NU menjadi yang pertama dari semua ormas Islam dalam menerima Pancasila sebagai asas organisasi, Bahkan sebelum UU Partai Politik dan Organisasi Kemasyarakatan diumumkan resmi oleh rezim. (NU merumuskan pada 1983, resmi pada 1984! Muhammadiyah merumuskan pada 1983 dan resmi pada muktamar 1985.) NU juga merumuskan argumen-argumen keislaman untuk menunjukkan bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan Islam. Argumen-argumen ini Bahkan kemudian diadopsi oleh Departemen Agama, diwujudkan dalam buku Pedoman Pelaksanaan P4 bagi Umat Islam, untuk dijadikan model bagi ormas-ormas Islam lain. Argumen bernada anekdotal dari Kiai Achmad Siddiq misalnya menyatakan: “Ibarat makanan, Pancasila sudah dikunyah dan ditelan sekian lama, kok baru sekarang dibahas halal-haramnya?”
Argumen yang lebih serius, misalnya dari Gus Dur, menyatakan bahwa fikih tidak saja membagi dunia hanya dalam dua kawasan: darul-Islam (negeri Islam) dan darul-harb (negeri perang). Ada alternatif ketiga, yakni darus-shulh atau negeri tempat umat Islam dapat hidup damai dan menjalankan Islam meski negeri itu tak diatur dengan hukum Islam. (Muhammadiyah punya istilah berbeda tapi kurang lebih sama maknanya: darul-‘ahdi was-syahadah atau negeri konsensus dan persaksian—istilah ini resmi diperkuat lagi dalam muktamar ke-47 Muhammadiyah pada 2015.) Dalam argumen ini, negara Pancasila adalah contoh dari darus-shulh atau darul-‘ahdi was-syahadah itu.
Ideologis atau Pragmatis?
Yang menjadi pertanyaan besar di sini dan membuat para analis berbeda pendapat ialah: apa yang melatarbelakangi keputusan NU untuk berubah haluan menjadi menerima Pancasila pada 1980-an itu? Apakah manuver ini bersifat tulus secara ideologis atau sekadar pragmatisme politis belaka?
Sebagian analis menyatakan itu tak murni ideologis dan lebih banyak dipengaruhi oleh konfigurasi politik saat itu. Kalau saja Orde Baru tak memaksakan asas tunggal Pancasila, NU kemungkinan masih tak menerima Pancasila. Faktor lainnya ialah retaknya hubungan antara NU dan PPP. NU adalah basis mayoritas pendukung PPP namun orang NU kurang terakomodasi secara proporsional di kalangan elite PPP. Dengan kata lain, keputuan NU untuk kembali ke khittah 1926 juga memiliki latar belakang politik, yakni dishamorni dengan PPP. (Pada pemilu 1987, NU melakukan “aksi penggembosan” terhadap PPP dan membuat suara PPP jatuh.)
Tampilkan Semua