Masa Orde Baru
Pada masa Orde Baru, rezim Soeharto ingin menerapkan Pancasila hampir di segala lini kehidupan: dari demokrasi Pancasila, ekonomi Pancasila, hingga moral Pancasila. Mengklaim ingin melindungi Pancasila dari ancaman ideologi Islam, rezim merestrukturisasi partai-partai politik menjadi tiga, dengan semua partai Islam (NU, PSII, Perti, dan Parmusi—Partai Masyumi pada saat itu sudah dibubarkan) berfusi ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Pada 1970-an, untuk menentang kebijakan rezim mengenai Pancasila, terutama mengenai penerapan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) untuk pegawai negeri dan umum dan Pendidikan Moral Pancasila (PMP) untuk siswa-siswi di sekolah, Kiai Bisri Syansuri, ketua Dewan Penasehat PPP dan Rais Syuriah NU, berfatwa wajib hukumnya bagi setiap Muslim untuk memilih PPP, satu-satunya partai Islam, sekalipun berrisiko kehilangan jabatan dan pekerjaan.
Pada Sidang Umum MPR 1978 mengenai legalisasi P4, PPP dipimpin Kiai Bisri ke luar dari sidang (walk out) sebagai bentuk protes. Pada 1970-an, orang-orang NU di dalam PPP dipandang sebagai orang-orang garis keras oleh rezim. NU pada dekade ini menjadi oposan paling kritis terhadap rezim, satu hal yang membuat rezim berupaya mempenetrasi PPP dan mengganti orang-orang NU dengan yang lebih bersahabat dengan rezim.
Perubahan Sikap
Posisi NU terhadap Pancasila mulai berubah pada dekade selanjutnya, 1980-an, terutama setelah rezim Orde Baru mengumumkan rencana untuk menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal bagi semua partai politik dan organisasi massa. PPP dan ormas-ormas Islam tentu menghadapi pilihan sulit: berkompromi agar partai/organisasi tetap hidup atau dibubarkan.
NU pada dekade itu mulai mengubah haluan sikapnya terhadap rezim, dari konfrontasi menjadi bersedia kompromi. NU menunjukkan penerimaannya terhadap Pancasila pada Munas 1982 dan mendeklarasikannya secara resmi pada muktamar ke-27 tahun 1984 di Situbondo. Keputusan penting lain dari muktamar itu ialah NU kembali ke “khittah1926” sebagai organisasi sosial keagamaan (jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah) dan tak ingin lagi terlibat dalam “politik praktis”, yang kemudian diwujudkan dengan ke luar dari PPP. Arsitek dari manuver ini adalah Kiai Achmad Siddiq (yang kemudian menjadi Rais ‘Aam Syuriah NU) dan Gus Dur (yang kemudian menjadi Ketua Umum PBNU).