CILACAP.INFO – Agama Islam tidak dilahirkan di Indonesia, namun justru negara inilah yang memiliki penduduk muslim dengan jumlah terbesar di dunia.
Bagaimanakah cara agama ini masuk dan berkembang di antara suku dan budaya yang beragam di nusantara?
Tokoh-tokoh Penyebar Islam di Indonesia adalah para pedagang Arab yang berasal dari semenanjung Arabia ke pesisir utara Sumatera (Aceh) pada Abad ke-7 Masehi itu selain berdagang mereka juga menjadi penyebar agama Islam dan melakukan perkawinan dengan wanita setempat.
Sekalipun penduduk pribumi belum banyak yang memeluk agama Islam, tapi komunitas Muslim pertama telah terbentuk yang terdiri dari orang-orang Arab pendatang dan penduduk lokal, seperti yang didapatkan para pengelana Cina di pesisir utara Sumatera (Aceh) dan komunitas Islam di wilayah Sriwijaya.
Abstraksi :Islam Nusantara, jaringan ulama, peradaban Islam,
A. LATAR BELAKANG
Islam telah masuk ke wilayah Indonesia sejak abad ke-7 Masehi, penyebaran Islam baru berjalan secara massif pada abad ke-12 dan 13 Masehi.
Sedikit berbeda dengan perkenalan Islam pertama pada abad ke-7, menurut A. Johns, para penyebar Islam pada abad ke-12 adalah para dai dari kalangan sufi.
Mereka inilah yang memainkan peranan penting (prime mover) dalam proses penyebaran Islam di kawasan Nusantara.
Faktor utama yang menunjang keberhasilan Islamisasi ini adalah kemampuan para sufi menyajikan kemasan Islam yang atraktif, menekankan aspek-aspek keluwesan ajaran Islam khususnya tasawuf dengan mistisisme setempat. (Azra,32-33).
Dalam catatan A. Hasymi, berdasarkan naskah Idhar al_haqq fi Mamlakat Ferlah wal Fasi, karangan Abu Ishak Al-Makarani Al-Fasi, Tazkirat Tabaqat Jumu Sultanul Salatin karya Syaikh Syamsul Bahri Abdullah Al-Asyi, dan Silsilah Raja-raja Perlak dan Pasai, menyatakan bahwa kerajaan Perlak, Aceh adalah kerajaan Islam pertama di Indonesia yang didirikan pada tanggal 1 Muharam 225 H (840 M) dengan raja pertamanya Sultan Alaudin Sayyid Maulana Abdil Aziz Syah. Tokoh penting yang menyebarkan Islam di Perlak adalah Nakhoda Khalifah.
Pada tahun sekitar abad 9 Nakhoda Khalifah membawa anak buahnya dan mendarat di Perlak. di samping sebagai kapal dagang kapal itu mengangkut para juru dakwah yang terdiri dari orang Arab, Persia, dan India.
Dalam kurun waktu kurang dari setengah abad, raja dan rakyat Perlak secara sukarela menganti agama mereka dari Hindu-Buddha menjadi Islam.
Salah satu anak buah Nakhoda Khalifah kemudian mengawini puteri raja perlak dan melahirkan anak yang bernama Sayid Abdul Aziz yang kemudian memproklamirkan Kerajaan Perlak. Ibu kotanya yang semula bernama Bandar Perlak diubah menjadi Bandar Khalifah sebagai perhargaan terhadap Nakhoda Khalifah. (A. Hasymi, 1993:146-147).
B. TINJAUAN PUSTAKA
Menurut Hikayat Raja-raja Pasai (ditulis 1350 H), seorang ulama bernama Syekh Ismail datang dengan kapal dari Mekah via Malabar ke Pasai.
Ia berhasil mengislamkan Meurah Silu, penguasa setempat, yang kemudian berganti gelar dengan nama Malik Al-Shalih yang wafat pada tahun 1297 M. Seabad kemudian sekitar tahun 1414 M, menurut Sejarah Melayu (ditulis setelah 1500 M), penguasa Malaka juga telah diislamkan oleh Sayyid Abdul Aziz, seorang Arab dari Jeddah. Penguasa yang bernama semula Parameswara itu akhirnya berganti nama dan gelar Sultan Muhamamd Syah.
Historiografi lainnya, Hikayat Merong Mahawangsa, (ditulis tahun 1630), seorang dai bernama Syekh Abdullah Al-Yamani dari Mekah telah mengislamkan Phra Ong Mahawangsa, penguasa Kedah, yang kemudian berganti nama menjadi Sultan Muzahffar Syah.
Sedangkan, sebuah historiografi dari Aceh yang lain menyebutkan bahwa seorang dai bernama Syekh Jamalul Alam dikirim Sultan Usmani (Ottoman) di Tukri untuk mengislam penduduk Aceh. Riwayat lain menyatakan bahwa Islam diperkenalkan ke kawasan Aceh oleh Syekh Abdullah Arif sekitar tahun 1111 M. (Azra, 1998:29-30).
