CILACAP.INFO – Warga di Banyumas, Purbalingga, Tegal, Brebes dan Pemalang pasti mengenal Gunung Slamet, ya meskipun ada yang memang belum pernah muncak ke gunung tersebut.
Diketahui bahwa, gunung satu ini adalah gunung tertinggi di Jawa Tengah yang memiliki ketinggian 3428 mdpl (meter di atas permukaan laut) dan salah satu gunung yang statusnya masih aktif.
Gunung ini jika cuaca dalam kondisi cerah, bisa terlihat dari ujung paling barat Cilacap, yakni dari Dayeuhluhur.
Banyak cerita rakyat melegenda tentang gunung satu ini, dan juga dikenal gunung yang angker.
Beberapa pengalaman pendaki yang pernah mendaki gunung ini pun pernah membagikan pengalaman seramnya, seperti yang kami jumpai di Forum Kaskus.
Namun baru-baru ini, kami juga menjumpai artikel yang tengah viral di lini masa media sosial dan juga ada di Web / Blog, terkait cerita pengalaman pendakian Gunung Slamet.
Dalam hal ini, Cilacap.info mengambil sebuah cerita yang lebih dulu ada dan banyak diperbincangkan.
Dalam hal ini, Cilacap.info melalui story.cilacap.info mengambil kisah dari Facebook yang diunggah oleh Fanpage “Echdemomania Adventure” juga lengkap dengan Part dan Authornya sebagai bentuk penghargaan akan karya tulis dan Hak Cipta.
Selamat di Gunung Slamet
(Angkernya jalur Dukuh Liwung)
PART 1
Saya Nina, ini kisah kami, saya dan beberapa rekan yang kebetulan dulunya adalah teman satu kantor, kecuali Asep. Kisah ini di awali ketika kami berencana menghabiskan libur akhir tahun, untuk sejenak melepas kejenuhan dari rutinitas pekerjaan yang mulai membuat kami bosan, terutama menghadapi kemacetan Ibu kota.
Waktu itu Desember 2015, tiba lah hari dimana kami memutuskan untuk mendaki gunung Slamet yang merupakan gunung tertinggi di Jawa Tengah. Rencana awal kami akan naik melalui pintu masuk pemandian air panas Gucci, tapi entah kenapa, pagi itu, ketika kami sampai, mobil elf yang kami tumpangi diminta untuk berputar arah, yang kami sendiri tidak tahu diarahkan kemana.
Setelah berputar, dan bertanya sana sini, kami diarahkan ke sebuah desa, desa yang menurut saya cukup rapih namun terkesan sepi, karena sepanjang jalan, kami hanya menemui beberapa penduduk desa saja.
Sampai lah kami di ujung jalan desa ini, kami memarkirkan mobil yang kami sewa, di sebuah tanah lapang yang sepertinya sebuah kebun milik warga. Kami sempat kebingungan, karena ketika kami turun kami tidak melihat pos pendaftaran seperti yang terdapat pada jalur resmi pada umumnya. yang terlihat hanya rumah-rumah penduduk saja, yang sepi seperti tak berpenghuni. Sempat beberapa lama kami hanya terdiam karena tidak tahu harus kemana, tidak ada orang atau penduduk desa yang bisa kami tanya.
Sopir yang mengantar kami pun bingung, karena sepertinya ini juga kali pertama mereka mengantar pendakian lewat jalur ini. Setelah mencoba mencari-cari informasi, syukurlah tak berapa lama, kami langsung diarahkan ke sebuah rumah yang tidak jauh dari tempat kami memarkirkan mobil, kami langsung bergegas mengemasi barang-barang.
Tibalah kami di sebuah rumah berwarna biru muda yang sudah samar warna cat nya, “Dukuh Liwung” itu pertama kali yang kami baca, sebuah papan nama tertancap di atas atap depan rumah ini. Jujur saya pribadi tidak mengenal jalur ini, maklum saya ini bukan pendaki professional, hanya hobi menikmati alam. Panji, teman kami yang pertama kali memberitahukan kami, bahwa jalur yang akan kami lewati ini adalah Jalur Pendakian Legenda, dimana Soe Hok Gie menempuh jalur yang sama ketika mendaki gunung ini. Mungkin Panji pun baru mencarinya di google mengenai jalur ini.
Akhirnya kami dipersilahkan masuk ke sebuah rumah yang ternyata milik Juru Kunci Gunung ini. Panggil saja si Mbah, sosok lelaki tua, kurus namun terlihat masih sangat sehat di usianya yang pastinya sudah tidak muda lagi. Beliau duduk bersila di atas lantai rumah yang masih berbalut acian semen halus khas rumah desa. Dengan senyum nya si mbah menyambut kedatangan kami, yang hanya satu-satunya tamu di rumah ini pada hari itu..
Kami ber 7, 5 laki-laki dan 2 perempuan, saya dan teman saya Widi. Setelah dipersilahkan masuk, dan kami bersalaman dengan si Mbah, kami pun turut duduk bersila bersama si Mbah yang mulai melemparkan pertanyaan pada kami satu persatu dari mana kami berasal. Setelah berkenalan, si Mbah langsung bercerita pengalaman pengalaman beliau selama menjadi penjaga gunung ini. Terutama pengalaman dalam menolong pendaki-pendaki nakal nan sompral yang banyak tersesat Bahkan hilang di gunung ini.
Deg-degan tapi kami tetap menyimak cerita demi cerita yang dituturkan si Mbah. Mulai dari yang hilang berhari-hari sampai yang tidak bisa diselamatkan. Kami tau tujuan beliau menceritakan itu semua bukan untuk menakuti-nakuti kami, tapi untuk dijadikan pelajaran, agar tidak berlaku seenaknya di gunung ini, atau di tempat lain dimanapun kami berada.
Sekilas pasti terlihat ketakutan diwajah kami yang tidak menyangka bahwa kami akan melewati jalur ini, tau namanya saja tidak, ah ga pernah kepikiran kami benar-benar seperti disesatkan. Tapi si mbah coba menenangkan namun suaranya terdengar berat, sehingga kami tahu, bahwa sejujurnya jalur ini memang angker untuk dilewati.
Setelah cerita panjang lebar, dan meneguk teh hangat yang disediakan oleh istri si mbah,dan suasana sudah mencair dari cerita-cerita horror yang dituturkan sebelumnya, pertanyaan terakhir si mbah adalah siapa di antara saya dan Widi yang sedang Haid? Atau waktu haid nya sudah dekat?, sempat saling lirik, namun Alhamdulillah saya baru selesai masa itu, tapi tidak dengan Widi, sepertinya dia akan haid dalam waktu dekat.
Si Mbah lalu memberikan kami sebuah bungkusan berbalut kain putih, berisikan kemenyan. Kami sempat bingung, lalu si Mbah menjelaskan bahwa, kalau di atas nanti salah satu di antara kami datang bulan, mohon jangan ikut muncak, agar berdiam diri saja ditenda, dan sebelum turun, kami diperintahkan untuk membakar kemenyan tersebut dan meraupkan asap nya ke wajah kami masing-masing, bukan hanya saya dan Widi, tapi kami ber tujuh. Tujuannya adalah agar kami tidak disesatkan oleh penghuni gunung ini, ketika perjalanan pulang nanti. Saling curi pandang tak terelakkan dari wajah kami, tapi kami pun tidak mungkin menolaknya. Akhirnya kami memutuskan tetap membawa bungkusan kain putih itu bersama kami menaiki gunung ini.
Selamat di Gunung Slamet
(Angkernya jalur Dukuh Liwung)
PART 2
Waktu sudah menunjukkan sore hari, kami pun bergegas mengemasi barang kami untuk melakukan pendakian. Nantinya kami akan ditemani oleh Pak Sakri penduduk asli Desa ini dan masih satu keluarga dengan si Mbah. Sebelumnya kami sebenarnya tidak berniat memakai jasa porter atau sejenisnya, karena kami tidak pernah melakukan itu dipendakian-pendakian kami sebelumnya, namun dari cerita si Mbah, si mbah menyarankan agar kami ditemani anaknya minimal sampai Pos 2, karena jalur ini masih jarang dilewati dan banyak sekali jalur bercabang yang bisa membuat kami bingung dan bisa jadi membuat kami tersesat. Akhirnya kami setuju, karena kami pun tidak mau ambil resiko jika yang dikatakan si mbah adalah benar adanya.
Akhirnya setelah selesai berkemas dan berpamitan pada si Mbah dan keluarganya, seperti biasa tidak lupa pula kami memanjatkan doa mohon keselamatan kepada Allah SWT untuk pendakian kami kali ini, setelahnya barulah kami mulai menapaki jalur pendakian legenda ini.
Awal perjalanan kami disambut kebun-kebun warga, yang tertata rapih khas pedesaan. Melalui tanah lapang dimana ada tugu batas desa ini di sana. Lalu kami disambut kebun Karet yang pohonnya menjulang tinggi berjejer rapih seolah mengucapkan selamat datang pada kami semua.
