Dari jalur ibu, Nyai Solichah, Gus Dur memiliki kakek yang bernama K.H. Bisri Syansuri. Beliau adalah pengasuh pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan. Sementara kakek dari jalur ayah, yakni K.H. Hasyim Asyari, adalah tokoh pendiri Nahdlatul Ulama (NU), ormas Islam terbesar di Indonesia saat ini.
Ketika usia 12 tahun, Gus Dur sudah ditinggal wafat ayahnya karena kecelakaan di jalan menuju kota Bandung. Seketika itu, pendidikannya diambil alih oleh ibunya. Pada tahun 1954 Gus Dur masuk ke Sekolah Menengah Pertama, lalu ibunya mengirimnya ke Yogyakarta untuk meneruskan pendidikan dengan mengaji kepada KH. Ali Maksum di Pondok Pesantren Krapyak sambil sekolah SMEP. Lulus dari SMEP, Gus Dur pindah ke Magelang untuk belajar di Pesantren Tegalrejo.
Seusai dari Tegalrejo, pada tahun 1959, Gus Dur pindah ke Pesantren Tambakberas di Jombang. Karena kecerdasan dan daya tangkapnya yang kuat, pada tahun 1963, Gus Dur menerima beasiswa dari Kementerian Agama untuk belajar Studi Islam di Universitas Al Azhar di Kairo, Mesir. Selama dua tahun di Mesir waktunya lebih banyak dihabiskan dengan jalan-jalan, menonton film, dan membaca di perpustakaan. Tidak puas mengembara ilmu di Mesir, pada tahun 1964, Gus Dur lalu berpindah ke Baghdad. Setelah menyelesaikan pendidikannya di Universitas Baghdad tahun 1970, Gus Dur kemudian melanjutkan petualangan ke Belanda, Jerman dan Perancis sebelum kembali ke Indonesia tahun 1971.
Mulai sejak kecil, Gus Dur sudah terbiasa dengan lingkungan yang beragam. Ketika di Yogyakarta, Gus Dur dititipkan oleh ibunya kepada tokoh Muhammadiyah, Kiai Junaidi. di SMEP, Gus Dur juga sangat akrab dengan gurunya yang beragama Katolik. Darinya, ia dikenalkan dengan banyak buku, mulai dari karya Lenin ‘What is To Be Done’, Das Kapital-nya Karl Marx, karya-karya penulis terkenal seperti Ernest Hemingway, John Steinbach, dan William Faulkner.
Tampilkan Semua