata, “Wahai Para pengikutku, mulai hari ini kita tinggal di sini. Kita beri nama daerah ini Dayeuhluhur karena letaknya yang berada di dataran tinggi. Setuju semua?”
Semua serempak menjawab, “Setuju!”
Sejak saat itu dinobatkanlah Gagak Nsgampar sebagai raja per-tama di Kerajaan Dayeuhluhur. Pada waktu penobatan Mamang Lengser memulainya sambil berkomat-kamit, “reup angin reureuh heula di dieu rek aya beja jep sora jempe heula di dieu rek upacara.” Kalimat itu berarti ‘angin dari timur dan barat berhenti dulu di sini, di Keraton Salangkuning, Kerajaan Dayeuhluhur, mau diadakan penobatan Raja Gagak Ngampar’.
Gagak Ngampar dinobatkan menjadi Raja Kerajaan Dayeuhluhur.
Lalu mahkota sederhana dipakaikan pada kepala Gagak Ngampar. Mamang lengser membacakan janji Raja Gagak Ngampar yang disebut Rineksa Panca Satya. Rineksa Panca Satya merupakan lima dasar falsafah pedoman kehidupan masyarakat.
Satya pertama, Andika kudu ragragna kalakay di walungan Ci-jolang nepi ka walungan gede artinya ‘raja harus memiliki pemikiran yang luas dan menyeluruh serta bersikap adil dan bijaksana’.
Satya kedua, Andika ulah tangga ka gunung tapi kudu tungkul ka laut jeung sing jadi sigara kahirupan artinya ‘raja tidak boleh som-bong, tetapi semestinya rendah hati dan berkenan menampung se-gala permasalahan orang lain serta mau memberikan bantuan selagi masih menjalani kehidupan’.
Satya ketiga, Andika ulah ngaleutikeun hate batur komo ngani bisi mantak sial artinya ‘raja tidak boleh menyepelekan atau menghina orang lain, hendaknya kita memperlakukan orang dengan baik’.
Satya keempat, Andika kudu sare bari nyaring jeun nyaring bari sare artinya ‘raja tidak boleh terlena oleh suatu keadaan. Ia harus se-lalu waspada dan bersiap siaga’.
Satya kelima, Lemah cae jeung saeusina alam ieu teh getih jeung nyawa nadika anu kudu dipusti-pusti jeung diagungkeun artinya ‘raja harus mencintai, menghargai, serta merawat tanah airnya sendiri’.
Setelah menjasi raja, Gagak Ngampar segera membangun keraja-annya. Kerajaan yang semula hanya memiliki rakyat pengawalnya saja sekarang sudah mulai berkembang. Orang-orang dari sekitar Dayeuhluhur banyak yang datang dan akhirnya bermukim disitu.
Raja pada saat itu masih lajang sehingga ia bermaksud mencari istri sebagai pendamping hidupnya. Pada suatu waktu Prabu Gagak Ngampar sedang berburu di hutan. Prabu Gagak kehabisan perbekalan karena direbut kawanan monyet. Karena keasyikan berburu, ia juga terpisah dari pengawalnya. Ia memutuskan beristirahat di bawah po-hon. Selagi beristirahat, bertemulah ia dengan seorang gadis cantik. Sang Prabu menyapa gadis itu. Ia heran mengapa gadis itu berada di hutan seorang diri karena ia tidak melihat ayah si gadis.
“Kamu siapa dan sedang apa berada di hutan sendirian?” tanya Prabu Gagak Ngampar.
Gadis desa itu pun menjawab, “Saya sedang membantu ayah saya mencari kayu. Saya tidak sendiri, ayah saya di sebelah sana.”
“Oh, begitu,” Prabu Gagak Ngampar agak takjub melihat kecan-tikan dan kelembutan gadis itu.
“Mengapa Anda berada di hutan?” sang gadis balik bertanya ke-pada Prabu Gagak Ngampar. Gadis itu tidak tahu bahwa yang di ha-dapannya adalah Prabu Gagak Ngampar yang berburu dengan pa-kaian biasa.