Selepas melewati kebun karet, kembali kami menemui perkebunan warga, dan di sanalah kami menemui Pak Sakri untuk pertama kali nya. Pak Sakri seperti yang sudah saya ceritakan sebelumnya, usianya mungkin kurang lebih 40 tahun, tubuhnya kurus namun berotot khas penduduk desa yang suka bekerja keras. Pekerjaan hari-hari beliau adalah berkebun, sama seperti penduduk lain desa ini.
Setelah berkenalan dan berbincang sebentar, kami menunggu Pak Sakri bersiap-siap. Pak Sakri sebenarnya bukan porter yang seharusnya menemani kami, tapi anak Mbah yang satunya yang mengantarkan kami bertemu Pak Sakri ini lah yang seharusnya menemani kami sampai Pos 2, namun karena satu dan lain hal, akhirnya Pak Sakri menggantikan posisinya.
***
Perjalanan dimulai kembali dengan Pak Sakri membuka pembatas kebun yang terbuat dari pagar bambu agar kami bisa melewati jalur pendakian ini. Dengan ini jelas mamastikan bahwa jalur ini bukan jalur pendakian umum biasa, namun hanya orang-orang tertentu yang tau keberadaan jalur ini saja yang melewatinya.
Awal memasuki jalur ini kami disambut oleh pohon-pohon besar nan tinggi dengan akar2 besar bergelantung di sana sini menjadi pemandangan alam yang asri namun kesan angker tak bisa dipungkiri. Jalur ini lebih terlihat seperti hutan rimba daripada jalur pendakian gunung pada umumnya. Jalan setapaknya sudah banyak tertutup pepohonan dan agak licin tanda jarang dilewati.
Namun karena hari masih sore dan matahari bersinar dengan cantiknya menembus celah-celah pepohonan yang kian gagah tertancap di setiap sudut hutan ini, tetap menyajikan pemandangan yang indah dimata kami.
Tidak terasa, sejuknya udara, indahnya pemandangan itu, mengantarkan kami yang tanpa sadar sudah sampai di Pos pertama jalur pendakian ini, ada sedikit tanah lapang di sana. Kami memutuskan untuk beristirahat sejenak menikmati segarnya udara dan sejuknya cuaca sore itu.
Disela-sela istirahat, Saya dan Widi menggunakan kesempatan itu untuk buang air kecil, seperti biasa kami pun mencari celah dibalik pepohonan, dan tidak lupa untuk bilang permisi karena bagaimanapun kami adalah tamu di tempat ini.
Setelah menemukan tempat yang pas, saya dan Widi berjaga bergantian. Saya lebih dulu baru Widi. Teman kami yang lain pun turut melakukan hal yang sama, istirahat sejenak sambil mencari celah pohon untuk buang air kecil. Panji salah satunya, awalnya tidak ada yang aneh dengan kegiatan kami, karena hal ini umum dilakukan para pendaki lain. Namun sungguh kami tidak pernah menyangka, istirahat pertama kami ini lah ternyata awal mula yang menyebabkan kejadian kejadian aneh nan mistis selama pendakian kami, dimulai…
Selamat di Gunung Slamet
(Angkernya jalur Dukuh Liwung)
PART 3
Selepas membersihkan diri setelah buang air kecil, kami duduk-duduk di batang pohon mati, di bawah bedeng non permanen yang terbuat dari batang pohon kecil dan plastik putih yang sudah lusuh dan bolong di sana sini, buatan pendaki terdahulu sepertinya. Terlihat ada bekas bakar-bakaran yang menyisakan warna hangus ditanah dengan beberapa sampah kecil yang terlihat sudah sangat lama ditinggalkan di sana.
Ketika kami sedang asik beristirahat seraya meluruskan kaki kami, mengendorkan otot yang tegang, kami disibukkan dengan banyaknya pacet atau lintah yang menempel pada kaki kami, tidak cuma dikaki tapi juga dipunggung teman kami, syukurlah saya tidak kebagian dalam drama ini.
Gelak tawa tak terelakan melihat tingkah sesama team kami yang kegelian melihat lintah menempel ditubuh mereka. Mereka memutar-mutarkan badan seraya mencari dimana lagi lintah-lintah itu menempel, ada yang masih kecil ada yang sudah menjadi sangat gemuk tanda lintah itu sudah cukup lama berada di sana dan menghisap banyak darah.
Ketika ingin melanjutkan perjalanan, sayup-sayup terdengar adzan maghrib berkumandang. Akhirnya kami memutuskan menunda perjalanan kami sejenak dan melanjutkan setelah adzan maghrib selesai.
***
Perjalanan menuju POS 2 pun dimulai, masih dengan pemandangan yang sama, pohon-pohon besar dengan akar-akar yang kekar tertancap gagah di hutan belantara ini. Sekilas mirip hutan di pinggiran sungai Amazon atau atau di film Anaconda, benar-benar liar. Ukuran batang pohonnya mungkin cukup jika dipeluk oleh dua orang dewasa atau Bahkan lebih.
Hari sudah mulai gelap, tidak ada yang aneh dengan perjalanan kami sejauh ini, sampai pada suatu titk, Panji teman kami mengeluh sakit pada kaki kanan nya.
“Break!, brenti dulu, kaki gue sakit”. Ucapnya.
“Kenapa Nji?” tanyaku.
“Ga tau tiba-tiba sakit banget”.
“Yaudah istirahat dulu nanti baru kita lanjut lagi”. Seru teman yang lainnya.
Kami beristirahat dijalur, karena memang tidak ada tanah lapang di sana, hanya jalur setapak yang ditumbuhi pepohonan lebat. Sambil berdiri kami mencoba mengatur nafas masing-masing, berharap sakit kaki Panji cepat mereda.
Panji berusaha menenangkan kaki nya, yang seolah tiba-tiba mogok tidak mau berjalan. Dibantu oleh Bang Epps dan rekan lainnya. Setelah memastikan bahwa kaki Panji baik-baik saja, dan istirahat cukup, kami memutuskan melanjutkan perjalanan, namun dengan tempo yang lebih lambat.
Seiring berjalan makin lama kaki Panji makin terasa sakit dan berat, hingga akhirnya memaksa kami harus berhenti kembali, padahal baru beberapa saat berjalan. Kali ini Pak Sakri coba membalurkan cream peregang otot pada kaki Panji, yang sebelumnya pun sudah dilakukan teman kami yang lain, namun seperti tidak ada hasilnya. Kaki Panji tetap terasa sakit.
Dengan pertimbangan hari yang kian gelap, dan persediaan Headlamp beberapa dari kami tiba-tiba tidak berfungsi, padahal sebelumnya baik-baik saja, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Waktu menunjukkan pukul 8 malam, itu artinya kurang lebih 4 jam sudah kami berjalan, waktu yang cukup lama dengan jarak yang belum seberapa ini.
Kami bergegas melanjutkan perjalanan menuju Pos 2, dimana di sana terdapat tanah lapang, jadi kami bisa beristirahat dengan lebih leluasa. Namun, tidak lama, lagi-lagi Panji berhenti, sepertinya, kaki kanannya sudah benar-benar tidak bisa diajak berdamai. “Break! Tolong berhenti!”. Seru Panji lagi. Saya dan Widi karena wanita berjalan di tengah, Usep dan Asep berjalan paling depan, dan langsung menghentikan langkah kami. Kami kembali beristirahat dijalur, namun kali ini saya memilih duduk sambil meluruskan kaki, begitu juga dengan teman-teman yang lain, hanya Panji yang masih berdiri dengan memegangi batang pohon yang digunakan untuk membantu nya berjalan.
“Assalamualaikum Warahmatullahi wabarakatuh,,”. Tiba-tiba suara Panji terdengar. Kami semua terdiam. “Nama saya Panji,,”. Lanjutnya. “Saya mohon maaf kalau mungkin ada salah kata dan perbuatan saya, kalau tadi saya buang air kecil tidak bilang permisi, saya mohon maaf, saya tidak ada maksud apapun, saya tidak ada maksud mengganggu atau bersikap kurang sopan, saya mohon maaf.” Ujarnya.
Kami terkejut dengan ucapan Panji tersebut, yang tiba-tiba saja meminta maaf pada entah siapa. Semua mendengarkan dengan wajah bertanya-tanya, namun tidak bisa pula diklarifikasi dalam keadaan sekarang. Akhirnya tak butuh waktu lama, setelah mengucapkan kata-kata itu, kaki Panji tiba-tiba saja pulih, tidak terasa sakit sedikit pun. “Ga tau kenapa, kaki gue sekarang tiba-tiba gak sakit lagi, gak berat lagi,”. Jelas Panji. Saling pandang antara kami dengan wajah penuh tanya tentu saja tak ter elakkan lagi. Antara lega karena artinya kami bisa melanjutkan perjalanan namun juga bingung, apa yang terjadi sebenarnya.
