Kisah Kadipaten Penyarang Sidareja Cilacap

ilustrasi Ranggasena dan Kiai Ngabei Tangerang dan para penduduk bergotong royong untuk mendirikan kadipaten
ilustrasi Ranggasena dan Kiai Ngabei Tangerang dan para penduduk bergotong royong untuk mendirikan kadipaten

CILACAP.INFO – Pada zaman dahulu di tanah Pasundan berdiri sebuah kerajaan besar yang bernama Kerajaan Pajajaran. Kerajaan itu dipimpin oleh seorang raja bijaksana, Prabu Ciung Wanara namanya. Sang Prabu mempunyai seorang permaisuri yang cantik jelita.

Dari perkawinannya dengan Sang Permaisuri, Prabu Ciung Wanara dikaruniai tujuh orang anak, yaitu Punggung Kencana (Ling ga Hingwang), Lingga Wesi, Susuktunggal, Anggalarang, Siliwangi, Mundingwangi, dan Mundingmalati (Ranggasena).

Dari putra ketujuh, yaitu Mundingmalati atau Ranggasena, Sang Prabu dikaruniai empat orang cucu, yaitu Segarawangi, Wadas Malang, Gunung Sari, dan Sena Reja atau Hajar Sena. Selain itu, Prabu Ciung Wanara juga mempunyai saudara laki-laki atau adik yang mengabdi di Keraton Surakarta, bernama Arya Bangga.

Pada suatu hari, sang Prabu memerintahkan kepada putra ketujuhnya, yaitu Mundingmalati atau Ranggasena, supaya melakukan pengembaraan. Ranggasena dan keempat putranya dipercaya oleh sang Prabu untuk membuka sebuah kadipaten di tanah Jawa. Pada saat itu, di Kerajaan Pajajaran Ranggasena belum mempunyai jabatan apa pun. Prabu Ciung Wanara bermaksud agar kadipaten yang didirikan oleh Ranggasena nantinya dapat menjadi penghubung antara Pajajaran dan kerajaan lain di tanah Jawa.

“Ranggasena, Putraku, sudah saatnya engkau tunjukkan jati dirimu sebagai putra raja,” titah sang Prabu.

“Ampun, Ayahanda Prabu, apakah yang harus ananda perbuat untuk menunjukkan jatidiri ananda?” sembah Ranggasena.

“Mengembaralah, ajaklah keempat anakmu melangkah ke arah matahari terbit. Carilah tempat di tanah Jawa yang kamu anggap baik. Tinggallah di sana dan dirikan sebuah kadipaten. Ayah berharap kadipaten itu nanti dapat menjadi penghubung antara Pajajaran dan Kerajaan lain di Tanah Jawa.”

Tanpa banyak pertanyaan lagi Ranggasena bersedia menjalankan amanat sang Prabu. Ia harus rela meninggalkan istri tercintanya. Ia juga harus rela meninggalkan Ibu Permaisuri di Kerajaan Pajajaran. Sebenarnya, istrinya tidak merelakan Ranggasena membawa keempat putranya pergi mengembara.

Selain itu, sang istri juga khawatir jika Ranggasena mempunyai istri lagi di tempat pengembaraannya nanti. Namun, keberatan dan kekhawatiran sang istri itu tidak menggoyahkan niat Ranggasena untuk menjalankan perintah ayahandanya, Prabu Ciung Wanara. Dengan segala upaya, dia berusaha meyakinkan istrinya bahwa apa pun yang terjadi dia akan tetap setia.

Tiba waktunya berpisah, Pajajaran tidak seramai biasanya. Suasana sedih menyelimuti warga Kerajaan. Tiada senyum dan gurau terlontar. Tidak ada satu pun kata canda terlempar. Semua muka menunduk lesu. Hanya air mata yang berbicara, Pajajaran sedang berduka. Pajajaran bagai tubuh yang terkoyak oleh sejuta luka yang menganga, perih, pedih, dan menyakitkan. Saat itu, di Balairung Pajajaran, Ranggasena beserta keempat putranya sedang menghadap Prabu Ciung Wanara.

“Ayahanda Prabu, segala persiapan sudah ananda lakukan. Bekal pun sudah kami cukupkan. Izinkanlah Ananda beserta keempat cucu Ayahanda ini meninggalkan Kerajaan Pajajaran untuk memulai pengembaraan kami,” sembah Ranggasena pada Prabu Ciung Wanara.