Riwayat lain, Prof. DR. Wan Husein Azmi menyebutkan bahwa dalam dakwah Islam di Nusantara terdapat sekumpulan juru dakwah yang diketuai oleh Abdullah Al-Malik Al-Mubin. Para juru dakwah ini dibagi menurut daerah masing-masing.
Syekh Sayid Muhammad Said untuk daerah Campa (Indo-Cina), Syekh Sayid Ahmad At-Tawawi dan Syekh Sayyid Abdul Wahab ke Kedah (Malaysia), Syekh Sayyid Muhammad Daud ke Pattani (Thailand), (Malaysia), Syekh Sayyid Muhamad untuk Ranah Minangkabau (Indonesia), dan Abdullah bin Abdul Malik Al-Mubin untuk daerah Aceh sendiri.
Tokoh lain yang berperan dalam Islamisasi di pulau Sumatera adalah Said Mahmud Al-Hadramaut. Ia telah berhasil mengislamkan Raja Guru Marsakot dan rakyatnya yang berada wilayah Barus (Sumatera Utara).
Sementra itu seorang pelancong Eropa Mabel Cook Cole pada tahun 1951 menyatakan bahwa seorang muslim bernama Sulaiman telah sampai di Pulau Nias pada tahun 851 M. Al-Mubin berada di Aceh sekitar tahun 1408-1465 M pada masa pemerintahan Sultan Alaudin Inayat Syah. Sedang di Deli, penyebar Islam di sana adalah Imam Shadiq bin Abdullah (w. 27 Juni 1590 M). Makamnya berada di daerah Klumpang, Deli, bekas Kerajaan Haru.
Di Sumatera bagian barat dan tengah tokoh penyebar Islam utama adalah Syekh Burhanudin Ulakan, meskipun ada indikasi kuat Islam telah masuk pada abad-abad sebelumnya. Ia adalah orang Minangkabau asli penganut Tarekat Syatariyah.
Sewaktu berdagang di Batang Bengkawas, Burhanudin yang masih bernama Pono beserta orang tuanya bertemu dengan saudagar Gujarat yang bernama Illapai. Pono dan Orang Tuanya meninggalkan agama Budha dan masuk Islam. Karena ditentang sukunya, ia pindah ke Sintuk (Pariaman) pada tahun 1659.
Ia pergi ke Aceh berguru kepada Syaikh Abdurrauf Singkil. Selanjutnya ia mendirikan pusat penyebaran Islam di Ulakan yang kemudian dianggap sebagai pusat penyebaran Islam di Sumatera bagian tengah. (Mastuki dkk., 2003:
Di Siak (Riau), Sayyid Usman Syahabudin adalah ulama yang alim dan berakhlak yang telah menyiarkan Islam di wilayah Kerajaan Siak. Karena akhlaknya yang mulia, ia dikawinkan dengan putri raja yang bernama Tengku Embung Badariah.
Dari perkawian merekalah yang kemudian menurunkan raja-raja Siak. Pendakwah lain adalah Habib Umar bin Husein As-Saggaf yang diberi gelar Tuan Besar Siak. (Syamsu,1999:18).
Seperti disinggung Azra, sejak abad ke-7 sudah terbentuk komunitas Muslim di wilayah Kerajaan Sriwijaya berkat jasa para pedagang Arab sejak masa khilafah Bani Umayyah (661-750 M).
Tokoh-tokoh penyiar Islam sesudahnya yang paling penting adalah Adipati Arya Damar, seorang Adipati Majapahit yang memeluk Islam atas ajakan Raden Rahmat -yang kemudian dikenal dengan nama Sunan Ampel- yang mampir di Palembang dari Campa. Ini berarti pengislaman Palembang telah lebih dahulu daripada Minangkabau atau pedalaman Jawa.
Pada masa Sultan Muhammad Mansur, terdapat ulama besar yang bernama Sayyid Jamaluddin Agung yang dikenal dengan julukan Tuan Fakih Jalaludin yang menyebarkan Islam ke wilyah Ogan Komerign Ulu dan Ilir bersama ulama lainnya yang bernama Sayyid Al-Idrus. di samping itu ada ulama lain pada zaman kesultanan Palembang seperti Syekh Abdushamad Al-Falembani.
Mengenai Islamisasi Jawa, sebenarnya hubungan antara pesisir utara Jawa Timur, Jawa Barat, dan Malaka sudah terjalin sebelum kerajaan Demak muncul. Sampai dengan tahun 1526 hubungan kerajaan Sunda dan Portugis masih terjalin sesuai dengan perjanjian tahun 1522.
