Piagam Jakarta adalah hasil rumusan dari tim sembilan anggota PPKI (di dalamnya KH. Wahid Hasyim) yang bertugas merumuskan tentang dasar negara. Sikap ketiga pemimpin nasionalais-muslim tersebut merupakan kelanjutan dari diskusi antara KH. Wahid Hasyim, KH. Masykur (NU) dan Kahar Muzakir (PII) dengan Soekarno pada akhir Mei 1945. (Endang Syaifuddin Anshori, 1983: 13-14).
Namun demikian, terkait sikapnya dengan Pancasila sesungguhnya NU mengalami pergulatan yang dinamis. di awal-awal perumusan Pancasila, perwakilan NU menginginkan Islam sebagai dasar negara. Catatan sejarah menunjukkan bahwa sikap ini berubah seiring perubahan rezim dan konfigurasi politik.
Masa Perumusan
Pada masa sidang kedua Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) untuk membuat rancangan konstitusi (UUD), perwakilan NU kala itu, Kiai Wachid Hasjim (bapaknya Gus Dur) ingin mempertahankan “tujuh kata” (“dengan kewajiban mendjalankan sjariat Islam bagi pemeloek-pemeloeknja”) setelah kata “Ketoehanan”, sebagaimana dinyatakan dalam Piagam Jakarta 22 Juni 1945, hasil kesepakatan Panitia Sembilan.
Wachid Hasjim juga mengusulkan untuk dimasukkan dalam rancangan konstitusi bahwa presiden Indonesia harus seorang Muslim dan bahwa negara Indonesia berdasarkan Islam, bukan Ketuhanan yang Maha Esa seperti yang kini tercantum di pasal 29 UUD ’45.
Perwakilan Indonesia Timur Johanes Latuharhary sempat keberatan dengan “tujuh kata” itu. Namun Wachid Hasjim bersikukuh bahwa itu sudah merupakan kesepakatan Panitia Sembilan. Sukarno, dengan berlinang air mata, membujuk agar yang tak setuju dengan Piagam Jakarta bersedia berkorban karena itu merupakan “hasil jerih payah untuk menghilangkan perselisihan paham antara golongan kebangsaan dan golongan Islam.” Usulan Kiai Wahid Hasyim terpenuhi hingga akhir sidang BPUPK.
“Tujuh kata” beserta turunannya itu baru dicoret dalam pertemuan selama 15 menit yang diinisiasi oleh Mohammad Hatta pada pagi hari menjelang sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945 untuk mengesahkan UUD. Dalam lobi singkat untuk mencoret “tujuh kata” itu, Mohammad Hatta membujuk tokoh Islam.
Tampilkan Semua