“Ranggasena, kebulatan tekadmu menjalankan perintahku merupakan cermin jiwa kesatria pada dirimu. Aku tahu, semua ini memang berat. Berat meninggalkan Kerajaan tercinta, berat meninggalkan ayah-ibu, dan berat meninggalkan istrimu, tetapi langkah inilah yang akan menentukan masa depanmu. Oleh karena itu, jangan kamu ragu. Janganlah kota atau negara besar yang kautuju. Pergilah, belahlah hutan lebat dan sepi. Jadikan tempat itu bersemi. Langkahkan kakimu ke arah terbit matahari.”

“Ananda siap melaksanakan, Ayahanda Prabu. Kami mohon diri berangkat mengembara.”

Tangis dan deraian air mata mengiring keberangkatan Ranggasena beserta keempat putranya. Setiap mata terus menatap sayu seakan-akan menahan dan tidak mau melepas mereka. Apalagi, mata wanita belahan jiwa. Mata itu terus berlinang, tidak pernah rela melepas mereka pergi mengembara. Namun, apa daya, ia tidak kuasa untuk menolak kehendak raja.

Dengan langkah mantap Ranggasena dan keempat putranya meninggalkan Kerajaan Pajajaran. Rasa sedih karena harus berpisah dengan orang-orang yang dicintainya sudah tidak tampak di raut wajah. Mereka melangkah sambil bersenda gurau seakan tidak ada beban pada diri mereka.

Dalam pengembaraan itu, mereka tidak lagi mengenakan pakaian kerajaan. Kegemerlapan pakaian Kerajaan Pajajaran sengaja ditanggalkan agar identitas mereka sebagai putra Raja Pajajaran tidak diketahui orang. Mereka menyamar sebagai orang desa dengan pakaian yang sangat sederhana.

Hari demi hari, waktu demi waktu, Ranggasena beserta keempat putranya terus melangkah. Jalan terjal mereka lalui, hutan rimba penuh onak dan duri mereka sibak, tetapi tidak juga ditemui tempat yang pas seperti kehendak ayahandanya. Mereka tidak pernah menyerah, mengeluh, atau putus asa. Bahkan, tidak pernah sedikit pun terlintas rasa ingin pulang ke Pajajaran.

Tanpa terasa, dua tahun telah berlalu. Selama itu pula mereka telah mengembara dari satu tempat ke tempat lainnya. Pada saat itu Ranggasena beserta keempat putranya sampai di tengah hutan yang penuh dengan pohon besar. Daun-daunnya yang rindang seakan menjadi atap sebuah alam yang terbuka. di sela-sela kerindangan daun dan ranting terdapat banyak sarang burung yang menandakan kebebasan hidup burung di sana.

Sementara itu, dibalik pohon banyak hewan berseliweran ke sana-kemari. Tampak sekali jika hutan itu masih asli dan belum dirambah orang. Belum ada manusia yang berani datang atau tinggal di tempat itu. Barangkali, Rangasena dan keempat putranyalah manusia pertama yang menginjakkan kaki di hutan itu.

Hari mulai gelap, terlebih lagi hutan di tempat Ranggasena dan putranya beristirahat sangat lebat, lengkaplah kegelapan menyelimuti tempat itu. Ranggasena kemudian memutuskan untuk tinggal di tempat itu.

“Anakku, sebentar lagi hari akan gelap. Sebaiknya kita segera mencari kayu dan dedaunan untuk membuat tempat berlindung malam ini,” kata Ranggasena kepada keempat putranya.

“Benar, Ayah, tampaknya tempat ini nyaman untuk beristirahat,” jawab putra tertuanya.

Tanpa banyak bicara, mereka lalu mencari kayu dan dedaunan untuk membuat rumah-rumahan. Dalam waktu singkat, rumah perlindungan sederhana telah berdiri di antara batang-batang pohon besar. Dengan menyilangkan batang kayu pada ranting pohon yang satu dengan yang lain, terbentuklah rumah pohon yang kuat untuk mereka berlima. Daun-daun yang terkumpul mereka susun sebagai atap dan dinding untuk menahan dinginnya udara. Tidak lupa, mereka juga membuat api unggun.

Selain untuk menghangatkan lingkungan, api itu juga digunakan sebagai penerangan supaya jika ada binatang buas yang mendekat dapat terlihat. Malam pun tiba. Kegelapan menyelimuti seluruh isi hutan. Keempat putranya sudah tidur di rumah panggung, tetapi Ranggasena belum juga pergi ke pembaringan. Dia masih duduk di dekat api unggun. Ranggasena tampak merenung, sesekali pandangan matanya disebarkan ke sekitar seakan-akan ada sesuatu yang direncanakannya.