Dalam perjanjian itu Portugis diizinkan terlibat dalam perdagangan dan mendirikan loji di Sunda Kelapa. Hal ini diperkuat oleh Carita Purwaka Caruban Nagari (ditulis Pangeran Arya Cerbon tahun 1720). Artinya, kedatangan Islam di pesisir utara Jawa Barat semasa dengan kedatangan Islam di pesisir Jawa Timur. (Uka Tjandrsasmita, 2002, h. 15)
C. LANDASAN TEORI
Sementara itu tokoh sentral penyebaran Islam di Pulau Jawa, para penulis sejarah sepakat menunjuk para ulama yang kemudian dikenal dengan julukan Wali Sanga (Sembilan Wali).
Menurut kebanyakan penulis, yang dimaksud dengan Wali Sanga adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Suana Kudus, Sunan Drajat, Sunan Gunung Jati, Sunan Kalijaga, dan Sunan Muria.
Maulana Malik Ibrahim adalah salah satu penyebar Islam pertama di Jawa. Ia dicatat sebagai orang yang mengislamkan pesisir utara Jawa dan Bahkan beberapa kali membujuk Raja Wikramawardhana (berkuasa 1386-1429), penguasa Majapahit, untuk masuk Islam. (Azra, 30). Nama lainnya adalah Maulana Magribi. Ia adalah seorang ulama yang berasal dari Arab, keturunan Imam Ali Zainal Abidin, cicit Nabi Muhammad SAW. (Syamsu,30).
Penyebaran Islam di wilayah Majapahit semakin memiliki momentum setelah kedatangan Raden Rahmat, putra seorang Arab dari Campa. Ia digambarkan memiliki peran yang menentukan dalam penyebaran Islam di Pulau Jawa dan dipandang sebagai pemimpin Wali Sanga dengan gelar Sunan Ampel.
Di Ampel (Surabaya) dia mendirikan pusat pendidikan Islam (pesantren). (Azra, 30). Ayahnya bernama Ibrahim Asmoro, tokoh penyebar Islam di Campa (Indo-Cina) yang menikah dengan putri Raja Campa. Makamnya berada di Tuban yang dikenal dengan Sunan Nggesik. Sementara itu putri Raja Campa lainnya, Dwarawati menikah dengan Angkawijaya alias Wikramawardana.
Pertama kali ia datang di Gresik disambut seorang ulama Arab yang bernama Syekh Jumadil Kubro. Meski ia gagal membujuk Wikramwardhana masuk Islam, tapi ia diberikan kebebasan untuk menyiarkan Islam dan diberikan kekuasaan di Ampel Denta. Sehingga ia dikenal dengan Sunan Ampel. Wafat dan dimakamkan di Ampel, Surabaya (Syamsu, 42)
Selanjutnya Sunan Giri alias Raden Paku alias Jaka Samudra, putra Maulana Ishak. Maulana Ishak sendiri adalah seorang Arab yang diutus Raja Pasai untuk mengislamkan Blambangan, Jawa Timur. Alkisah, Maulana Ishak berhasil mempersunting Putri Sekardadu, putri Raja Menak Sembayu.
Namun khawatir akan perkembangan Islam yang pesat di Blambangan, Raja Blambangan memerintahkan untuk membunuh Maulana Ishak, tapi ia berhasil menyelamatkan diri. Jasa besar Sunan Giri dalam menyiarkan Islam adalah mengirimkan murid-muridnya untuk menyiarkan Islam ke pelosok Nusantara seperti, Madura, Bawean, Kangean, Bahkan sampai Ternate. Belaiu wafat dan dimakamkan di Giri, Gresik. (Syamsu, 47-50).
Sunan Kudus alias Jafar Shadiq adalah penyebar Islam di Kudus, Jawa Tengah. Menurut penelitian Syamsu, ia adalah putra Sunan Ampel. Ia wafat dan dimakamkan di Kudus. Putra Sunan Ampel yang lain adalah Sunan Bonang yang bernama asli Makhdum Ibrahim.
Ia adalah putra Sunan Ampel dengan Nyi Ageng Manila, putri Adipati Tuban. Saudara-saudaranya adalah Nyi Ageng Maloka, Syarifuddin Hasyim (Sunan Drajat), dan seorang putri lagi, istri Sunan Kalijaga. Sunan Bonang wafat tahun 1001 H dan dimakamkan di Tuban.
Sedangkan Sunan Gunung Jati adalah putra seorang anak sultan dari Mesir yang menikah dengan Nyai Larasantang, putri Raja Siliwangi. Nama aslinya adalah Syarif Hidayatullah. Ia berhasil mengislamkan penduduk Jawa Barat. Ia berhasil pula menaklukan Sunda Kelapa dan mengusir Portugis dari sana serta menggantinya dengan nama Jayakarta (Jakarta).
Ia berhasil mendirikan kesultanan Banten antara tahun 1521-1524. Tahun 1526 M ia rebut Cirebon dan Sumedang. Tahun 1530 seluruh Galuh telah memeluk Islam. Hanya tersisa Pakuan ibukota Pajajaran yang menjadi benteng terakhir kerajaan Hindu. Keturunannya menjadi sultan di Banten dan Cirebon. (Syamsu, 60-63).
