Ki Patih dan keempat prajurit itu bersemadi lagi. Dalam semadinya itu datang godaan berupa ular naga yang sangat besar. Ular naga itu membuka mulutnya lebar-lebar hendak menyantap mereka. Dari mulut naga itu ke luar semburan api yang diarahkan kepada mereka. Mereka tetap saja konsentrasi tidak tergoda oleh godaan naga yang hendak memangsanya. Ular naga itu akhirnya seperti kepayahan sendiri. Gerakan-gerakan tubuhnya menjadi kendur. Usahanya untuk menggoda Ki Patih dan para penggawa itu gagal. Kemudian wujud ular naga itu menghilang tanpa meninggalkan jejak.
Malam itu semakin larut dan udara semakin dingin. Ki Patih dan keempat prajurit itu tiba-tiba mencium bau harum yang menyengat. Bau harum itu sangat menggoda kekhusukan semadinya. Semadi mereka itu berakhir secara bersamaan dan mereka membuka mata secara serempak. Mereka sangat takjub melihat bunga Wijayakusuma yang sedang mekar berada di depan mata mereka. Pancaran sinar yang ke luar dari bunga Wijayakusuma itu bertambah indah. Pancaran sinarnya sangat menakjubkan karena mereka belum pernah melihatnya.
Saat itu malam telah larut dan suasana semakin sepi. Hanya suara deburan ombak dan suara desiran angin yang terdengar. Suasana malam itu mendadak berubah, yang tadinya sangat dingin mendadak jadi hangat. Mungkin karena pancaran sinar bunga Wijayakusuma yang menyebabkan malam itu berbeda dengan malam lainnya. Biasanya, malam-malam di tepi pantai selatan terasa sepi dan dingin. Sekarang, saat bunga Wijayakusuma mekar dan memancarkan sinar, suasana menjadi terang benderang. Pada saat itu, bunga Wijayakusuma sedang mencapai puncak mekarnya. Bunga tersebut memancarkan sinar yang indah sehingga menerangi apa pun yang berada di sekelilingnya. Selain itu, bunga tersebut menebarkan keharuman yang semerbak ke sekelilingnya.
Ki Patih dan keempat prajurit itu sangat takjub melihat bunga Wijayakusuma yang sedang mekar.
Tampilkan Semua