“Saya sedang berburu, tetapi saya kehabisan perbekalan karena dicuri kawanan monyet tadi dan saya kelaparan.”
“Oh, begitu. Saya membawa bekal, tetapi hanya bekal nasi sayur seadanya. Kalau Anda berkenan, silakan ambillah!” tawar si gadis sambil menyodorkan bekalnya kepada Prabu Gagak Ngampar. Sang Prabu terkesima dengan kebaikan gadis itu.
“Kalau ini kumakan, lalu kamu makan apa?”
“Rumah saya tidak jauh dari hutan ini. Kalau lapar, saya dapat segera pulang dan makan di rumah. Silakan ambillah,” jawab si gadis. Prabu Gagak Ngampar pun menerima dan dengan lahap memakan perbekalan gadis itu.
“Terima kasih kamu sudah menolongku,” ujar Prabu Gagak Ngampar.
Kebaikan gadis desa tersebut menjadi awal perkenalan mereka. Selama perjalanan kembali ke Kerajaan Prabu Gagak Ngampar terkenang terus dengan kecantikan, kelembutan, dan kebaikan gadis itu. Ketika sampai di Kerajaan pun, ia terus melamun dan tersenyum mengingat gadis itu. Mamang Lengser terheran-heran. Ia bertanya dalam hati mengapa rajanya bersikap seperti itu. Tidak dapat me-nahan diri, ia pun bertanya kepada Raja.
“Wahai, anakku Prabu Gagak. Ada apakah gerangan mengapa sikapmu aneh seperti itu sejak pulang dari berburu?” tanya Mamang Lengser.
“Hemm, apanya yang aneh, Mang?” Prabu Gagak merasa gugup dan malu ketahuan oleh Mamang Lengser. Ia berusaha menyem-bunyikannya.
“Mamang tahu, Den. Mamang kan sangat mengenal, Aden. Jadi Aden tidak dapat membohongi Mamang,” kejar si Mamang agar Prabu Gagak menyampaikan perasaannya.
“Mamang, aku tadi bertemu dengan seorang gadis,” jawab Prabu Gagak dengan malu-malu.
“Wah, bagus sekali itu, Den. Aden memang harus segera menikah.
Lalu siapakah gadis itu?” tanya Mamang.
“Itulah, Mang. Aku lupa menanyakan namanya.”
“Wah, pasti orangnya cantik sampai si Aden lupa menanyakan namanya,” gurau Mamang Lengser. Prabu Gagak semakin terlihat malu.
“Dia tidak hanya cantik, tetapi juga baik hati dan lemah lembut.” “Besok kita cari gadis itu, Den.”
Keesokan harinya sang Prabu ditemani Mamang Lengser mencari rumah gadis tersebut. Mereka bertanya kepada orang-orang yang ditemui dengan menjelaskan ciri-ciri gadis itu. Setelah agak lama mencari, akhirnya mereka berhasil menemukan rumah sang gadis. Sang gadis sedang menyapu halaman rumahnya ketika mereka sampai di tempat itu.
“Permisi,” sapa Prabu Gagak kepada sang gadis.
Terkejut sang gadis dengan kedatangan Prabu. Dalam hatinya sangat ketakutan jika dirinya atau ayahnya telah melakukan kesalahan yang membuat sang Prabu murka sehingga mendatangi rumahnya. Ia tidak mengenali bahwa sang Prabu adalah laki-laki yang ditemuinya di hutan. Sebab, penampilan Prabu Gagak pada saat berburu berbeda sekali dengan saat ini.
“Ya, Paduka Prabu,” hormat sang gadis dengan lirih.
“Jangan takut, saya ke sini hanya ingin bertemu ayahmu,” kata sang Prabu kepada gadis itu. Sang gadis semakin khawatir jika ayahnya telah melakukan kesalahan. Akan tetapi, ia pun mempersilakan sang Prabu masuk ke rumahnya.