“Apakah tempat ini yang dimaksudkan oleh Ayahanda Raja?’ katanya dalam hati.

“Jika memang ini yang dikehendaki, apa yang harus kulakukan dengan hutan selebat ini?”

Lama Ranggasena merenung, angan demi angan terus menggelayut, membebani setiap celah pikirnya. Semua kembali pada pertanyaan, langkah apa yang harus ia lakukan dengan tempat itu.

Sementara, tidak ada seorang pun yang tinggal menghuni tempat sesunyi dan sengeri itu. Renung demi renung dilaluinya, akhirnya rasa kantuk pun menghampiri. Mata tidak lagi mampu tersangga. Dengan langkah yang mulai lemas, ia naik ke rumah pohon menyusul keempat putranya yang telah terlelap. Irama malam dan nyanyian kesunyian di hutan itu pun mengayunnya dalam mimpi.

Suasana tenang di hutan itu membuat Ranggasena dan keempat putranya merasa nyaman. Mereka merasa betah tinggal di tempat itu. Apalagi bagi Ranggasena, ia meyakini bahwa tempat itu adalah tempat yang dimaksudkan oleh ayahandanya. Keyakinan itulah yang membuatnya bertahan. Sehari, dua hari, dan sampai berhari-hari mereka belum menemukan tanda-tanda adanya orang lain yang mau tinggal di tempat itu. Namun, ketika berjalan-jalan di sekitar hutan,
Ranggasena dan putranya dikejutkan oleh adanya sekelompok orang yang berada di tengah hutan.

“Siapa mereka? Hemm… tampaknya memang sudah ada orang yang terlebih dahulu tinggal di hutan ini,” guman Ranggasena dalam hati sambil melangkah menghampiri mereka.

“Salam, Ki Sanak,” sapa Ranggasena kepada mereka sambil menyalami satu per satu.

“Maaf, kami mengganggu. Perkenalkan nama saya Ranggasena dan ini keempat anak saya. Kami pengembara yang kebetulan sampai di tempat ini dan merasakan betapa tenteram dan asrinya hutan ini.”

“Selamat datang, Ki Ranggasena. Semoga berkah Tuhan menyertai pengembaraan Ki Rangga,” jawab seorang yang paling tua dalam kelompok itu.

“Terima kasih, Ki. Maaf, bagaimana kami harus menyebut Kiai?”

“Oh, ya, sampai lupa memperkenalkan diri. Saya Ngabei Ta ngerang. Mari, silakan singgah ke gubuk saya. Tidak enak kita berbincang sambil berdiri seperti ini,” Kiai Ngabei Tangerang mem persilakan.

Setelah mereka masuk dan duduk, Kiai Ngabei Tangerang melanjutkan ceritanya, “Oh, ya, kami ini adalah penduduk asli di hutan ini.

Kebetulan, saya yang paling tua dan dituakan oleh mereka. Mereka memanggil saya Kiai Ngabei Tangerang. Kami sudah cukup lama tinggal di Hutan Penyayangan ini.”

“Hutan Penyayangan?” tanya Ranggasena.

“Ya, ya, itu sekadar nama yang saya buat untuk menyebut tempat ini. Nama itu saya pilih karena hutan ini banyak pohon besar dan rindang, banyak binatang yang tidak pernah saling bermusuhan, dan berbagai jenis burung yang hidup dan bersarang di sela ranting pepohonan. Hutan dan semua binatang itu hidup berdampingan tanpa ada permusuhan seakan hidup saling menyayangi. Oleh karena itulah, hutan ini saya namai Hutan Penyayangan.”

Kiai Ngabei Tangerang menerangkan dengan rinci semua keadaan di hutan itu. Dari tutur katanya tampak sekali bahwa sebenarnya dia bukan orang sembarangan. Sebenarnya, Kiai Ngabei Tangerang adalah seorang yang sudah tersohor ke mana-mana sebagai seorang ahli agama. Selain itu, dia juga dikenal sebagai seorang yang memiliki ilmu kesaktian. di hutan itu dia hidup bersama dengan dua orang anaknya, yaitu Tejalamat dan Megalamat.

