(Komposisi anggota PPKI berbeda dari BPUPK. Jika anggota BPUPK dipilih berdasarkan latar belakang ideologis dan perwakilan golongan, anggota PPKI tersusun terutama dari perwakilan kedaerahan dan organisasi. Dari 27 anggota PPKI, hanya 4 saja yang bisa dihitung “mewakili” Islam, yaitu Wachid Hasjim [NU], Ki Bagus Hadikoesoemo [Muhammadiyah], Kasman Singodimedjo [komandan PETA], dan Teuku Hasan [Aceh].)
Dalam Memoir-nya, Hatta menyatakan telah membujuk keempat tokoh Islam di PPKI itu untuk mencoret “tujuh kata”. Namun dalam catatan AB Kusuma, yang dikutip di buku Yudi Latif (kini kepala Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila [UKP-PIP]), Wachid Hasjim tidak hadir dalam lobi itu karena sedang ke Surabaya dan barangkali Hatta lupa. Jika catatan AB Kusuma ini benar, berarti tidak ada perwakilan “golongan Islam” yang menandatangani Piagam Jakarta yang ikut dalam momen krusial pencoretan “tujuh kata” itu. Pada kenyataannya, nantinya pada sidang Badan Konstituante 1956-1959 untuk membuat konstitusi baru, “kelompok Islam” menyatakan “kelompok Pancasila” telah melakukan intrik politik dalam pencoretan “tujuh kata” dari Piagam Jakarta.
Masa Orde Lama
Di Badan Konstituante, NU bersama Masyumi berada dalam kelompok Islam yang mengadvokasi Islam sebagai dasar negara melawan kelompok Pancasila yang tersusun dari Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Komunis Indonesia (PKI), dan partai-partai kecil lain.
Dalam sidang Konstituante, perwakilan NU Kiai Ahmad Zaini menyatakan Pancasila adalah “rumusan kosong” yang ambigu dan dapat mengakui keberadaan “penyembah pohon”. Perwakilan NU lainnya, KH. Saifuddin Zuhri, menyatakan bahwa sila pertama Pancasila kabur maknanya dan dapat ditafsirkan oleh tiap kelompok agama sesuai keinginan mereka sendiri.
Pendeknya, kelompok Islam (NU dan Masyumi) berpandangan bahwa Islam merupakan dasar yang lebih jelas dan komprehensif dibanding Pancasila. Persoalan dasar negara ini membuat sidang Konstituante menemui jalan buntu. Karena kegagalan tiap kelompok untuk memperoleh kuorum 2/3 dari total suara tiap kali diadakan pemungutan suara, Sukarno akhirnya membubarkan Konstituante melalui dekret presiden 5 Juli 1959. Dekret ini menyatakan UUD ’45 kembali aktif sebagai konstitusi dan bahwa Piagam Jakarta “menjiwai” UUD ’45. (Ambiguitas makna “menjiwai” ini di kemudian hari masih mempengaruhi diskursus hubungan Islam dan negara dalam konstitusi dan perundang-undangan dan sempat terangkat dalam upaya reformasi konstitusi pasca-Orde Baru.)
Tampilkan Semua