Dengan hati yang masih penuh tanya, kami pun melanjutkan perjalanan, kejadian barusan mengingatkan kami pada cerita-cerita Mbah Kuncen. ‘Ah sudahlah semoga tidak semengerikan itu’. Ucap saya dalam hati. Insyallah tujuan kami baik, tidak ingin merusak apalagi bersikap tidak sopan di gunung ini.
Langkah kami sekarang lebih cepat, karena Panji sudah bisa berjalan normal. Sembuhnya kaki Panji tadi mudah-mudahan menjadi akhir rintangan perjalanan ini, dan dimudahkan untuk perjalanan selanjutnya sampai kami pulang ke rumah masing-masing dengan sehat dan selamat, itu doa saya. Namun pengkabulan doa, memang tidak secepat itu. Kejadian demi kejadian aneh yang kami alami selepas perjalanan dari istirahat barusan, datang silih berganti. Kini di tengah perjalanan menuju Pos berikutnya, kami kembali disambut oleh penunggu lain gunung ini.
Selamat di Gunung Slamet
(Angkernya jalur Dukuh Liwung)
PART 4
Hari semakin gelap, hawa dingin mulai menyeruak masuk ke dalam sela-sela jaket kami. Cahaya bulan redup, terhalang rimbunnya Pohon yang seolah-olah mengamati kami sejak awal. Syukurlah, ternyata kami telah sampai di Pos dua, ada sedikit tanah lapang, kami bisa beristirahat lebih leluasa sekarang, meluruskan kaki, dan mengeluarkan camilan dari dalam tas kami.
Namun karena hari sudah semakin gelap, Pak Sakri meminta kami agar tidak berlama-lama di Pos ini. Entahlah, nada suaranya lebih seperti ingin mengatakan bahwa memang tidak baik berlama-lama di Pos ini. Tapi saya tidak menghiraukan itu, dan tidak pula ingin bertanya lebih jauh, karena hari memang sudah sangat gelap, dan tubuh ini pun sudah minta istirahat, jadi yang terbaik memang kami harus bergegas melanjutkan perjalanan agar dapat segera sampai di Pos 3 dan bermalam di sana.
Perjalanan pun dimulai kembali, Asep dan Usep masih bertahan di posisi depan, diikuti oleh Widi dan saya, lalu Fahmi, Bang Epps, dan Panji. Jalur yang kami lalui masih sama, jalan setapak yang hampir tak terlihat karena dipenuhi tumbuhan liar.
‘WukWukWuk’ terdengar seperti suara burung, namun tidak ada yang melintas di atas kami, suaranya sangat dekat dan jelas. Dengan santai saya bertanya ke pada Pak Sakri. “Burung apa Pak”?. Tanya ku. “Ssst..udah jangan di dengerin, jangan lihat-lihat keatas” Jawab Pak Sakri pelan. Mendengar jawaban itu justru malah membuat kami semakin penasaran. “Emang apa Pak?.” Tanya teman kami yang lain. “Gak apa-apa”. Jawab Pak Sakri singkat. Sejenak kami terdiam, hawa mistis kini lebih terasa menyelimuti setiap sudut hutan ini. Kami merasa ada kehadiran makhluk lain di sini, dan kami sadar sejak tadi kami tidak sendiri.
“Wukwukwuk”.. bunyi itu terdengar lagi. Kali ini Pak Sakri berpindah posisi dari belakang ke depan. Kini tinggal Bang Eps dan Panji berada paling belakang saling bergantian. “Saya pindah ke depan.” Ujarnya, sambil bergegas jalan ke depan, Bang Epss dan Panji sudah pasti ber uji nyali di belakang sana. “Kenapa Pak?.” Tanya ku. “Ga apa-apa” jawabnya. “Sudah lanjut jalan, jangan berhenti, biar cepat sampai Pos 3 kita bisa cepet bangun tenda di sana, terus tidur.” Sambung Pak Sakri.
Tapi karena kami penasaran, dan pastinya sangat ingin tau ada apa sebenarnya, kami sedikit memaksa Pak Sakri untuk memberitahu suara apa itu. Dengan nada suara yang seolah-olah dibuat agar terdengar biasa, Pak Sakri akhirnya memberi tahu kami suara apa itu sebenarnya. “Itu adalah suara Kuntilanak lelaki, biasanya merupakan demit jejadian dari manusia-manusia penganut ilmu hitam.” Ujarnya. “Hah? yang bener Pak?”. Tanya ku. “Iya tapi jangan takut, baca-baca doa aja, pikiran jangan kosong insyaallah ga diganggu.” Jawab Pak Sakri menenangkan.
Disinilah saya baru tahu, bahwa kuntilanak itu ada laki-laki dan ada juga yang perempuan, kuntilanak laki-laki katanya lebih jahat dari pada yang perempuan, tapi apapun itu tetap saja, bagi saya mereka menyeramkan.
Kuntilanak itu kini mengikuti sepanjang perjalanan kami, walau saya tidak melihatnya, tapi saya dapat merasakan bahwa kuntilanak tersebut mengamati kami sejak tadi. Entah kesalahan apalagi yang kami perbuat kali ini, sehingga harus diikuti makhluk jadi-jadian seperti ini.
Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam, kami belum juga sampai di Pos 3, perjalanan terasa sangat lambat, padahal kami terhitung jarang sekali berhenti semenjak kaki Panji sudah kembali pulih tadi. Suara kuntilanak itu timbul dan tenggelam, tapi pasti ada disekililing kami, mengiringi perjalanan kami disepanjang malam ini.
Tiba di sebuah tanah lapang yang tidak begitu besar, sudah tertancap dua tenda di sana. Ini pasti Pos 3, akhirnya kami menemui pendaki lain di gunung ini, dimana semenjak awal perjalanan, tidak ada satu pun pendaki lain bepapasan dengan kami.
“Alhamdulillaahh..sampai juga.” Ucap teman-teman kami seraya meluruskan kaki yang sejak tadiminta berhenti. Tidak terasa hampir 8 jam perjalanan kami hanya dari basecamp sampai di Pos 3 ini. Jalur yang kami lewati sebenarnya tidak terlalu terjal, tapi tidak pula landai, hanya saja terlalu penuh semak belukar.
Dua tenda yang sudah terpasang milik pendaki lain ini, terlihat begitu sepi, tanda penghuni di dalamnya sudah beristirahat dalam lelap. Namun ada yang ganjil dengan dua tenda ini, terdengar suara lantunan ayat suci Al-Quran dari dalam tenda, mungkin berasal dari salah satu Hp milik pendaki di dalamnya.
Suara riuh kami, mungkin membangunkan salah satu penghuni tenda tersebut. Samar-samar saya mendengar Panji dan rekan lainnya yang sudah sampai lebih dulu, berbincang dengan pendaki itu. “Ada yang kesurupan tadi, temennya yang perempuan”. Jelas Panji seraya berjalan kearah kami, dimana Saya, Fahmi dan Widi baru saja tiba di Pos ini “Kapan?.” Tanya ku.
“Barusan katanya, sebelum kita datang.” Jelas nya.
Oh..itulah sebabnya mengapa mereka membunyikan lantunan ayat suci Al-Quran dari dalam tenda. Tapi sepengalaman kami, hal itu hanya akan membuat penghuni lain di sini makin marah, karena mereka terasa ditantang, dan diusik keberadaannya.
Tak lama, kami bergegas mencari lahan bagian datar yang kira-kira dapat kami jadikan tempat bermalam, namun karena terlalu sempit dan hanya menyisakan tanah kosong sedikit yang posisi nya agak miring, terpaksa kami membangun tenda di sana.
Setelah 2 tenda terpasang rapih, Pak Sakri yang sejak tadi berdiri disamping tempat kami mendirikan tenda, mengamati ke arah pohon tepat dari mana arah kami datang tadi. “Masih ada ya Pak?”. Tanya Panji. Panji dan Bang Eps terlihat bolak-balik berkerumun mendekati Pak Sakri. “Itu dipohon itu, lagi liatin kesini.” Jawab Pak Sakri santai sambil meniupkan asap rokoknya. “Apaan sih Nji?,” tanya ku. “Kuntilanak!” Jawabnya singkat. Tidak mau memperpanjang pembicaraan saya langsung menenggelamkan diri bergabung dengan Widi yang sedang memanaskan air, bersama Fahmi, Asep dan Usep serta Bang Eps yang sejak tadi mondar mandir tidak jelas.
“Tuh masih ada Kuntilanak nya, tuh bunyinya masih kedengeran.” Ucap Panji seraya mendatangi kami semua, bunyi wukwukwuk kembali terdengar. Kami hanya saling curi pandang, tidak bisa banyak komentar, takut salah ucap, malah bisa jadi sasaran. Sudahlah jangan dihiraukan, pikirku. Lalu kami melanjutkan memanaskan air, dan menyiapkan beberapa gelas untuk menyeduh kopi dan teh.