Setelah mendengar penjelasan Kiai Ngabei Tangerang yang cukup rinci, Ranggasena mencoba menjelaskan kembali asal muasal mengapa mereka sampai di hutan itu. Akan tetapi, ia tidak menceritakan bahwa dirinya adalah putra Prabu Ciung Wanara, Raja Pajajaran. Hal itu ia lakukan agar Kiai Ngabei Tangerang tidak curiga pada mereka. Memang, sebagai orang tua dan berilmu, Kiai Ngabei Tangerang tidak menaruh curiga sedikit pun terhadap Ranggasena dan anak-anaknya.

Namun, tetap saja ada orang yang tidak suka atas kedatangan Ranggasena. Hal itu sesuai juga dengan cerita Kiai Ngabei Tangerang bahwa di Penyayangan masih ada perselisihan kecil karena perebutan lahan atau perbedaan pendapat. Ia sudah berusaha mencari cara agar mereka tidak saling bermusuhan, tetapi belum berhasil.

Kondisi penduduk seperti itu menggerakkan hati Ranggasena untuk membantu Kiai Ngabei Tangerang. Dalam hati ia bertekad untuk dapat menyatukan mereka. Oleh karena itu, ia memantapkan diri untuk tinggal di Hutan Penyayangan.

“Kiai, jika Kiai tidak keberatan, saya beserta anak-anak mohon diterima di tempat ini untuk membantu dan berguru kepada Kiai,” tutur Ranggasena kepada Kiai Ngabei Tangerang.

“Heheheh… Kalau membantu dan tinggal bersama, dengan senang hati saya menerima, tetapi untuk berguru, ilmu apa yang dapat saya berikan?”

“Saya percaya, Kiai memiliki ilmu hidup dan kehidupan yang tidak kami miliki,” kata Ranggasena meyakinkan Kiai Ngabei Tangerang.

Melihat kesungguhan Ranggasena, Kiai Ngabei Tangerang akhirnya menyetujui dan menerima mereka. Bahkan, Kiai Ngabei Tangerang meminta mereka untuk tinggal bersama di gubuknya.

Waktu terus berlalu, tanpa terasa sudah bertahun-tahun Ranggasena dan anak-anaknya berguru pada Kiai Ngabei Tangerang. Selama itu pula mereka menerima ilmu agama, ilmu kebatinan, dan ilmu-ilmu lainnya. Ranggasena pun juga sudah mengerti dan memahami keadaan hutan dan karakter penduduk Penyayang. Rang gasena merasa sudah saatnya untuk mengemukakan niatnya mendirikan sebuah kadipaten di temapat itu kepada Kiai Ngabei Tangerang.

“Maaf, jika saya lancang, Kiai. Penduduk Penyayang makin lama makin banyak. Sekarang ini pun tampaknya sudah banyak. Jika Desa Penyayang ini dibiarkan terus begini seakan-akan tidak pernah berkembang dan maju,” kata Ranggasena kepada Kiai Ngabei Tangerang.

“Maksudmu bagaimana?”

“Saya berpikir, sudah saatnya kita mengubah Desa Penyayang menjadi sebuah kadipaten, Kiai.”

“Lalu, apa yang akan kamu lakukan?”

“Jika Kiai setuju, saya mohon izin menggerakkan warga untuk mewujudkan kadipaten itu.”

“Secara pribadi, aku setuju. Namun, hal itu tidak berarti dapat langsung dikerjakan. Semua itu harus dirembuk bersama seluruh warga.”

Saat itu, tanpa mereka sadari, ada sepasang mata dan telinga yang secara sembunyi-sembunyi mengintip dan mendengarkan pembicaraan itu. Mata dan telinga itu adalah milik seorang penduduk yang tidak suka terhadap Ranggasena. Secepat kilat dan tanpa bersuara ia meninggalkan tempat itu dan mengabarkan kepada sekelompok orang yang tidak suka terhadap Ranggasena. Ia menceritakan rencana Ranggasena dengan berbagai bumbu cerita agar orang-orang tidak menyetujui.

Orang-orang yang mendengarkan hasutan pengintai tadi lalu mencari cara dan siasat untuk menggagalkan rencana Ranggasena. Mereka berniat menghasut seluruh penduduk agar menolak usulan Ranggasena. Berbagai cara mereka lakukan dengan satu tujuan menggagalkan rencana Ranggasena. Jika perlu, ketika Ranggasena menyampaikan usulan rencananya rakyat sudah tahu dan semua menolaknya.