Sunan Kalijaga adalah seorang tokoh Wali Sanga yang sangat lekat dengan Muslim di Jawa, karena kemampuannya memasukkan pengaruh Islam ke dalam tradisi Jawa. Makamnya berada di Kadilangu, Demak.
Mengenai asal usulnya ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa ia juga masih keturunan Arab. Tapi, banyak pula yang menyatakan ia orang Jawa asli. Van Den Berg menyatakan bahwa Sunan Kalijaga adalah keturunan Arab yang silsilahnya sampai kepada Rasulullah.
Sementara itu menurut Babad Tuban menyatakan bahwa Aria Teja alias Abdurrahman berhasil mengislamkan Adipati Tuban, Aria Dikara, dan mengawini putrinya. Dari perkawinan ini ia memiliki putra bernama Aria Wilatikta. Menurut catatan Tome Pires, penguasa Tuban pada tahun 1500 M adalah cucu dari peguasa Islam pertama di Tuban.
Sunan Kalijaga atau Raden Mas Said adalah putra Aria Wilatikta. Sejarawan lain seperti De Graaf membenarkan bahwa Aria Teja I (Abdurrahman) memiliki silsilah dengan Ibnu Abbas, paman Rasulullah. Sunan Kalijaga mempunyai tiga anak salah satunya adalah Umar Said atau Sunan Muria. Sunan Muria atau Raden Prawoto adalah seorang sufi yang memiliki pesantren di kaki gunung Muria, Jepara Jawa Tengah.
Masih dalam koteks penyiaran Islam di Jawa, Pulau Madura adalah bagian yang ikut terislamisasikan pada abad ke-15 M. Ulama yang berhasil mengislam Sumenep adalah Sunan Padusan alias Raden Bandoro Diwiryipodho alias Usman Haji.
Ia berhasil mengislamkan penguasa Sumenep Pangeran Secodoningrat III pada tahun 1415 Masehi. Sunan Padusan adalah penyiar Islam keturunan Arab yang tinggal di Padusan, kemudian pindah ke Batuputih.
Sedang penyiar Islam di Sampang adalah Buyut Syekh, seorang sayyid keturunan Sayyidina Husein, cucu Nabi Muhammad. di samping itu ada juga Empu Bageno, murid Sunan Kudus. Ia berhasil mengislamkan Raja Arosbaya yang kemudian bergelar Pangeran Islam Onggug.
Sementara itu penyebaran Islam di wilayah Timur Indonesia sudah dikenal sejak sebelum abad ke-14. Hal itu sesuai dengan masa kedatangan para pedagang muslim melalui jalur pelayaran dan perdagangan internasional dari Timur Tengah, India, Samudera Pasai, Malaka, pesisir utara Jawa, terutama Jawa Timur, sampai ke daerah Maluku.
Sejak masa raja ke-12 (berkuasa 1350-1357) Islam telah datang ke Ternate. Raja itu bernama Malomateya yang bersahabat dengan seorang Arab yang memberi petunjuk cara membuat kapal. Namun raja tersebut belum lagi memeluk Islam.
Baru pada masa Raja Gapi Buta (1465-1486) di Ternate, datang seorang Maulana dari Jawa yang bernama Maulana Husein. Raja Gapi Buta pun beserta rakyatnya masuk Islam. Ia menganti namanya dengan Sultan Zainal Abidin dan setelah wafat dikenal dengan Raja Marhum. Menurut catatan Tome Pires, raja Maluku memeluk Islam kira-kira tahun 1465 M.
Di Tidore ada pula seorang pendakwah dari Arab yang bernama Syekh Mansur yang telah berhasil mengajak Raja Tidore Kolano Ciriliyati untuk memeluk Islam. Kemudian ia berganti nama dan gelar menjadi Sultan Jamaluddin.
Adapun penyiar Islam di daerah Seram adalah Maulana Zainal Abidin dan muridnya, Kapiten Iho Lussy. Penduduk pulau Seram memeluk Islam berkat jasa keduanya, Sementara masuknya Islam di Maluku Tengah sendiri adalah berkat jasa para pedagang dan penyiar Islam dari Jawa Timur. (Uka Tjansasmita, 2002: 15! Saymsu,:109-111).
Menurut sejarah Goa, pada masa Raja Tunipalangga, datanglah seorang nakhoda Bonang yang memimpin pedagang Melayu dari Pahang, Patani, Johor, dan Minangkabau. Pada masa Raja Tunnijallo (1565-1590) didirikan perkampungan Islam atas izin raja.
Adapun raja di Sulawesi yang pertama memeluk Islam adalah Raja Tallo atau Mangkubumi Goa yang bernama I Mallingkaang Daeng Manyonri yang kemudian bergelar Sultan Abdullah Awalul Islam. Setelah itu disusul raja Goa yang bernama I Managarangi Daeng Manrabia yang kemudian bergelar Sultan Alaudin.