Setelah selesai memanaskan air dan membuat teh dan kopi untuk sedikit menghangatkan badan, kami melakukan Sholat isya dan meng qada sholat maghrib. Setelahnya kami bergegas masuk ke tenda, beristirahat, karena kami harus melanjutkan perjalanan kembali esok pagi.
Ketika saya dan yang lain sudah berada di dalam tenda, Pak Sakri dan Panji sepertinya masih berbincang di luar. Entah apa yang mereka bicarakan, sepertinya pembahasan menganai Kaki Panji yang terasa sakit tadi. Ternyata menurut Pak Sakri, kaki Panji ditumpangi tiga makhluk halus penunggu tempat dimana Panji buang air kecil.
Akhirnya kami pun terlelap dalam dingin dan gelap nya malam gunung ini. Bintang tidak lagi tampak, tertutup gelapnya malam dan rimbunnya pohon hutan ini. Malam ini, kami semua beristirahat, di bawah redupnya cahaya bulan. di dalam keremangan tenda, dengan tetap ditemani sosok jadi jadian, yang sejak tadi seolah enggan pergi meninggalkan kami sendirian di hutan ini. Mereka tetap setia mengamati dari balik pohon, tempat mereka bersembunyi..
Selamat di Gunung Slamet
(Angkernya jalur Dukuh Liwung)
PART 5
“Emang lo ga bilang permisi?” tanya ku pada Panji pagi itu. Kini hari telah berganti, cahaya bulan yang redup semalam sudah berubah menjadi terangnya sinar matahari. Sosok jadi jadian pun entah kemana, mungkin kini mereka telah pergi. “Enggak sih Na, tapi gua udah bilang Asslamualaikum.” Mendengar jawaban itu saya pun bingung, harus berkomentar apa. Sejenak saya berpikir, ‘iya, apa salahnya, kan sudah mengucap salam’. Tapi mungkin memang tetap dianggap tidak sopan, ibaratnya kita main ke rumah orang lain, hanya mengucap salam, lalu pergi ke kamar mandi tanpa bilang permisi, pastinya sangat tidak sopan. Tapi sudahlah, semoga hal ini tidak terulang lagi, dan bisa jadi pembelajaran kami kedepannya.
Setelah sarapan dan memastikan perbekalan air yang cukup, kami mulai berkemas untuk melanjutkan perjalanan. Pendaki lain yang semalam bersama kami, sudah lebih dulu melanjutkan pendakian mereka.
“Okeghhh.. siap ya? ber doa dulu, semoga disehat selamatkan perjalanan kita dipendakian kali ini, kita bisa kembali ke rumah masing-masing dalam keadaan sehat wal’afiat tanpa kekurangan suatu apapun, ber doa dimulai.” Ucap Fahmi memimpin doa pagi ini. “Aamiin!” seru kami, seraya benar-benar memohon perlindungan Allah SWT.
Kami pun memulai kembali pendakian ini. Kali ini jalurnya sedikit berbeda kami tidak lagi melewati hutan belantara, dengan pohon-pohon besar menjulang tinggi dan akar-akar yang saling berkait di ujungnya. Jalur yang kami lewati sekarang sedikit menurun, landai namun tidak lama menanjak kembali. Tidak ada yang aneh dalam perjalanan kami pagi ini, cuaca cerah, matahari bersinar dengan indahnya menembus celah-celah daun yang kini sudah tidak terlalu rapat. Ya, sepertinya kami telah lepas dari hutan rimba, kini jalur yang kami lewati sudah terlihat normal seperti jalur pendakian pada umumnya.
Pendakian dari Pos 3 ke Pos 4 berjalan lancar, begitu pun sampai Pos 5. Sesekali kami menjumpai kelompok pendaki lain, tidak banyak memang, tidak sesering seperti pendakian-pendakian kami sebelumnya, yang setiap saat pasti saja berpapasan dengan pendaki lain, Bahkan bisa juga sampai terjadi kemacetan.
Entah kenapa, kami baru bertemu dengan mereka selepas dari Pos tiga ini, sedangkan dari basecamp sampai Pos tiga tidak ada satupun pendaki lain yang kami temui, kecuali di tempat kami bermalam. Singkat cerita, ternyata jalur dari Pos tiga sampai atas merupakan titik pertemuan dari beberapa jalur lain. Saya lupa pastinya jalur apa saja itu, yang pasti para pendaki lain itu, berasal dari sana.
Pak Sakri, yang semula dijadwalkan hanya akan menemani kami sampai Pos dua, tentu saja tidak kami ijinkan pulang. Mengingat kejadian-kejadian yang kami alami, kami sudah pasti membutuhkan beliau untuk menemani kami kembali sampai kami turun dari gunung ini.
***
Tibalah kami di Pos Bayangan. Sebuah tanah datar yang tidak terlalu luas, ada beberapa pohon yang dapat kita gunakan untuk bersandar. Pos bayangan ini adalah Pos sebelum kami benar-benar sampai di Pos terakhir jalur ini, yaitu Pos 5. Ketika kami sampai ada beberapa pendaki lain yang juga sedang istirahat di sana.
Seperti sudah saling mengerti ketika kami datang dan memberi salam, mereka bergegas bersiap melanjutkan pendakian mereka. Mungkin mereka paham, bahwa tempat ini terlalu sempit jika dihuni kami semua secara bersamaan, jika dirasa cukup waktu mereka beristirahat, maka mereka akan memberikan kesempatan pada pendaki lain untuk bergantian.
Kami langsung mengambil posisi masing-masing, ada yang bersandar di pohon, ada yang bersandar di carriel tanpa melepasnya. “Aaaahhhhhh.” Seru kami hampir kompak, sambil meregangkan otot-otot punggung dan kaki yang pastinya sudah bekerja paling keras sejak awal pendakian ini.
Makanan-makanan kecil pun kami keluarkan. Madu berbentuk stik agar mudah dihisap, dan sedikit coklat dan roti untuk mengganjal perut kami yang mulai keroncongan. Ah seandainya kami punya cukup waktu, ingin rasa nya mengeluarkan nesting dan memasak Mie Instan. Tapi sudah lah, Pos 5 yang merupakan pos terakhir jalur ini, sepertinya sudah tidak jauh lagi. Lagi pula hari sudah mulai sore, langit terlihat agak mendung, sepertinya akan turun hujan, lebih baik bergegas agar kami segera sampai atas sebelum hujan benar-benar turun.
Setelah istirahat dirasa cukup, dan tak lupa meneguk sedikit air untuk melepas dahaga, kami melanjutkan perjalanan ini. Baru saja memulai perjalanan, Panji tiba-tiba saja tersungkur. Tapi kali ini bukan karena mahkluk ghaib atau sejenisnya, sepertinya Panji memang kelelahan. “Hayati lelah Bang!” ucapnya seraya bangkit dari jatuhnya. Gelak tawa pecah seketika, bukan karena kami tak simpati tapi memang jatuhnya lucu sekali. Fahmi dan Bang Epps membantunya berdiri, karena bobot tubuh Panji yang besar, membuat mereka harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk menariknya.
Akhirnya, sekitar pukul tiga sore, kami sampai di Pos terakhir. Kami akan bermalam di sini, untuk selanjutnya, menaiki puncak esok pagi. Sudah ada dua tenda di sana, tenda pendaki lain yang pastinya sudah lebih dahulu sampai di tempat ini.
Tidak pakai istirahat, kami langsung berbagi tugas. Ada yang mendirikan tenda, ada yang menyiapkan bahan makanan untuk kami makan sore ini. Setelah tenda terpasang, nesting dikeluarkan, bahan masakan disiapkan, kami pun mulai memasak. Sayur Sop yang sudah dibersihkan dari rumah dibungkus rapih dengan plastik pembungkus sehingga masih sangat segar ketika dimasak untuk kami makan, telor balado, ikan asin dan bakwan menjadi hidangan kami sore ini. Hhmmm..lezat, apalagi dinikmati diketinggian setelah aktivitas yang sangat menguras tenaga.
Kalau ada yang tanya, kenapa tidak ada Mie Instan?. Tentu saja ada, tapi itu pilihan terakhir jika kami kehabisan bahan makanan, dan hanya memiliki sedikit waktu untuk memasak. Kadang kami berprinsip, pemenuhan gizi saat pendakian itu jauh lebih penting, walaupun makan Mie Instan hangat diketinggian yang dingin ini tentu saja sangat nikmat.
Saya, Widi dan Bang Epps kebagian memasak sore ini. yang lain menggunakan waktu istirahatnya sambil menikmati indahnya pemandangan dari atas sini. Fahmi dan Usep berfoto-foto di Goa yang berada tidak jauh dari tenda kami. Pak Sakri tentu saja sedang menikmati me-time nya dengan bersandar sambil ditemani rokok favoritenya.