Saat yang dinanti-nantikan itu akhirnya tiba juga. Pada suatu hari, Kiai Ngabei Tangerang mengumpulkan penduduk Penyayang. Mereka duduk berkumpul di pelataran depan rumah sang Kiai. Sementara itu, Kiai Ngabei Tangerang diapit oleh Tejalamat dan Megalamat berdiri menghadapi mereka.

“Sedulur-sedulur, saya sengaja mengumpulkan kalian karena ada sesuatu yang penting yang harus kita bicarakan.” kata Kiai Ngabei Tangerang membuka pembicaraan.

Penduduk yang hadir semua diam. Mereka menunggu dengan rasa penasaran, sebenarnya apa yang akan disampaikan oleh sesepuh mereka itu. Mata mereka menatap tanpa berkedip seakan takut kehilangan gerak sang Kiai.

Kiai Ngabei Tangerang kemudian melanjutkan ucapannya, “Beberapa waktu yang lalu Ranggasena menghadap padaku dan menyampaikan rencananya. Meskipun menyetujuinya, aku belum dapat mengiyakan sebelum berbicara dengan kalian.”

“Rencananya apa, Kiai?” tanya salah seorang penduduk.

“Biarlah Ranggasena sendiri yang mengatakan supaya lebih jelas.”

Ranggasena lalu mengemukakan apa yang menjadi maksud dan rencananya, yaitu mengembangkan Penyayang menjadi sebuah kadipaten. Mendengar ucapan Ranggasena semua penduduk menggangguk-angguk. Namun, tiba-tiba mereka berteriak-teriak tidak setuju. Mereka berdalih bahwa Ranggasena bukan penduduk asli. Mereka curiga Ranggasena hanya akan merusak tatanan yang selama ini sudah berjalan dengan baik.

Hari itu suasana semakin memanas. Meskipun Ranggasena menjelaskan bahwa tujuannya adalah memajukan Penyayang, penduduk masih tetap pada pemikirannya. Semakin lama teriakan demi teriakan terlontar semakin ramai dan tidak ditemukan kata sepakat. Bahkan, ada penduduk yang justru menantang Ranggasena untuk beradu kekuatan.

Kiai Ngabei Tangerang mencoba mendinginkan suasana yang panas dan mulai tidak terkendali itu. Namun, upayanya sia-sia. Penduduk belum mau menerima. Mereka lebih senang jika yang membangun kadipaten adalah Kiai Ngabei Tangerang sendiri.

“Ya, ya, aku paham maksud kalian. Namun, perlu juga kalian pahami, aku sudah tidak muda lagi. Aku sudah terlalu tua untuk memimpin pembangunan sebuah kadipaten. Oleh karena itu, perlu dicari pemimpin yang muda, pandai, dan tegas seperti Ranggasena.”

Mendengar ucapan Kiai Ngabei Tangerang semua penduduk terdiam seribu bahasa. Mulut mereka membisu bagai terkunci. Mereka merasakan ucapan tulus itu keluar dari orang yang selama ini mereka hormati. Apalagi ketika sang Kiai menegaskan bahwa dia juga akan turut mewujudkan kadipaten itu, penduduk semakin yakin bahwa ucapan itu benar. Mereka semakin terbuka pikirannya.

Mereka juga menyadari bahwa sebenarnya Ranggasena tidak memiliki niat jahat, tetapi tulus untuk memajukan Penyayang. Yang terpenting lagi, seperti kata sang Kiai, bahwa mereka akan menjadi saksi berdirinya kadipaten di tempat itu. Akhirnya, satu demi satu mereka menyetujui rencana Ranggasena dan bersedia membantu membangun kadipaten. Ranggasena merasa lega karena pada akhirnya rencananya dapat diterima oleh penduduk. Bahkan, ada yang membuat hati Ranggasena sangat bergembira, yaitu penduduk bersedia membantunya membangun kadipaten.

Tanpa menunggu waktu lebih lama lagi, keesokan harinya Ranggasena, anak-anaknya, Kiai Ngabei Tangerang, dan para penduduk mulai bergotong-royong menyiapkan lahan untuk mendirikan kadipaten. Ada yang menebang pohon, mencari kayu yang cocok untuk bangunan. Ada yang membersihan rumput ilalang yang ada di tempat yang direncanakan. Ada pula yang membangun jalan agar pantas menjadi sebuah pusat pemerintahan. Semua bergerak bersama-sama, termasuk para wanita.