“Oh, mari silakan masuk, Paduka. Saya akan memanggilkan ayah saya,” diliputi perasaan takut, ia pun masuk ke dalam rumah dan me-manggil ayahnya.
Selang beberapa menit, ayah sang gadis ke luar menemui mereka.
“Daulat, Tuanku Paduka. Mohon maaf, Paduka Prabu, sekiranya hamba boleh tahu apa yang sebenarnya terjadi? Mungkinkah hamba atau anak hamba melakukan kesalahan kepada Paduka sehingga Paduka repot-repot menemui kami?” dengan lirih ayah sang gadis bertutur kepada Prabu Gagak.
“Jangan kaget. Jangan takut. Kedatangan saya ke sini adalah untuk mempersunting anak Bapak,” Prabu Gagak langsung menyatakan maksud kedatangannya. Terkejut dengan apa yang didengarnya, ayah sang gadis terdiam dan merasa khawatir.
“Ampun beribu ampun, Paduka, hamba mohon maaf jika putri hamba melakukan kesalahan. Mohon ampunilah.”
“Tidak-tidak, saya ke sini hanya ingin menyampaikan perihal tersebut. Tidak ada kesalahan apa pun yang dilakukan putrimu. Saya menyukai putrimu dan saya ingin mempersuntingnya,” Prabu Gagak menegaskan keinginannya.
Sang Ayah belum percaya dengan apa yang didengarnya. Sang gadis yang mendengar pembicaraan tersebut dari balik dinding pun terkesiap dengan apa yang telah didengarnya. Dalam hatinya berkata dia hanyalah seorang gadis desa biasa, bukanlah anak saudagar yang kaya raya, bukan pula keturunan bangsawan ataupun raja. Namun, mengapa Paduka Prabu ingin mempersunting dirinya? Sang gadis kebingungan dengan permintaan Paduka Prabu.
“Jadi, sudikah Bapak menerima saya sebagai menantu? Panggillah putrimu dan tolong tanyakan apakah ia bersedia menjadi istriku!” sang Prabu menanti jawaban mereka.
“Tapi, Paduka, kami hanyalah rakyat jelata.”
“Lalu mengapa? Apakah salah? Saya menginginkanmu menjadi istriku jika kamu bersedia. Sekarang jawablah!” tegas Paduka Prabu.
Seakan tidak percaya sang gadis pun sekonyong-konyong meng-angguk, menyanggupi keinginan sang Prabu. Beberapa hari kemu-dian, diadakanlah prosesi pernikahan di Kerajaan.
Setelah beberapa tahun menikah, mereka dikaruniai dua orang anak perempuan yang mereka beri nama Candi Kuning dan Candi Laras. Keduanya sangat disayangi oleh sang Prabu. Tahun demi tahun berganti. Kedua anak itu pun sudah tumbuh menjadi remaja. Selama itu pula Prabu Gagak Ngampar memerintah dengan adil dan bijaksana.
Setelah meninggal, Prabu Gagak Ngampar digantikan oleh Ar-sagati, yaitu putra Candi Kuning. Arsagati menjasi raja kedua. Se-peninggal Arsagati diangkatlah putranya, yaitu Raksagati yang men-jasi raja ketiga.
Pada zaman pemerintahan Prabu Raksagati kerajaan ini menganut agama Hindu. Sementara itu, Kesultanan Cirebon menganut agama Islam. Sultan Cirebon ingin mengembangkan wilayahnya sekaligus syiar agama hingga ke Kerajaan Dayeuhluhur. Oleh karena itu, di-utuslah Suradika yang sakti mandraguna ke Kerajaan Dayeuhluhur untuk mengadu kesaktian. Berangkatlah Suradika ke Kerajaan Da-yeuhluhur. Dengan kesaktiannya Suradika dalam sekejap sudah sampailah di depan istana Raja Raksagati.
Setelah Suradika mendapat izin dari penjaga istana, menghadaplah Suradika kepada Raja Raksagati. Ia menyampaikan salam kemudian berkata, “Prabu Raksagati, kedatangan hamba tidak memberi kabar sebelumnya hamba mohon maaf dan hatur salam dari Sultan Cirebon kepada Tuanku Raja!”