Tidak terasa, waktu menunjukkan pukul 5 sore, makanan pun sudah terhidang dan siap disantap. Seperti biasa dalam hitungan menit makanan sudah raib tak tersisa, tangan-tangan lapar bagai anacconda bergerak cepat, siap memangsa musuh nya, langsung masuk ke dalam perut mereka.
“Alhamdulillaaahh.. kenyang!.” Kata yang pastinya terucap dari mulut kami semua. Momen makan bersama ini merupakan salah satu saat yang paling nikmat ketika kita melakukan pendakian. Sesi makan pun usai, kini waktunya kami bersiap untuk melaksanakan Sholat maghrib. Cuaca yang semula mendung, kini tampak kembali normal, langit mulai memerah, matahari hampir kembali ke peraduannya.
Sambil menunggu waktu maghrib tiba, Fahmi menunjukkan hasil foto-foto yang diambilnya bersama Usep tadi. Tidak ada yang tampak aneh di awal, sampai suatu foto yang sedikit mencuri perhatian kami. Dalam foto terlihat seperti wanita berambut panjang, namun samar-samar dan wajahnya nya pun tidak kelihatan. Padahal foto itu diambil fahmi di dalam goa yang tentu saja tidak ada siapa-siapa di sana. Tidak mau memperpanjang situasi mengingat kami masih berada di gunung ini, akhirnya kami memutuskan untuk mengabaikan foto itu.
Waktu maghrib pun tiba, kami masuk ke tenda bersiap-siap menunaikan sholat. Usai menunaikan sholat maghrib, sambil menunggu waktu isya kami membuat kopi dan teh untuk menghangatkan tubuh kami dari dinginnya malam yang mulai menusuk-nusuk sampai ke tulang.
Setelah menunaikan sholat isya, dan membersihkan diri dari sisa-sisa keringat hari ini, kami mencoba menikmati indahnya malam ini. Langit mulai gelap, bintang mulai menampakkan kecantikannya, namun keindahan itu tidak bisa lama kami nikmati. Angin dingin yang menembus jaket tebal kami, memaksa kami untuk segera mencari kehangatan di dalam tenda.
Widi tiba-tiba saja berbisik. “Mpok, kayaknya gua dapet dah.” Ucapnya. “Hah! Serius? Coba cek!” jawab ku. Kami bergegas ke dalam tenda.”Bener Mpok.” Deg hati ini mencelos seketika. Melihat wajah Widi, hati nya pasti kacau, karena artinya Ia tidak dapat ikut mendaki puncak besok pagi, padahal Ia sudah sejauh ini. “Yaudah ga apa-apa, bawa pembalut kan?” tanya ku. Widi meng angguk lesu, terlihat kecewa dan panik terpancar dari wajah nya.
Perbincangan kami sepertinya terdengar sampai tenda sebelah, terdengar riuh mereka berkata. “Hah, Widi dapet? Terus bagaimana?.” Entah lah, selain Widi tidak bisa ikut mendaki puncak, bagaimana yang mereka maksud pasti tentang bungkusan putih berisi kemenyan yang diberikan si Mbah sesaat sebelum kami mendaki gunung ini.
Dengan Widi mendapatkan haid hari pertamanya di atas sini, itu artinya kami harus melakukan ritual bakar kemenyan yang diperintahkan si Mbah sebelum kami kembali turun ke Bawah. Namun tentu saja hati kami tidak semudah itu menerimanya, karena kami semua tahu perbuatan itu bertentangan dengan tauhid. Kini kami dihadapkan pada pilihan, apakah kami harus membakarnya dan melakukan ritual tersebut atau ada cara lain agar kami tetap selamat saat kembali turun dari gunung ini…
Selamat di Gunung Slamet
(Angkernya jalur Dukuh Liwung)
PART 6
Hari berganti, kini saat yang kami tunggu-tunggu tiba. Pukul 5.30 pagi, selesai menunaikan sholat subuh, kami bersiap untuk mendaki puncak gunung ini. Menurut informasi kurang lebih 1.5 jam, kami akan tiba di atas, itu artinya sekitar jam 7 pagi. Sengaja kami tidak mendaki lebih awal, karena tidak mengejar sun rise pada pendakian kali ini, mungkin karena tubuh yang terlalu lelah, dan kejadian-kejadian yang cukup memecah konsentrasi kami, sehingga kami memutuskan mendaki dengan lebih santai.
Setelah bersiap dan membawa perbekalan air yang cukup, Saya, Fahmi, Panji, Bang Epps, Asep dan Usep memulai pendakian ini. Hanya Widi yang terpaksa harus tinggal di tenda, walau dengan berat hati, tapi tidak ada jalan lain, Widi harus ikhlas menerimanya. Untung lah dia tidak sendiri, ada Pak Sakri yang menemani.
Pendakian dimulai, dengan jalur yang kini nyaris tanpa pepohonan. Batu-batu besar menemani kami di awal pendakian puncak pagi ini. Kami masih bisa dengan lincah mendaki karena batu itu memudahkan pijakan kami. Namun tidak berlangsung lama, jalur berubah menjadi hamparan pasir batu yang nyaris sulit dijadikan pijakan. Apalagi dengan kemiringan hampir 45 derajat
Dua langkah naik, satu langkah kami merosot turun, mirip jalur di Mahameru. Sesekali kami harus menghindar dari bebatuan yang berjatuhan dari atas. Dari perkiraan jam 7 pagi kami sampai, ternyata jam 8.30 pagi kami baru tiba. 3 jam total perjalanan kami sampai atas, maklum lah lagi-lagi karena kami ini pendaki amatir.
Akhirnya, kaki kami menapak diujung jalur pendakian puncak ini. Sorak soray dan teriakan syukur kami, menggema seketika di atas puncak gunung tertinggi Jawa Tengah ini.
“Alhamdulillaaahhhhhhhhhhhhhhhhh…Ya Allah, Puncaaaakkkkk!!..” Teriak kami, seraya melakukan sujud syukur atas nikmat yang luar biasa ini. Tidak ada yang lebih nikmat bagi seorang pendaki selain dapat meraih puncak dalam keadaan sehat dan selamat. Puncak memang bukan segalanya, tapi meraih puncak sudah pasti menjadi tujuan utama para pendaki seperti kami.
Rasa lelah hilang seketika, semua halang rintang yang kami hadapi selama pendakian ini, terbayar sudah oleh pemandangan yang terhampar indah di depan mata kami. Setelah mengatur nafas sejenak, kami langsung berfoto, untuk mengabadikan keindahan alam dari ketinggian ini. Sekarang awan bukan hanya ada di atas kami, tapi juga di bawah pandangan kami. Salah satu hikmah mendaki puncak adalah kita dapat melihat betapa luas bumi ini, betapa agungnya kekuasaan Tuhan. Kita manusia hanya buih kecil yang bukan apa-apa, tidak ada yang patut kita sombongkan.
Puncak yang kami daki ini sebernarnya bukan lah puncak utama gunung ini, melainkan masih ada satu puncak lagi yang dapat kami jangkau dengan menyusuri pinggir kawah ini. Walau demikian, kami tetap bersyukur sudah sampai sejauh ini. Kami sebenarnya bisa saja melanjutkan ke puncak utama, namun mengingat hari sudah siang, dan teman kami Widi menunggu di bawah, kami memutuskan cukup sampai di sini.
Setelah kurang lebih satu jam kami berada di sini, kini kami harus segera turun, karena asap belerang dari kawah gunung ini sewaktu-waktu dapat meracuni kami. Dengan tenaga yang tersisa, kaki-kaki ini mulai melangkah turun, tak lebih mudah dari perjalan naik tadi. Kami harus kembali menghadapi hamparan pasir berbatu yang kini dapat membuat kami tergelincir jika tidak hati-hati.
Kami memilih berseluncur di awal langkah menuruni puncak gunung ini, lalu dilanjutkan dengan melangkah perlahan. Sakit pada kaki tak bisa dihindarkan lagi, karena kami harus menahan bobot tubuh kami disetiap langkah yang kami ambil agar tidak merosot terlalu jauh. Perlahan namun pasti, kami akhirnya tiba di pos 5 tempat kami mendirikan tenda.
“Alhamdulilllaahh..” Ucap kami seraya berjalan dengan tubuh yang tengah gontai kehabisan tenaga. Teriknya matahari membuat lelah kami berlipat ganda, namun tak membuat kami hilang semangat. Waktu menunjukkan pukul 11 siang, tentu saja perut kami sudah keroncongan. Untunglah ada Widi yang sudah siap menyambut kami dengan hidangan makan siang.
“Haii gaess!!..gimana-gimana?’’ Seru Widi antusias menyambut kedatangan kami. Dari suaranya saya tau, bahwa dirinya pun berharap jadi bagian dari pendakian puncak tadi. “Ayo-ayo, istirahat dulu.” Sambungnya seraya mempersilahkan kami duduk di bawah flysheet di depan tenda. Setelah mengambil nafas, sedikit mereBahkan diri dan meluruskan kaki, melepas alas kaki yang seakan kini penuh duri, dan setelah membersihkan sisa-sisa kotoran yang menempel, kami langsung menyantap hidangan makan siang yang sudah memanggil-manggil sejak tadi.