Jika pria bekerja di luar, para wanita bekerja di dapur, menyiapkan makanan untuk mereka. Melihat sikap bahu-membahu penduduk, Ranggasena dan Kiai Ngabei Tangerang merasa senang. Mereka merasa sudah tidak ada lagi yang curiga terhadap maksud Ranggasena.

Satu demi satu pekerjaan terselesaikan dengan gotong-royong. Kebersamaan itu telah menghasilkan wujud nyata. Ranggasena dan Kiai Ngabei Tangerang dan sebagian penduduk bertugas membangun pendapa dengan kayu dari hutan itu juga. Anak-anak Ranggasena pun mendapat tugas masing-masing. Salah satunya adalah membangun jalan kadipaten. Setiap hari, seakan tanpa lelah, mereka menjalankan tugas mereka sehingga pembangunan dapat terselesaikan dengan cepat.

Pendapa kadipaten telah berdiri megah. Rumah-rumah di sekitar pendapa itu pun sudah berdiri dan siap dihuni. Jalan-jalan juga sudah dapat dilalui. Semua terselesaikan dengan rapi dan lancar tanpa satu pun halangan. Boleh dikatakan sebuah kadipaten telah berdiri, tetapi pemerintahannya belum berjalan karena belum ada pimpinan yang tetap.

Suatu hari, Kiai Ngabei Tangerang, Ranggasena berserta anak-anaknya, dan penduduk berkumpul di pendapa. Mereka berembuk tentang nama yang baik dan pas untuk kadipaten yang mereka dirikan. Selain itu, mereka juga berembuk tentang siapa yang patut menjadi pimpinan, menjadi adipati. Rembukan itu berjalan dengan baik dan lancar. Rembukan dalam suasana kekeluargaan itu akhirnya menyepakati bahwa Ranggasenalah yang patut menjadi adipati. Untuk memberi nama kadipaten memang terjadi banyak pendapat. Ada yang mengusulkan namanya tetap Penyayang.

Namun, ada yang menyanggah bahwa nama itu sudah menjadi nama salah satu desa. Ranggasena kemudian angkat bicara. Ia mengusulkan kadipaten itu diberi nama penyarang. Nama itu ia ambil karena, ketika belum dibangun kadipaten dan masih berupa hutan, tempat itu banyak sarang burung dan hewan lainnya. Pertemuan itu akhirnya membuahkan kesepakatan tanpa ada pertentangan. Secara aklamasi mereka memutuskan nama kadipaten yang baru mereka bangun adalah Kadipaten Penyarang. Mereka juga sepakat mengangkat Ranggasena menjadi Adipati Penyarang.

Keesokan hari Ranggasena resmi menjabat sebagai adipati di Kadipaten Penyarang dengan gelar Adipati Ranggasena. Penobatannya sebagai adipati dilakukan oleh Sinuhun Keraton Surakarta. Pada saat itu seluruh penduduk terlihat bersuka cita. Sorak sorai menggema
di mana-mana. Pesta ala kadarnya mereka gelar sebagai luapan rasa bahagia. Diam-diam, ternyata sudah cukup lama Ranggasena jatuh cinta kepada putri Kiai Ngabei Tangerang yang bernama Tejalamat.

Oleh karena itu, setelah diangkat menjadi adipati, Ranggasena melamar Tejalamat agar bersedia menjadi pendamping hidupnya. Cinta tak bertepuk sebelah tangan, Tejalamat menerima lamaran itu dan bersedia menjadi istri Adipati Ranggasena. Kiai Ngabei Tangerang pun merestui niat suci Adipati Ranggasena mempersunting putrinya.

Setelah menjabat sebagai adipati, Adipati Ranggasena segera membentuk struktur organisasi pemerintahan. Hal itu ia lakukan agar jalannya pemerintahan di Kadipaten Penyarang dapat berjalan lancar. Ia menempatkan anak-anaknya pada posisi atau bagian yang penting dalam pemerintahan. Wadas Malang bertanggung jawab di bidang keagamaan, Gunung Sari bertanggung jawab di bidang keamanan, sedangkan Sena Reja atau Hajar Sena bertanggung jawab di bidang ekonomi. Banyak juga penduduk yang juga mendapat tanggung jawab dan kepercayaan untuk mengelola dan ikut memajukan Kadipaten Penyarang. Kiai Ngabei Tangerang, meskipun sudah tua, juga mendapat bagian. Ia diangkat menjadi penasihat karena sangat berjasa atas pendirian Kadipaten Penyarang dan pengangkatan Adipati Ranggasena. Namun sayang, belum lama memangku jabatan sebagai penasihat, Kiai Ngabei Tangerang meninggal dunia.