Ulama yang berjasa dalam pengislaman Goa-Tallo adalah tiga ulama dari Minangkabau yaitu Katib Tunggal atau Datuk Ri Bandang, Katib Sulung atau Datuk Ri Patimang dan Katib Bungsu atau Datuk Ri Tiro pada tahun 1603.
Pada tahun yang sama ketiganya juga berhasil mengislam Luwu dan Wajo. Raja Luwu La Patiware Daeng Oarabu memeluk Islam dan bergelar Sultan Muhammad Waliyullah Mudharuddin.
Sementara itu Islam masuk ke Sulawesi Tengah dibawa oleh oleh orang-orang Bugis. Ulama yang berjasa menyebarkan islam di Sulawesi Tengah adalah Sayid Zein Al-Aydrus serta Syarif Ali yang kawin dengan putri bangsawan Buol.
Salah seorang syarif yang bernama Ali Syarif Mansur bersama 40 pengikutnya berangkat ke Menado untuk menyiarkan Islam di sana. di Palu, pengislaman dilakukan oleh seorang ulama Arab yang bernama Habib Idrus bin Salim Al-Jufri, pendiri madrasah/pesantren Al-Khaerat. di Boolang Mangondow, Sulawesi Utara, Raja Jacob Manopo (1689-1709) masuk Islam melalui seorang Sayid Husein bin Ahmad bin Jindan dari Sulawesi Selatan.
Orang-orang Arab juga punya peran besar dalam menyiarkan Islam di wilayah Kerajaan Buton. Sebelum masuk Islam pada sekitar abad XI, Raja Buton beragama Hindu-Budha. Tapi, setelah Raja Halu Oleo memeluk Islam, Buton resmi menjadi Kesultanan Islam.
Raja Halu Oleo berganti nama dan gelar Sultan Qaimuddin. Para ulama yang berjasa dalam proses islamisasi ini adalah Syekh Abdul Wahid, Syarif Muhammad, Firuz Muhammad dan Sayid Alwi. Syarif Muhammad dikenal dengan Saidi Raba dan kemudian menjadi menantu Lang Kiri atau Sultan Buton ke-19 yang bergelar Sultan Ahiyuddin Darul Alam yang berkuasa antara tahun 1712-1750 M.
Sejak tahun 1550-an Kalimantan bagian selatan juga mulai diislamkan. Menjelang kedatangan Islam di kalangan kerajaan terjadi perebutan kekusaan antara Pangeran Tumenggung dan Raden Samudera. Raden Samudera meminta bantuan Demak.
Demak mengirimkan bantuan dan menyertakan seorang penghulu. Setelah Raden Tumenggung dapat ditundukkan, Raden Samudera memeluk Islam dan berganti nama menjadi Sultan Suryanullah. Sedang di Tanjung Pura (Kalbar), Islam diperkenalkan oleh Syekh Husein dan berasil mengislam Raja Giri Kusuma.
Ia kemudian dikawinkan dengan putri Giri Kusuma dan menurunkan raja-raja Tanjung Pura. Ulama lain yang berjasa menyebarkan Islam di Kalimantan Barat adalah Syarif Idrus yang menurunkan raja-raja Kubu, Syarif Husein Al-Gadri yang menurunkan raja-raja Pontianak. Syarif Husein meninggal dan dimakamkan di Mempawah.
Menurut Hikayat Kutai, dua muballig yang berperan dalam menyebarkan Islam di Kalimantan Timur adalah Datuk Ri Bandang dan Tuan Tunggang Parangan yang sebelumnya telah menyebarkan Islam di Sulawesi Selatan.
Setelah Raja Mahkota masuk Islam Datuk Ri Bandang kembali ke Sulawesi Selatan, sedangkan Tuan Tunggang Parangan menetap di Kutai. Peristiwa masuk Islam Raja Kutai dan penyebaran Islam di sekitarnya diperkirakan terjadi pada tahun 1575. (Abdullah (ed.), 1999:: 17)
Sementara itu, Islam masuk Nusa Tenggara diperkirakan pada abad ke-16. Sunan Prapen, putra Sunan Giri, adalah tokoh penyebar Islam di Lombok. Dinasti Selaparang adalah yang pertama kali memeluk Islam. Sunan Prapen dalam dakwahnya membawa sejumlah pengiring dan ulama.
Diantara mereka ada yang pandai memainkan wayang, yang kemudian menjadi media Islamisasi di Lombok. Disamping itu ada dua ulama lain pada abad ke-17 dalam peran dakwah itu, yaitu Habib Husin bin Umar dan Habib Abdullah Abas, keduanya Arab Hadramaut.
Sedangkan di Sumba Syarif Abdurrahman Al-Gadri dibuang pada tahun 1836 ke Sumba lalu menyebarkan Islam di sana. Syekh Abdurrahman dari Benggali menyebarkan Islam di Sumbawa dan Timor. Tokoh lain adalah Pangeran Suryo Mataram, pejuang perang Diponegoro. Setelah ia di buang ke Kupang oleh Belanda, ia aktif menyebarkan Islam di sana. Dan masih ada ulama lain yang ikut berperan dalam penyebaran Islam di Nusa Tenggara.