Telor dadar, Bakwan dan Mie Goreng menu makan siang kami hari ini. Sambil makan Widi bercerita bahwa sepeninggal kami tadi, ada pendaki lain yang datang, dan mengira Widi adalah tukang bakwan. Dengan sedikit kesal Widi berkata “Iya, masa gua dikira tukang bakwan, gara-gara pas mereka sampe, gua lagi goreng bakwan, udah langsung pada bilang enak nih, beli-beli, gitu.” Ucapnya. Hahaha..lucu, mungkin karena Widi bersama Pak Sakri makanya disangka mereka, Widi adalah penduduk asli desa ini. Sudah tidak bisa ikut naik ke puncak, eh disangka jualan bakwan hihi..
Singkat cerita, sambil menikmati makan siang kami saling bercerita tentang pengalaman di atas puncak tadi. Kami tidak terlalu gamblang menceritakannya, karena Widi pasti iri mendengarnya, biarlah nanti kami ceritakan semua setelah turun dari sini. Selesai makan, kami segera berkemas, waktu sudah menunjukkan pukul 1 siang. Tapi kini cuaca tidak terlalu panas, akan turun hujan sepertinya.
Tenda dilipat, nesting dikemas, sepatu kembali dipakai, semua telah siap, kini saatnya kami turun dari gunung ini, menapaki jalur yang sama yang kami lalui ketika awal pendakian ini.
Namun sebelum turun, kami kembali teringat tentang kemenyan itu. Bisik-bisik di antara kami, dan lewat pandangan mata yang seolah saling bertanya, bagaimana nasib kemenyan itu. “Itu bagaimana?”. Tanya ku pelan, Fahmi menoleh ke yang lain. Panji kembali menoleh ke Pak Sakri. Syukurlah Pak Sakri seolah mengerti gelagat kami, bahwa kami berat melakukannya. “Yaudah kalian Sholat kan? Dirumah sholat juga kan?” Tanya nya. “Iya Pak sholat dong Pak, Insya Allah.” Jawab kami bangga. “Yaudah sini, saya pegang saja kemenyan nya, ga usah dibakar, berdoa saja, mohon perlindungan Allah, supaya sehat selamat sampai di rumah.” “Aaamiinn..” Aaahhh..Lega rasanya mendengar perkataan Pak Sakri tersebut, akhirnya kami tidak perlu melakukan ritual yang bertentangan dengan ajaran Agama kami itu. Kini kemenyan itu sudah berpindah tangan, dari tangan kami ke tangan Pak Sakri.
Akhirnya di bawah redupnya sinar matahari, kami memulai perjalanan turun. Kami berjalan satu persatu, Usep, Asep kembali di depan, disambung Widi, Saya, Fahmi, Bang Epss, Panji dan Pak Sakri sebagai Sweeper. Awal perjalanan dari Pos 5 ternyata tidak berjalan lancar, kaki saya sedikit cedera akibat turun dari puncak tadi, sepatu jebol mengakibatkan hampir keseluruhan jari kaki saya berdenyut hebat. Sakittt.. sekali rasanya ketika dipakai berjalan dan bersentuhan dengan ujung sepatu. Untung lah saya bersama suami dipendakian ini, Fahmi harus rela bersabar menunggu saya yang berjalan amat perlahan, sedangkan yang lain, sudah lebih dulu menunggu di depan.
“Ga apapa, jalan duluan aja, seru kami!”. Saya masih berusaha berjalan sambil menahan sakit, namun karena ujung-ujung jari ini sepertinya bengkak maka akhirnya saya memutuskan untuk melepas sepatu dan menggantinya dengan sandal.
Usai memakai sandal, dengan tetap mengenakan kaos kaki, kini saya bisa kembali berjalan dengan lancar. Kini posisi saya di depan, paling depan, diikuti oleh Widi, Usep, Asep, Panji, Bang Epss, Fahmi dan Pak Sakri. Setengah berlari saya menuruni jalur ini dengan cepat, Bahkan cukup cepat untuk membuat mereka yang di belakang berlari sampai ngos-ngosan.
“Stop, jangan cepet-cepat napa Na, ngacir baee!” Seru Panji. “tau nih, mentang-mentang kaki udah kagak sakit.” Sambung Bang Epps. Baiklah saya menghentikan langkah, tapi dengan saya ngebut tadi itu membuat kami tidak terasa sudah sampai di Pos 3. Waktu masih sore, langit belum gelap, kami sepertinya bisa sampai basecamp sebelum jam 8 malam.
Setelah istirahat sejenak, kami melanjutkan perjalanan kembali. Kini perjalanan dari Pos 3 menuju Pos 2, itu artinya kami telah kembali memasuki hutan belantara. Pohon-pohon besar itu kini seolah menyambut kedatangan kami kembali. Jalur yang semula normal kini mulai dipenuhi semak belukar. Langit, mulai tertutup rimbun nya pepohonan. Waktu menunjukkan pukul 4 Sore, namun lebih gelap dari biasanya, kami harus bergegas agar bisa sampai bawah sebelum larut malam.
***
Hari mulai gelap, cahaya matahari kini berganti dengan keremangan cahaya dari headlamp yang kami pakai. Entah sekarang jam berapa, sepertinya hampir jam 7 malam, kami belum juga sampai di Pos 2. Jalur terasa sangat panjang.
Sejak langit mulai gelap, kami berjalan hampir tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, kecuali kata break dan lanjut. Malam cukup hening, kegelapan kian pekat karena cahaya bulan tertutup rimbunnya pepohonan. Namun keheningan malam itu tiba-tiba saja terpecahkan oleh suara Pak Sakri. “Pergi sana, jangan ikut-ikut!” Seru nya. Mendengar itu, Saya hanya saling pandang dan berbisik kecil dengan Widi dan Fahmi yang kebetulan berada di depan dan belakang saya. “Ada apa?” Bisik ku. Widi dan Fahmi hanya menggelang.
“Pergi, saya ga takut! Jangan ganggu-ganggu!” Ucap Pak Sakri lagi, kini sedikit berteriak. Sikap Pak Sakri ini membuat saya sedikit panik, ada apa lagi ini?. Pak Sakri berbicara, dengan entah siapa. Apakah kami akan kembali diganggu oleh mereka yang tak terlihat? Entahlah saya tak ingin memikirkan nya. Ini bukan kali pertama kami diganggu makhluk ghaib di pendakian kali ini, namun tetap saja tidak lantas menjadikan kami berani menghadapi mereka.
Akhirnya kami memilih diam, tanpa banyak bertanya, berjalan sambil menundukkan kepala sepertinya hal yang tepat untuk kami lakukan. Jam 7 malam, kami tiba di Pos 2. Masih dengan sedikit bicara kami beristirahat sejenak, meneguk air minum dan memakan beberapa makanan ringan untuk mengganjal perut yang mulai keroncongan.
“Jangan liat ke belakang.” Ucap Panji tiba-tiba kepada saya dan Fahmi yang duduk tepat dihadapannya. “Kenapa Nji?” Bisik ku penasaran. “Kunti Na.” Jelasnya. Innalillahi lagi-lagi si Kunti, entah laki-laki atau perempuan, saya tidak mau mengetahuinya lebih dalam, cukup tau saja.
Sekilas, bayangan-bayangan gelap memang seperti memberi tanda bahwa mereka mengamati kami dari jarak yang cukup dekat. Saya mencoba menenggelamkan diri di bahu suami, agar tidak melihat mereka yang sedang kami bicarakan. Hutan ini benar-benar tidak menyajikan pemandangan lain, selain suasana mistis dan kegelapan.
Kini malam kian terasa mencekam. Dengan kembali terjadinya kejadian-kejadian aneh barusan, Pak Sakri yang berbicara sendiri, dan munculnya Kuntilanak di Pos 2 ini, kini kami sadar, perjalanan kami kedepan, sudah pasti tidak sendiri lagi. Ada mereka yang tidak terlihat akan mengawasi dan menemani kami di sepanjang perjalanan turun malam ini. Entah makhluk apa lagi yang akan kami hadapi di depan, kami hanya mampu berdoa dalam hati, agar Allah menjaga kami dari kemisteriusan malam ini..
Selamat di Gunung Slamet
(Angkernya jalur Dukuh Liwung)
PART 7 (END)
Kuntilanak itu sepertinya terus mengamati kami, namun seperti tidak ingin ambil pusing, kami tidak menghiraukannya. Biarlah selama makhluk itu diam saja, kami sepertinya tidak perlu khawatir. Kurang dari 10 menit kami berada di Pos ini. Pak Sakri meminta kami bergegas karena perjalanan masih jauh. Kembali menapaki jalur, masih dengan posisi yang sama, Asep, Usep Widi, Saya, Fahmi, Bang Epps dan Panji Serta Pak Sakri berada di posisi paling belakang. Tak berapa lama Pak Sakri lagi-lagi berbiacara sendiri, kali ini, saya melihat kepanikan diwajahnya. “Sana!, tuh ambil tuh, saya ga butuh!.” Ucap Pak Sakri seraya melemparkan sesuatu. Kini saya tidak ingin banyak bertanya, pura-pura tidak tahu seperti nya tindakan paling bijak saat ini.
