Ia tidak akan meninggalkan dan akan tetap menjadi bagian Kadipaten Penyarang. Tekad itu dibuktikannya dengan tetap menjadi Adipati sampai usianya senja. Kekuatan manusia ada batasnya. Karena usianya yang semakin tua, Adipati Ranggasena merasa tidak mampu lagi menjadi adipati. Oleh karena itu, ia menyerahkan tampuk pimpinan Kadipaten Penyarang kepada putra bungsunya, yaitu Sena Reja atau Hajar Sena. Ia menjadi adipati kedua di Kadipaten Penyarang dengan gelar Adipati Anom Ranggasena.
Seperti halnya ayahnya, penobatan Adipati Anom Ranggasena pun dikukuhkan oleh Sinuhun Keraton Surakarta. Entah beberapa waktu lamanya, setelah menyerahkan tampuk kekuasaan kepada putranya, Adipati Ranggasena meninggal dunia. Namun, sebelum meninggal ia berpesan kepada istri, anak, dan semua penduduk Kadipaten Penyarang.
“Anak dan cucuku semua, jika waktuku tiba, aku harus meninggalkan kalian semua. Tapi, jika kalian minta apa saja kepadaku, aku sanggup.”
Setelah berpesan seperti itu, Adipati Ranggasena menghembuskan napasnya yang terakhir. Ia lalu dimakamkan di wilayah Kadipaten
Penyarang yang disebut Cisagu. Kata cisagu berasal dari pesan Adipati Ranggasena yang “sanggup” memenuhi permintaan anak, cucu, dan penduduk semua. Kata sanggup dalam bahasa Jawa adalah saguh. Jadi, nama Cisagu berasal dari kata ci dan saguh. Selanjutnya, makam Adipati Ranggasena disebut Panembahan Cisagu. Sampai saat ini makam tersebut menjadi tempat ziarah yang terkenal dan banyak didatangi peziarah dari berbagai penjuru.
Diceritakan oleh: Suryo Handono
Disadur dari Cerita Rakyat Cilacap Jawa Tengah.
Diterbitkan oleh Balai Bahasa Jawa Tengah Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Tampilkan Semua