“Saya terima salam sembah dari rajamu, sekarang apa tujuanmu ke kerajaanku?”
“Ampun, Tuanku. Hamba diutus untuk menyebarkan agama Islam. Jika Paduka tidak berkenan, kami menantang Paduka untuk mengadu kesaktian.”
“Saya terima tantanganmu!”
Penggawa Kerajaan pun sudah siap mengumpulkan rakyat untuk menyaksikan adu kesaktian itu.
“Rakyat Kerajaan Dayeuhluhur, berkumpulah sekarang, mari kita saksikan adu kesaktian antara raja kita dengan Suradika dari Cirebon!”
Di halaman istana Kerajaan gegap gempita orang-orang menyak-sikan adu kesaktian itu. Seorang penggawa berwara, “Para pembesar istana serta rakyat Kerajaan Dayeuhluhur, mari kita lihat adu ke-saktian. yang pertama adalah lomba makan.”
“Tuanku Raja Prabu Raksagati makan dengan daging kambing!” “Suradika makan dengan lauk daging ayam!”
“Siap!” serempak keduanya menjawab.
Waktu Penggawa Kerajaan memberikan aba-aba, terjadilah ke-anehan. Daging ayam dalam hidangan mengeluarkan suara berkokok, sedang daging kambing yang akan dimakan Raja Raksagati bersuara kambing, maka bersoraklah penonton.
“Hore, hebat, hebat!” teriak penonton.
“Hadirin adu kekuatan pertama seimbang,” teriak Mamang Lengser.
“Sekarang adu kesaktian kedua, memasang bubu (perangkap ikan) di halaman istana yang tidak ada airnya!”
Semua penonton terperangah. Tiba-tiba suatu keajaiban terjadi, di halaman istana yang tidak berair itu, bubu sang Prabu penuh ikan. Semua penonton bersorak, “Hidup Prabu, hidup Prabu!” sedang girang-girangnya penonton, tiba-tiba ada lagi keajaiban. Bubu Suradika berhasil menangkap putri sang Prabu. Penggawa sampai menganga mulutnya melihat keajaiban bubu Suradika sambil meloncat loncat, “Hidup Suradika, hidup Suradika!”
Dengan kejadian itu sang Prabu menyatakan diri kalah. “Aku mengakui kekalahanku, Suradika!”
“Sekarang sebagai imbalannya, nikahilah putriku yang terkena bubumu itu!”
Akhirnya, Suradika diangkat menjadi pejabat Kerajaan Dayeuh-luhur. Beberapa saat kemudian, Raja Raksagati mangkat digantikan putranya, Adipati Raksapraja menjasi raja keempat. Dalam me-laksanakan roda pemerintahan, Adipati Raksapraja terkenal sangat adil, arif, dan bijaksana serta mampu menjadi anutan dan pengayom masyarakatnya. Tidak mengherankan apabila masyarakatnya sendiri sangat patuh dan taat serta menghormati sang Adipati.
Keberhasilan Adipati Raksapraja dalam mengatur roda peme-rintahannya tidak terlepas dari pengalaman falsafah leluhurnya yang selalu dipegang teguh, yaitu Rineksa Panca Satya. Falsafah tersebut tidak hanya diamalkan, tetapi benar-benar berdampak kepada kesejahteraan negeri, sifat kerukunan, kegotongroyongan, dan tolong-menolong yang merupakan gambaran kehidupan masyarakat Dayeuhluhur sehari-hari.