Untuk kelancaran pelaksanaan tanggung jawab, tidak semua putra Adipati Ranggasena tinggal di kadipaten. Wadas Malang dan Gunung Sari tinggal di wilayah kadipaten sebelah barat. Segara Wangi tinggal di wilayah kadipaten sebelah timur. Hanya Sena Reja atau Hajar Sena yang tetap tinggal di kadipaten untuk membantu ayahnya mengelola kadipaten. Sifat tidak pilih kasih Adipati Ranggasena terhadap putra dan penduduknya menjadikan Kadipaten Penyarang semakin maju dan berkembang.

Saat itu agama Islam sudah masuk ke Kadipaten Penyarang, tetapi penduduk belum dapat memelajari ajaran tersebut. Oleh karena itu, Adipati Ranggasena memerintah Wadas Lintang untuk mengupayakan penyebaran ajaran itu.

Gunung Sari ditugasi untuk menjaga keamanannya agar tidak terjadi gejolak dalam penyebaran agama dan utamanya menjaga ketenteraman dan ke tenangan masyarakat. Bidang ekonomi, termasuk pekerjaan warga Kadipaten Penyarang, ditugaskan kepada Sena Reja. Dialah yang mengatur semua kegiatan perekonomian. Selain itu, untuk memantau dan mengendalikan kegiatan penduduk sehari-hari, Segara Wangilah yang ditugasi.

Kemajuan Kadipaten Penyarang semakin terkenal. Lebih-lebih ketika Adipati Ranggasena memperkenalkan Kadipaten Pe nyarang ke Pusat Pemerintahan di Surakarta dan Pajajaran. Untuk membuktikan kemajuannya, Adipati Ranggasena mengirimkan kayu ke Pajajaran untuk membangun pendapa. Pada waktu itu belum ada kendaraan untuk mengangkut kayu dari Kadipaten Penyarang ke Pajajaran. Kayu-kayu itu dikirim dengan cara diseret menggunakan ikat pinggang oleh murid-murid Sunan Kalijaga. Hanya merekalah yang mampu melakukan karena memiliki kesaktian yang diajarkan oleh Sunan Kalijaga.

Kerja sama yang dilakukan Adipati Ranggasena dengan Pemerintah Keraton Surakarta dan Pajajaran menjadikan Kadipaten Penyarang semakin terkenal. Segala penjuru sudah mengetahui tentang keberadaan Kadipaten Penyarang dan Adipati Ranggasena, tentang penduduknya yang telah mendapat tempat tinggal yang layak dan hidup tenteram, serta tentang kemampuan penduduk mengolah dan mengelola hutan dengan baik. Namun, masih ada amanat yang belum terselesaikan oleh Ranggasena, yaitu membangun jalan yang menghubungkan wilayah Surakarta dan Pajajaran. Hal itu berarti bahwa Adipati Ranggasena baru menyelesaikan separuh amanat ayah andanya.

Membangun jalan bukanlah pekerjaan yang mudah. Adipati Ranggasena merasa tidak mampu mengerjakan sendiri. Dahulu selalu dibantu oleh Kiai Ngabei Tangerang, tetapi sekarang harus mencari bantuan orang lain karena Kiai Ngabei Tangerang telah tiada. Ilmu yang diajarkannya pun belum cukup untuk membangun jalan yang menghubungkan Surakarta dan Pajajaran. Dalam hal inilah kesabaran dan ilmunya diuji. Ia harus mencari cara agar jalan dapat dibangun dengan baik dan lancar.

Ia terus memikirkan hal itu sampai-sampai tidak tidur beberapa hari. Pada suatu malam, tanpa sengaja Adipati Ranggasena tertidur. Ia bermimpi bertemu dengan Kiai Ngabei Tangerang.

“Ranggasena, tugas yang harus kamu jalankan memang berat. Tidak mudah membuat jalan. Namun, kamu tidak perlu putus asa. Semua pasti ada jalan. Ada ilmu yang dapat digunakan, tetapi harus memiliki kesabaran dan pemikiran yang suci. Putramu dapat membantu menyelesaikan tugas itu.”