“Ga usah ikut-ikut, tuh ambil sana, saya ga butuh!” Seru nya lagi. Pak Sakri terlihat marah pada seseorang namun lagi-lagi entah siapa. Walau terlihat marah, raut khawatir tak terelakkan dari wajahnya. “Ambil tuh kemenyan! kemenyan begitu doang aja.” Tambahnya sambil kembali melemparkan sesuatu. Kami tidak bertanya, namun sepertinya Pak Sakri paham bahwa kami ingin tahu, ada apa sebenarnya. Kenapa dari sebelum Pos 2 sampai kami melewatinya, Pak Sakri bertingkah seperti ini?. “Itu, ngikutin, gara-gara kemenyan saya bawa pulang.” Jelasnya. Entah makhluk apa yang dimaksud Pak Sakri yang mengikuti kami saat ini, yang pasti setelah mendengar itu, kini doa-doa tak putus dari mulut kami.
Tak berapa lama, setelah Pak Sakri reda dari amarah dan lemparan kemenyan, kini Pak Sakri kembali disibukkan oleh makhluk lain. “Saya pindah ke depan!” Ucapnya tiba-tiba. Spontan raut wajah panik terlihat dari wajah Panji dan Bang Epps karena artinya sekarang mereka lah yang berada di posisi paling belakang. “Ada anak kecil di atas tas Widi.” Bisik Panji. Sedikit tercengang, saya berjalan tepat di belakang Widi tapi saya tidak melihat siapa-siapa di sana, entahlah kini saya sendiri bingung, perasaan seperti apa yang saya rasakan, panik mungkin tapi selama makhluk itu tak terlihat saya sepertinya masih cukup tenang.
Pak Sakri berlalu ke depan, dengan membawa sebatang pohon kecil yang digunakan untuk menopang sekaligus membuka jalan, karena memang jalur ini sangat penuh dengan semak belukar. Perpindahan posisi Pak Sakri bertujuan untuk menjaga agar sesuatu hal tidak terjadi pada Widi yang kini sedang dalam keadaan Haid yang memang sangat disukai oleh para mahkluk ghaib.
Kami berjalan, kini tanpa bicara sedikit pun, kecuali ada hal yang benar-benar penting. Bayang-bayang sosok anak kecil yang berada di atas tas Widi, tidak saya hiraukan lagi. Gelapnya malam ini, membuat keadaan kian mencakam. Jalur yang kami lalui masih sama, jalan setapak, yang kanan kirinya penuh pepohonan dan semak belukar.
di tengah keheningan, tiba-tiba saya mendengar suara gemerisik dari semak-semak. Ternyata benar, ada sesuatu di sana. Makhluk kerdil mirip Smeagol di film Lord of The Rings melompat –lompat di samping kami. Ia asik melompat ke kanan dan ke kiri bermain-main di semak-semak yang seolah menjadi area bermain baginya.
Makhluk apa lagi ini?? Gumam ku dalam hati. Kini mata ku tak sanggup lagi melihat kedepan, hanya menunduk dan melihat langkah kaki ini saja yang bisa saya lakukan. Namun, mata manusia biasa ini tetap saja dapat melihat makhluk kerdil itu, sesekali makhluk itu berhenti tepat di pinggir jalur yang pastinya akan kami lewati. Mata ini terpejam ketika sosok kerdil itu terlihat mematung menunggu kedatangan kami. Doa tak putus dari mulut ini seraya memohon keselamatan dan perlindungan dari Allah SWT. Pikiran saya berkecamuk, bagaimana kalau makhluk kerdil itu, tiba-tiba saja melompat kepada kami? atau menarik lengan ini ketika melintas dihadapannya? Jarak saya dengan makhluk kerdil tersebut tidak lebih dari satu jengkal.
Saya melewatinya, syukurlah tidak terjadi apa-apa, makhluk itu tetap terdiam di sana, dan kembali melompat di semak-semak. Seperti tidak mau pergi makhluk kerdil itu terus membuntuti kami hingga pada suatu titik kami terhenti. ‘kHihihihihihihi’…Sebuah suara mengagetkan kami, terdengar sangat jelas, dekat sekali seperti ada dihadapan kami.
Kami menengadah, mencari sumber suara itu, namun hanya kekosongan yang kami dapat. Bisik-bisik di antara kami, “Suara apa itu?” Usep mendengarnya seperti suara domba, namun terdengar juga seperti suara ringkik kuda sedangkan saya sendiri mengira itu tawa kuntilanak. Sejenak kami saling pandang, kami tahu, kami memiliki pertanyaan yang sama. Makhluk apalagi yang kami hadapi sekarang?. Manusia kerdil yang tadi mengikuti kami, sudah tidak ada lagi, kini kami dihadapkan oleh makhluk ghaib yang lain.
Tak sadar kami terpaku cukup lama, Usep menyadarkan kami, dengan teriakannya, memberi tahu, di depan kami adalah pos 1. “Gaeesssss.. di depan Pos 1!” Mendengar itu kami bergegas, sambil tetap membawa sekelumit pertanyaan dalam hati, tentang apa yang terjadi di sini, namun tahan, kami masih di sini, tunggu sampai kami menjauh dari tempat ini.
Tanah lapang yang tidak begitu luas, terhampar samar dihadapan kami. Lagi-lagi karena gelapnya malam, semua tak terlihat dengan jelas. Duduk dan menunduk sambil sedikit mengatur napas, kami beristirahat dengan sedikit rasa was was. Syukurlah, ini sudah pos 1 itu artinya tidak lama lagi kami akan sampai.
“Kita lewat jalur lain aja, jangan lewat jalur yang pas naik, bahaya kalau udah malam gini, takut licin, habis hujan.” Ucap Pak Sakri. Memang ketika naik kemarin kami menyebrangi sebuah sungai kecil penuh batu berlumut, jelas menanda kan jarang sekali ada orang yang melintas. Kami yang tidak tahu apa-apa langsung meng iya kan, yang penting kami selamat.
Perjalanan dilanjutkan, jalur yang kami lewati kini memiliki pepohonan yang lebih kecil namun tetap menjulang tinggi. Jalannya cukup besar tidak setapak lagi seperti jalur-jalur sebelumnya. Letak pepohonan nya tidak begitu rapat, cukup berjarak antara satu dan lainnya. Waktu menunjukkan pukul 8 malam, masih cukup sore sebenarnya, namun tidak berlaku di tempat seperti ini, tetap sepi dan mencekam.
Sedikit rasa lega terasa dihati kami, ketika kami mendengar suara musik dikejauhan, samar-samar namun pasti kami semua mendengarnya. “Lah ada suara dangdutan, berarti kita udah di bawah ya, udah deket ke desa kali, apa ada yang hajatan?” Tanya ku. Entah apa yang ada dipikiran saya sampai bisa menyimpulkan seperti itu. yang lain pun seperti meng Amin kan nya. “Iya, di bawah udah desa kali ya, makanya kedengeran sampe sini.”Jawab yang lain. “Berarti sebentar lagi kita sampai dong, Alhamdulillah..” Suara kami terdengar sumringah, itu artinya kami akan segera lepas dari cengkraman jalur ini, namun tidak dengan Pak Sakri yang sejak tadi hanya terdiam mendengarkan kami.
Tiga jam sudah kami berjalan tanpa beristirahat, kini waktu menunjukkan pukul 10 malam, terlepas 2 jam sudah sejak kami mendengar suara musik tadi. Namun tidak ada tanda-tanda sedikit pun kami akan sampai di sebuah desa, atau perkebunan milik warga. Kami justru seperti kembali masuk hutan. Pohon-pohon tinggi kembali menyapa, kali ini dengan semak belukar yang tingginya melebihi kepala kami. Rasa lelah kian berlipat, tak ada tempat untuk beristirahat. Kaki ini sangat lelah, Fahmi Panji mulai merasakan sakit pada kaki nya, untung lah saya tidak, kaki ini masih bisa berjalan dengan baik.
Kami harus sedikit meperlambat langkah kami, namun Pak Sakri meminta kami untuk bergegas karena hari sudah semakin larut. Headlamp hanya beberapa yang menyalanya, makin memperlambat langkah kami. Saya harus menuntun Fahmi yang kakinya kian terasa sakit, begitu juga dengan Bang Epps yang kini harus menuntun Panji. Semak-semak ini sempat membingungkan, jalur tidak terlihat dengan jelas. Untung lah Pak Sakri sepertinya sudah hapal dengan jalur ini.