Pengaruh Kerajaan Mataram sangat besar di Kerajaan Dayeuh-luhur. Terbukti dengan masuknya Adipati Raksapraja menganut agama Islam. Semakin hari kekuasaan Mataram semakin terasa dan untuk melicinkan jalan tersebut, Kerajaan Mataram melalui Kiai Gendeng Mataram memberikan seorang putri yang cantik jelita untuk diperistri oleh Adipati Raksapraja. Dari perkawinan itu lahirlah bayi laki-laki yang bernama Wirapraja. Kelak kemudian hari Wirapraja diangkat menjadi Adipati di Dayeuhluhur dengan gelar Adipati Wirapraja. Raja Raksapraja mengetahui bahwa permaisurinya adalah mantan selir Sultan Mataram. Wirapraja juga bukanlah anak kandungnya karena waktu itu permaisuri sudah hamil 5 bulan. Namun, sudah terlanjur Wirapraja tetap menggantikan Raksapraja sebagai raja kelima.
Pada suatu pagi yang cerah terdengar suara telapak kaki kuda, datanglah seseorang dari Mataram menghadap Adipati Wirapraja.
“Adipati yang hamba hormati. Kami diperintahkan Sultan Mataram untuk memperluas pengaruh Mataram ke daerah barat, khususnya Ciancang Ciamis, dengan maksud agar daerah itu takluk terhadap Mataram dan mempertahankan wilayah kita dari Kompeni Belanda.”
“Saya terima maksud kedatangan Adipati untuk bergabung ber-sama pasukan kami dari Dayeuhluhur. Mudah-mudahan Ciancang Ciamis tidak dapat direbut oleh pihak Belanda.”
Dipersiapkanlah semua perlengkapan perang. Kegagalan me-nangkap pasukan Diponegoro dan menumpas pemberontakan di Mataram menimbulkan kemarahan pihak Belanda. Akibatnya, Be-landa secara membabi buta melakukan pembakaran desa-desa, menganiaya anak-anak, berbuat tercela terhadap perempuan, dan membunuh para tawanan. Dengan menyaksikan kejadian itu, pa-sukan Mataram dan prajurit Dayeuhluhur sangat geram terhadap kelakuan Belanda.
“Mari kita bersatu untuk memperkuat perlawanan kita kepada Belanda! Kita satukan kekuatan kita dan mari kita berjuang sampai titik darah penghabisan. Kita namai pasukan kita dengan nama Gerombolan Wetan. Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, hidup pejuang kita, hidup!” begitu teriak semangat pejuang kita.
Pada hari yang sudah ditentukan, bersiaplah semua prajurit dengan segala perlengkapan perang untuk segera berangkat. Adi-pati Wirapraja memimpin pasukan sendiri. Keesokan harinya se-mua pasukan gabungan berangkat menuju Ciancang Ciamis, dan terjadilah pertempuran berhari-hari. Bunyi gemerincing senjata beradu keris dan tombak semakin riuh. Perkelahian satu lawan satu antara serdadu Belanda dan pasukan Gerombolan Wetan makin memuncak. Satu persatu pasukan Gerombolan Wetan tewas karena para pejuang hanya bersenjata keris dan tombak, sedangkan Belanda menggunakan senjata modern. Dengan demikian, banyak korban di pihak kita, tetapi pejuang kita masih pantang menyerah. Mereka mempertaruhkan nyawanya untuk memenangi peperangan.
Ketika peperangan berlangsung, tiba-tiba terdengar teriakan komandan serdadu Belanda, “Hei, kalian para ekstremis. Kalian me-nyerah saja, pemimpinmu telah tertembak! Mengapa kalian diam saja? Ayo menyerahlah kalau kalian orang punya mulut.”
Alangkah terkejutnya para pejuang mendengar teriakan itu. Mereka tidak menyangka Adipati Wirapraja telah gugur. Sesaat para pejuang terpukau. Akan tetapi, keheningan hanya berjalan sebentar saja. Para pejuang kembali bersemangat. Kehendak untuk menebus jiwa pemimpin merajai hati mereka.
“Ayo bangkit! Maju terus! Kita berjuang sampai titik penghabisan.
Allahu Akbar, Allahu Akbar,” teriak para pejuang Adipati Wirapraja.