D. Cara dan Media Penyebaran Islam di Indonesia
Para pedagang dari berbagai negeri yang jauh dari Asia Tenggara, misalnya, Arab, Persia, Irak, Gujarat, Benggala, dan lainnya, karena faktor musim yang menentukan waktu pelayaran, terpaksa tinggal di bandar-bandar yang mereka datangi.
Mereka diberi tempat oleh penguasa lokal sehingga membentuk komunitasnya yang sering disebut perkampungan Pakojan, yaitu kampung yang khusus untuk pedagang Muslim. di kota-kota lama, Pakojan masih dapat disaksikan seperti pada kota Banten, Semarang, Jakarta dan beberapa kota lainnya. (Abdullah (ed.), 1999:. 18)
Di samping melakukan perdagangan para pedagang Muslim yang datang dibeberapa tempat di Asia Tenggara juga menyampaikan ajaran Islam kepada penduduk setempat.
Lebih-lebih jika di antara mereka ada yang melakukan perkawinan dengan penduduk lokal setelah terlebih dahulu diislamkan. Hal ini dilatarbelakangi keyakinan bahwa setiap Muslim wajib melakukan dakwah dalam arti yang luas seperti diperintahkan Al-Quran. (QS. An-Nahl (16): 125).
Dari komunitas Muslim tersebut, proses penyebaran Islam dapat terjadi karena perkawinan dengan anggota masyarakat biasa atau bangsawan. Beberapa faktor yang mendorong terjadinya proses perkawinan antara pendatang muslim dan wanita setempat, antara lain karena Islam tidak membedakan status masyarakat.
Dari pandangan rakyat pribumi lebih-lebih bagi mereka yang beragama Hindu yang mengenal pembedaan status dalam bentuk kasta, hal ini lebih mendorong mereka memeluk Islam. (ibid.h. 19)
Selain itu ada pula alasan politik. Beberapa penguasa atau raja kecil di daerah pesisir memisahkan diri dari kekuasaan pusat kerajaan untuk memeluk agama Islam karena terjadi perebutan kekuasaan di pusat kerajaan.
Dari segi politik dan ekonomi, raja bawahan itu berhasil menjadi penguasa Islam, mereka mendapat kemudahan untuk melakukan ekspor dan impor komoditas yang diperlukan oleh para pedagang muslim untuk keperluan pasar dunia.
Contoh situasi dan kondisi semacam itu ialah proses Islamisasi di pesisir utara Jawa, terutama Jawa Timur semasa Kerajaan Majapahit. Dengan munculnya kerajaan Demak serta kerajaan lainnya yang semula di bawah kekuasaan Majapahit.
Faktor lain yang menyebabkan perkawinan para pedagang Muslim dengan wanita setempat adalah juga karena faktor kebutuhan bilogis. Biasanya para pedagang tidak membawa serta istri dalam muhibahnya.
Para pribumi biasanya membiarkan perkawinan anak-anak mereka dengan pendatang muslim karena mereka berpandangan bahwa para pendatang muslim tersebut mempunyai status ekonomi lebih kuat. (Abdullah (ed.), 1999: 36-37)
Perkawinan antar pendatang muslim dan wanita bukan muslim dalam sejarah penyebaran Islam di Asia Tenggara memiliki bukti kuat. Tom Pires memberitakan terjadinya perkawinan antara wanita bukan muslim dengan laki-laki muslim di Malaka. Demikian pula antara putri Kerajaan Pasai yang sudah Islam dengan Raja Parameswara, Raja Malaka, sehingga Malaka menjadi Kerajaan Islam.
Dalam Babad Tanah Jawi juga diceritakan perkawinan Putri Campa dengan Raja Majapahit, Maulana Ishak menikahi putri Sekardadu, anak Raja Blambangan, yang kemudian melahirkan Sunan Giri. Raden Rahmat atau Sunan Ampel dengan Nyai Gede Manila, putri Temenggung Wilwatikta atau Majapahit.
Syekh Ngabdurrahman (pedatang Arab) yang mengawini putri adipati Tuban, Raden Ayu Tejo. Dari perkawinan tersebut melahirkan anak yang bernama Syekh Jali. Dalam Babad Cirebon juga diceritakan perkawinan Sunan Gunung Jati dengan putri Bupati Kawung Anten, bawahan kerajaan Pajajaran. Dana masih banyak contoh lagi perkawinan yang sama di Sulawesi atau Kalimantan.
Demikianlah proses penyebaran agama Islam berlangsung melalui perkawinan antara pendatang muslim, khususnya para pedagang dan para sufi, dengan wanita setempat atau sebaliknya penguasa non-muslim dengan wanita muslim.
Perkawinan semacam itu pada gilirannya membentuk inti masyarakat muslim, yang menjadi titik tolak perkembangan Islam yang semakin lama semakin meluas di kalangan masyarakat setempat.
