Perkawinan semacam itu pada gilirannya membentuk inti masyarakat muslim, yang menjadi titik tolak perkembangan Islam yang semakin lama semakin meluas di kalangan masyarakat setempat.
Pada penjelasan di atas telah dikatakan bahwa disamping para pedagang, para sufi juga diikut sertakan dalam pelayaran dengan tujuan khusus dakwah.
Terutama sejak abad ke-13 setelah Khalifah Abbasiyah mengalami kemunduran setelah serangan Hulagu Khan dari Mongol (sekitar 1258 M), semakin banyak sufi datang dengan menumpang kapal dagang dari Timur Tengah. Para guru sufi tersebut dalam berbagai sumber setempat sering dijuluki maulana, sunan atau susuhunan, khatib, datau atau dato, wali, atau syekh.
Dari sumber sejarah dapat diketahui adanya kecenderungan kuat bahwa jika raja masuk Islam, maka penyebaran Islam menjadi semakin cepat antara lain karena perintah raja yang telah masuk Islam itu.
Di Kerajaan Samudera Pasai, setelah Merah Silu masuk Islam dan bergelar Malik Al-Salih, maka keluarga dan masyarakat setempat mengikutinya. Demikian hal serupa terjadi di Ternate, Sulawesi Selatan, dan Kalimatan Timur.
Di samping faktor–faktor di atas yang menyebabkan cepatnya Islam diterima masyarakat Nusantara, adalah faktor akomodasi kultural yang diterapkan para pendakwah dalam menyebarkan Islam. Karena itulah penyebaran Islam di Nusantara tidak menimbulkan kejutan budaya (cultural shock).
Karenanya masih didapati tradisi pra-Islam yang masih dipraktekkan masyarakat Nusantara yang telah memeluk Islam. Bahkan budaya-budaya tertentu telah dijadikan media dakwah yang efektif dalam penyebaran Islam. di Jawa, para wali menggunakan gamelan dan tembang-tembang sebagai alat dakwah Islam.
Sunan Bonang menggunakan bonang (alat musik) dan menciptakan tembang darma yang liriknya berisi petuah-petuah sufistik. Demikian pula Sunan Kudus yang menciptakan gending Maskumambang dan Mijil, Sunan Drajat dengan Pangkur-nya, dan Sunan Muria dengan Sinom dan Kinanti-nya.
Tampilkan Semua