Adipati Ranggasena terkejut lalu terbangun dari tidurnya. Ia berusaha mengingat-ingat pesan Kiai Ngabei Tangerang dalam mimpinya.

“Pesan Kiai akan saya lakukan. Mohon restu, Kiai,” gumannya.

Keseokan hari Adipati Ranggasena mulai menjalankan apa yang dipesankan Kiai Ngabei Tagerang dalam mimpinya. Ia mulai membangun jalan ke arah barat, yang akan menghubungkan Kadipaten Penyarang dengan Pajajaran. Setiap hari ia menjalankan tugas itu dengan sabar. Ia tidak pernah marah kepada siapa saja yang membantunya. Yang lebih penting, meskipun putranya ikut membantu, ia tetap harus ikut serta melakukan dan memimpin pelaksanaan tugas tersebut.

Bertahun-tahun Adipati Ranggasena dibantu putra-putranya serta penduduk Kadipaten Penyarang bekerja tidak kenal lelah. Sedikit demi sedikit pembangunan jalan diselesaikan dengan lancar. Keberhasilan itu membuat hati mereka lega. Pekerjaan yang mereka pikir mustahil dilakukan itu telah dirampungkannya. Meskipun belum terlihat benar-benar rapi, jalan yang menghubungkan Kadipaten Penyarang dan Pajajaran itu sudah dapat dilewati dengan nyaman.

Setiap daerah yang dilalui jalan itu diberi nama dengan sebutan ci oleh Adipati Ranggasena, seperti Cipari, Cikangleles, Cikalong, Cinangsi, Cibenda, dan Ciloning. Kata ci memiliki makna ‘sumber air’.

Penamaan dengan sebutan ci tersebut dimaksudkan agar daerah yang diberi nama dengan kata itu tidak pernah kehabisan air.Pembangunan kadipaten dan jalan telah selesai dijalankan. Dengan demikian, amanat Prabu Ciung Wanara telah dipenuhi oleh Adipati Ranggasena. Namun, Adipati Ranggasena tidak berkeinginan kembali ke Pajajaran. Ia memilih menetap dan menyatu dengan penduduk Kadipaten Penyarang. Hal itu sudah menjadi tekadnya ketika diangkat sebagai adipati.

Ia tidak akan meninggalkan dan akan tetap menjadi bagian Kadipaten Penyarang. Tekad itu dibuktikannya dengan tetap menjadi Adipati sampai usianya senja. Kekuatan manusia ada batasnya. Karena usianya yang semakin tua, Adipati Ranggasena merasa tidak mampu lagi menjadi adipati. Oleh karena itu, ia menyerahkan tampuk pimpinan Kadipaten Penyarang kepada putra bungsunya, yaitu Sena Reja atau Hajar Sena. Ia menjadi adipati kedua di Kadipaten Penyarang dengan gelar Adipati Anom Ranggasena.

Seperti halnya ayahnya, penobatan Adipati Anom Ranggasena pun dikukuhkan oleh Sinuhun Keraton Surakarta. Entah beberapa waktu lamanya, setelah menyerahkan tampuk kekuasaan kepada putranya, Adipati Ranggasena meninggal dunia. Namun, sebelum meninggal ia berpesan kepada istri, anak, dan semua penduduk Kadipaten Penyarang.

“Anak dan cucuku semua, jika waktuku tiba, aku harus meninggalkan kalian semua. Tapi, jika kalian minta apa saja kepadaku, aku sanggup.”

Setelah berpesan seperti itu, Adipati Ranggasena menghembuskan napasnya yang terakhir. Ia lalu dimakamkan di wilayah Kadipaten

Penyarang yang disebut Cisagu. Kata cisagu berasal dari pesan Adipati Ranggasena yang “sanggup” memenuhi permintaan anak, cucu, dan penduduk semua. Kata sanggup dalam bahasa Jawa adalah saguh. Jadi, nama Cisagu berasal dari kata ci dan saguh. Selanjutnya, makam Adipati Ranggasena disebut Panembahan Cisagu. Sampai saat ini makam tersebut menjadi tempat ziarah yang terkenal dan banyak didatangi peziarah dari berbagai penjuru.

Diceritakan oleh: Suryo Handono

Disadur dari Cerita Rakyat Cilacap Jawa Tengah.

Diterbitkan oleh Balai Bahasa Jawa Tengah Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Cilacap Info
IKUTI BERITA LAINNYA DIGOOGLE NEWS

Berita Terkait