Pada penjelasan di atas telah dikatakan bahwa disamping para pedagang, para sufi juga diikut sertakan dalam pelayaran dengan tujuan khusus dakwah.
Terutama sejak abad ke-13 setelah Khalifah Abbasiyah mengalami kemunduran setelah serangan Hulagu Khan dari Mongol (sekitar 1258 M), semakin banyak sufi datang dengan menumpang kapal dagang dari Timur Tengah. Para guru sufi tersebut dalam berbagai sumber setempat sering dijuluki maulana, sunan atau susuhunan, khatib, datau atau dato, wali, atau syekh.
Dari sumber sejarah dapat diketahui adanya kecenderungan kuat bahwa jika raja masuk Islam, maka penyebaran Islam menjadi semakin cepat antara lain karena perintah raja yang telah masuk Islam itu.
Di Kerajaan Samudera Pasai, setelah Merah Silu masuk Islam dan bergelar Malik Al-Salih, maka keluarga dan masyarakat setempat mengikutinya. Demikian hal serupa terjadi di Ternate, Sulawesi Selatan, dan Kalimatan Timur.
Di samping faktor–faktor di atas yang menyebabkan cepatnya Islam diterima masyarakat Nusantara, adalah faktor akomodasi kultural yang diterapkan para pendakwah dalam menyebarkan Islam. Karena itulah penyebaran Islam di Nusantara tidak menimbulkan kejutan budaya (cultural shock).
Karenanya masih didapati tradisi pra-Islam yang masih dipraktekkan masyarakat Nusantara yang telah memeluk Islam. Bahkan budaya-budaya tertentu telah dijadikan media dakwah yang efektif dalam penyebaran Islam. di Jawa, para wali menggunakan gamelan dan tembang-tembang sebagai alat dakwah Islam.
Sunan Bonang menggunakan bonang (alat musik) dan menciptakan tembang darma yang liriknya berisi petuah-petuah sufistik. Demikian pula Sunan Kudus yang menciptakan gending Maskumambang dan Mijil, Sunan Drajat dengan Pangkur-nya, dan Sunan Muria dengan Sinom dan Kinanti-nya.
Diantara para wali yang paling kreatif menggunakan tradisi lokal dalam dakwahnya adalah Sunan Kalijaga. Ia mengadakan pertunjukan wayang penontonnya tidak dipungut biaya tapi cukup diminta mengucapkan dua kalimat syahadat.
Pertunjukan wayang ini mengundang minat masyarakat. Selanjutnya, dalam pertunjukan ini, para wali menyampaikan petuah-petuah keislaman terutama yang bersifat sufistik. (Al Qurthubi, 2003: 112-113! Syamsu, 1999:54-75).
E.Paham Keagamaan yang Dikembangkan
Berdasarkan diskusi tentang masuknya Islam di Nusantara pada bagian awal, kebanyakan pakar berpendapat bahwa faham keagamaan yang dianut oleh para penyebar Islam pertama adalah faham Sunni yang menonjolkan aspek-aspek sufistik.
Meski demikian memang tidak bisa dibantah adanya varian faham Syi’ah dalam faham kegamaan Nusantara karena interaksi-interaksi kemudian. Kesimpulan ini diperkuat oleh kenyataan bahwa mayoritas umat Islam di Indonesia bermazhab Syafi’i, salah satu mazhab dari mazhab empat dalam faham keagamaan Sunni.
Mazhab Syi’ah sendiri masuk di Indonesia dibawa oleh penganut Syi’ah Ismailiyah yang bersumber dari Persia yang kemudian tersebar ke pedalaman India sampai perbatasan Bukhara dan Afghanistan, dan akhirnya sampai ke Indonesia. Pengaruh faham Syi’ah di Indonesia dapat dilihat adanya mitos tentang akan datangnya Imam Mahdi dari keturunan Ali bin Abi Thalib.
Di Pariaman Sumatera Barat dikenal istilah Tabut yang dibuat dari tandu pada setiap 10 Asyura dan mengusungya beramai-ramai sambil menyebut dengan keras-keras “Oyak Osen” (Hasan-Husen, yaitu dua nama cucu Nabi Muhammad dari garis keturunan Ali dan Fatimah. (Hasymi, 1993: 489).
Dominasi pengaruh faham Sunni dapat dilihat dari pengaruh ajaran Sunan Bonang. Ajaran Sunan Bonang ini menggambarkan ajaran Walisongo secara umum karena beberapa alasan. Pertama, Sunan Bonang adalah putera sekaligus murid Raden Rahmat atau Sunan Ampel.