Daerah pertempuran berpindah ke sebelah timur Ciancang Ciamis. Mayat bergelimpangan di sisi sungai. Pasukan yang masih hidup mundur karena tidak mungkin dapat melanjutkan lagi perlawanannya. Namun, para pejuang tidak patah semangat. Bahkan, kejadian itu menambah rasa benci kepada Belanda. Semangat baru untuk mempertahankan negara tercinta ini timbul lebih hebat dari yang sudah-sudah.
Malam bertambah pekat, hujan mulai turun dengan derasnya sehingga serdadu Belanda tidak meneruskan perlawanannya ter-hadap pasukan kita. Pasukan kembali ke Kerajaan Dayeuhluhur.
Sepeninggal Adipati Wirapraja Raja Dayeuhluhur digantikan oleh Wiradika I (raja keenam). Wiradika I mangkat dilanjutkan oleh Wiradika II. Selanjutnya, Wiradika II dilanjutkan oleh Wiradika III dengan gelar Raden Tumenggung Prawiranegara. Beliau aktif dalam perang Diponegoro. Dengan wafatnya Adipati Wirapraja, perjuangannya diteruskan oleh cucunya, yaitu Raden Tumenggung Prawiranegara.
Para pejuang pada waktu itu tidak patah semangat. Bersama Tumenggung Prawiranegara, mereka ikut berjuang dengan pasukan Diponegoro. Hal itu diketahui oleh Belanda sehingga Belanda mengadakan patroli ke desa-desa untuk mencari Tumenggung Prawiranegara.
Pada suatu hari datanglah pasukan Belanda, sebagian mengendarai kuda, sebagian lagi mengendarai mobil baja. Mereka menyusuri jalan-jalan kecil di perdesaan lengkap dengan persenjataan. Para serdadu Belanda membakar rumah penduduk, lalu menangkap anak dan perempuan. Suasana desa menjadi kalang kabut. Para serdadu Belanda dengan semena-mena menyiksa para penduduk yang tidak berdosa dan dikumpulkan di suatu tempat. Dengan hilir mudik pemimpin Belanda marah-marah karena yang mereka cari tidak ada.
“Hei kamu pemberontak! Tunjukkan di mana pemimpinmu!” bentak pemimpin Belanda sambil memukulkan senjata ke kepala penduduk itu.
“Ampun, saya tidak tahu,” teriak penduduk dengan takutnya. “Kamu bohong!”
“Hei pemberontak, keluarlah! Menyerahlah Prawiranegara, tem-pat ini sudah saya kepung. Kalau tidak mau menyerah, tawanan ini akan saya tembak!”
Melihat kejadian itu, Tumenggung Prawiranegara sangat geram, kemudian dia ke luar dari persembunyiannya.
“Hei Penjajah, kamu sangat kejam dan licik! Kamu pengecut, kamu jadikan orang-orang yang tidak berdosa sebagai tawanan. Sekarang lepaskan penduduk yang tidak berdosa itu dan tangkaplah aku!”
“Bagus, kamu orang berani menampakkan diri!” kata pemimpin Belanda dengan tertawa terbahak-bahak. Tidak melewatkan ke-sempatan itu, secepat kilat para penjajah menangkap Tumenggung Prawiranegara. Lalu, beliau diasingkan ke Padang, Sumatera Barat, pada tahun 1831 sampai meninggal.
Sejak saat itu Kerajaan atau Kadipaten Dayeuhluhur bubar dan wilayahnya diubah atas keputusan Belanda menjadi wilayah Ka-bupaten Cilacap. Berdasarkan besluit Gubernur Jenderal Belanda Nomor 21, tertanggal 21 Maret 1856 sampai sekarang wilayah Ka-bupaten Cilacap ini adalah 2/3 wilayah Kadipaten Dayeuhluhur.
Itulah tadi sekelumit cerita tentang perjuangan nenek moyang kita untuk mempertahankan daerah Dayeuhluhur untuk Negara Indonesia.
Oleh : Umi Farida
Disadur dari Cerita Rakyat Cilacap, Penerbit: Balai Bahasa Jawa Tengah Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2017