“Puter balik!” Seru Pak Sakri. Owh tidak, ternyata Pak Sakri pun tidak begitu mengenal jalur ini, pikir saya. “Kurang ajar, orang disasar-sasarin.” Ucap Pak Sakri kesal. “Harusnya lewat sini, kurang ajar itu setan.” Gerutunya. Ya, ternyata makluk-makhluk ghaib tersebut belum puas mengganggu kami. Jalur yang tadinya satu kini menjadi dua dan kami mengambil jalur yang salah, untunglah Pak Sakri segera menyadarinya.
Kami kembali masuk hutan, kembali menapaki jalan setapak, tiba-tiba Asep dan Usep menghentikan langkahnya, hampir saja kami bertabrakan karna saya tidak melihat mereka berhenti, maklum sepanjang perjalanan, sejak kejadian-kejadian tadi, saya tidak berani melihat kedepan, hanya berani menundukan kepala dan sesekali menengok ke belakang untuk membantu Fahmi berjalan.
“Ada apa, kok berhenti.” Tanya Panji dan Bang Epps bersamaan. “Ga tau.” Jawab ku. “Sep ada apa?.” Tanya ku kini pada Usep. Usep, Asep, dan Widi hanya menggeleng sambil melemparkan pandang ke arah Pak Sakri. Pak Sakri terlihat mendatangi sebuah pohon. Bukan pohon besar, hanya pohon berukuran sedang, yang dikelilingi semak belukar dan tumbuhan lain disekelilingnya, sama layaknya pohon lain di hutan ini.
“Kulonuwon, kulo bade izin, niki kulo damel sekeluarga kulo saking Jakarta. Tolong ijinkan lewat, sampean boten nopo-nopo kok, sampean boten enten maksud nopo-nopo, sampean tensih dolanan, tolong boten diganggu.”
“(Permisi, kami ini cuma numpang lewat, tolong jangan diganggu, ini semua masih keluarga dari Jakarta, mereka kesini gak ada maksud apa-apa, cuma sedang main saja. Tolong diijinkan lewat, jangan diganggu).” Ucap Pak Sakri pada Pohon itu. Kami hanya tertegun melihatnya. Saya pribadi ini kali pertama menyaksikan kejadian seperti ini. Seseorang berbicara kepada sebuah pohon, hal yang sangat aneh untuk kami.
Pembicaraan berlangsung cukup lama, sepertinya sang penghuni tidak dengan mudahnya mengijinkan kami ke luar dari hutan ini. Setelah kurang lebih 10 menit, dan dalam ketegangan ini kami pergunakan juga, sebagai waktu untuk kami mengatur nafas. Akhirnya Pak Sakri meminta kami melanjutkan perjalanan. Sepertinya, sang penunggu pohon telah mengijinkan kami untuk pergi dari sini. Dengan kembali mengatur barisan, kami bergegas kembali menapaki jalur ini. Dalam hati ingin sekali menoleh ke arah pohon yang diajak bicara tadi, namun hati ini tak seberani keinginan, lebih baik menunduk saja, dan segera berlalu dari tempat ini.
Sejak kejadian barusan, kini perjalanan kami berlangsung normal, semua lancar tanpa hambatan. Jalur terlihat jelas, dan tidak butuh waktu berjam jam kami sudah sampai di perkebunan milik warga. Kami ambruk terduduk sambil mengucap syukur “Alhamdulilllaaaahhhhhhh ya Allaaahhh,, akhirnyaaaaaa…” teriak kami seraya melabuhkan tubuh ini di sisa lahan sempit, dipinggir kebun ini. Sampai nya kami di sini, seperti kami baru kembali ke kehidupan nyata. Seperti kembali menemukan peradaban manusia, dimana sepanjang malam tadi kami seperti berputar-putar entah dimana.
Cukup lama kami terdiam, terduduk di perkebunan bawang milik warga. Tenaga kami sungguh terkuras habis. Kini waktu menunjukkan pukul 1 pagi. Itu artinya 5 jam perjalanan turun kami dari pos 1, padahal hanya butuh waktu 1-2 jam perjalanan normal.
Kami meluruskan kaki-kaki ini, sambil bertumpu di carrier masing-masing. Sambil sedikit bercanda membicarakan tentang kejadian malam ini. Namun tak banyak yang kami utarakan, karena kami sadar, kami masih di sini, dekat dengan tempat mereka berdiam diri.
Akhirnya dengan tenaga yang tersisa, kami kembali melanjutkan perjalanan. Rumah Pak Sakri yang menjadi tujuan akhir kami, masih berjarak cukup jauh dari sini, kami masih harus melewati sawah, dan kebun karet milik warga. Panji dan Fahmi yang sudah sangat kelelahan serta sakit dikaki nya yang kian menjadi, sempat tidak mau berjalan lagi. Namun kami tidak mungkin bermalam di sini. Dengan sedikit memaksa akhirnya mereka mau berjalan kembali, Panji dan Fahmi di papah oleh Bang Epps Serta Asep dan Usep, dibantu oleh Pak Sakri yang kini membawa carrier Panji.
Pukul 1.30 pagi, setelah melewati gang-gang sempit akhirnya kami sampai di rumah Pak Sakri.
Legaaaa rasanya, senyum sumringah terpancar dari wajah kami. Ya Allah rasanya seperti menemukan mata air di tengah gurun pasir. Kini kami bisa berseka membersihkan diri, lalu istirahat tidur nyenyak malam ini…
EPILOG
Ke esokan pagi nya, pagi-pagi sekali kami sudah dijemput oleh mobil Pick Up yang akan membawa kami ke tempat pemandian air panas Guci, dimana lewat jalur ini lah seharusnya kami mendaki kemarin.
Setelah berbincang-bincang dan mengucapkan terima kasih kepada Pak Sakri dan keluarga yang sudah banyak berjasa menolong kami dipendakian kali ini, kami Pamit. Tidak lupa kami mengabadikan pertemuan kami dengan Pak Sakri dan keluarga, karena bersama beliau lah kami memiliki momen mendaki gunung yang luar biasa.
Setelah berpamitan, sekitar jam 7 pagi kami berangkat. Sesampainya di tempat pemandian, kami langsung memilih tempat untuk kami membenamkan diri di air hangat, mengendurkan otot-otot yang tegang dan meghilangkan rasa lelah.
Usai berendam, kami memanjakan perut, dengan menyantap sate ayam dan sate kambing muda di sebuah rumah makan sederhana. Disinilah kami sedikit bercerita, mengulang kisah-kisah di atas gunung sana. Sambil bercerita, kami pun mengambil beberapa gambar di tempat ini. Usai berfoto-foto, kami teringat foto aneh yang tertangkap oleh kamera Fahmi ketika di Goa. Kami ingin memastikan sekali lagi, sosok apakah yang ada di dalam foto tersebut. Namun berkali-kali kami mencarinya, foto itu sudah tidak ada, hilang dengan sendirinya. Mengetahui itu, kami hanya saling pandang tanpa memperpanjang pembicaraan.
Usai memanjakan diri, kini tiba saatnya kami kembali ke rumah masing-masing. Elf yang kemarin mengantar kami, kini sudah kembali terparkir di sini untuk mengantar kami pulang. Disepanjang perjalanan, ketika kami rasa sudah cukup jauh dari kaki gunung Slamet. Kami baru berani bercerita tentang apa yang dialami oleh diri kami masing-masing secara gamblang. Bahwa sebernarnya, Panji melihat ada 3 orang anak kecil bertengger di atas tas ransel Widi karena Widi membawa pembalut bekas pakai nya. Selain itu, ternyata hanya Saya, Widi dan Fahmi yang melihat makhluk kerdil itu melompat-lompat disemak-semak dan berdiri dipinggir jalur, Bang Epps hanya mendengar suaranya saja tanpa bisa melihatnya.
Ketika di rumah makan, Usep, Asep, Widi dan Panji, telinganya terasa panas ketika membicarakan sosok anak kecil di tas Widi sambil melihat-lihat foto yang hilang dikamera
Suara music yang kami dengar di atas, bukannya suara music dari rumah warga, namun merupakan gending gamelan yang jika saya baca itu merupakan tanda bahaya bahwa kami bisa saja masuk ke alam lain. Namun lagi-lagi Alhamdulillah kami selamat, berkat lindungan dari Allah SWT pemilik alam semesta beserta isi nya.
Itu lah sekelumit kisah kami, Gunung slamet via jalur Dukuh Liwung, memberikan kesan tersendiri pada pendakian kami kali ini. Semoga apa yang terjadi pada kami dapat dijadikan pembelajaran dan ada hikmah yang bisa diambil
Kurang lebih nya saya sebagai penulis dan mewakili rekan-rekan saya, mohon maaf dan terima kasih sudah membaca kisah ini..
__TAMAT__
Author: Nina Fitriana
Part Sebelumnya:
Part 6
Part 5
Part 4
Part 3
Part 2
Part 1
Diunggah dalam fanpage Echdemomania Adventure