Kedua, Sunan Bonang adalah seorang mufti yang diberi gelar “Prabu Hanyakrawati” dan dijuluki “Selubung ngelmu lan agami” (Selubung ilmu dan agama). Ketiga, Sunan Bonang adalah seperguruan dengan Sunan Giri, Suana Gunung Jati, yang sama-sama berguru kepada Maulana Ishaq saat menetap di Pasai, Aceh. Keempat, Sunan Bonang adalah guru Sunan Kalijaga ketika pertama kali menuntut ilmu agama Islam. (Syamsu, 1999: 36)
Dalam Primbon Wejangan Sunan Bonang, Sunan Bonang menyebut kitab-kitab atau tokoh pengarangnya, antara lain Ihya Ulumiddin karya Imam Ghazali, Talkhisul Minhaj ringkasan karya Imam al-Nawawi, Qutul Qulub karya Abu Talib Al-Makky, Abu Yazid Al-Bustami, Ibn Arabi, Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, dan lain sebagainya. Dalam Primbon Sunan Bonang juga terdapat ilmu fikih, tauhid, dan tasawuf yang disusun berdasarkan faham Sunni atau Ahlussunnah wal Jamaah dengan mazhab Syafi’i. (Syamsu, 1999: 36-37).
Sunan Bonang mengajarkan faham ketuhanan Sunni yang mengecam faham wahdatul wujud, faham manunggaling kawula gusti, dan faham lain sejenis. Faham tersebut oleh sementara ulama dianggap sesat dan kafir. Tiang agama yang harus dijaga menurut Sunan Bonang adalah tauhid dan ikhtiar.
Primbon tersebut ditutup dengan nasehat: “Hendaklah perjalanan lahir batinmu menurut jalan-jalan syariat, cinta, dan meneladani Rasulullah.” (Syamsu)
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa faham keagamaan yang disebarkan oleh Wali Sanga adalah Sunni atau Ahlusunnah wal Jamaah. Karena itu pula, Syekh Siti Jenar yang dianggap menyeleweng dari ajaran Sunni yang ortodok, dihukum oleh para wali. Syekh Siti Jenar sendiri banyak dipengaruhi oleh faham wahdatul wujud Al-Hallaj, seorang sufi Persia yang hidup pada tahaun 857-922 M. (Tebba, 2003:86).
Penyebaran Islam sebagaimana telah dikemukakan di atas berkaitan dengan para sufi. Unsur tasawuf dapat dilihat, misalnya, dari tulisan pada beberapa nisan kuburan. Konsep Insan Kamil misalnya, dapat dilihat pada kubur raja Melayu dan Indonesia yang disebut Batu Aceh.
Ayat-ayat Al-Quran dan beberapa syair sufi yang terdapat pada beberap nisan itu pada dasarnya mempunyai tema umum, yaitu menekankan: “Hanya Allah yang ada dan Ia menentukan keinginan manusia.”Pada nisan Raja Malik Al-Salih terdapat puisi yang menyatakan: “Dengarlah, sesungguhnya dunia itu fana, dunia tidak abadi. Sesunggunya dunia itu bagaikan suatu jaring yang dianyam oleh laba-laba.” (Abdullah (ed.), 2002: 23)
Bukti di atas menggambarkan bahwa sejak abad ke-13 sampai ke-15 unsur sufi telah masuk di Pasai dan Malaka. Bahkan Sultan Alaudin Riayat Syah (w. 1488 M) disebut-sebut sebagai pengikut sufi.
Dalam Sejarah Melayu dan Hikayat Raja-raja Pasai, terdapat gambaran bahwa raja-raja mempunyai perhatian terhadap ajaran Insan Kamil dan mempelajari kitab seperti Durrul Manzhum atau Darrul Mazlum yang ditulis Maulana Abu Ishak dan dibawa muridnya, Maulana Abu Bakar ke Malaka. (Abdullah (ed.), 2002:23).
Meski tasawuf telah mempunyai pengaruh antara abad 13 sampai dengan abad ke-15, namun baru pada abad ke-16 dan ke-17 ajaran Tasawuf berkembang secara jelas di Asia Tenggara. Hal itu dapat diketahui dari hasil karya tasawuf pada abad tersebut.
Di Jawa, ditemukan primbon abad ke-16 dan kitab Wejangan Syekh Bari dari abad ke-16. Syekh Yusuf Al-Makassari sekembalinya dari Timur Tengah banyak menulis kitab tasawuf, seperti Zubdatul Asrar, Tajul Asrar, Mathalibus Salikin, dan lain sebagainya.
Di Aceh pada sekitar abad ke-17 muncul tokoh sufi seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin Al-Sumatrani, Nuruddin Al-Raniri, dan Abdur Rauf Sinkel. Hamzah Fansuri dan muridnya, Syamsuddin Al-Sumatrani adalah penganut faham wahdatul wujud Ibn Arabi.
Sebaliknya Nurudin Al-Raniri dan Abdur Rauf Singkel adalah penantang Wahdatul Wujud. (Abdullah (ed.), 2002: 23! Mastuki dan Ishom El-Saha (ed.): h.160).
Martin Van Brunessen, seorang peneliti asal Jerman, menyatakan bahwa Islam yang diajarkan di Asia Tenggara (termasuk Indonesia) sangat diwaranai ajaran dan amalan sufi. Para sejarawan mencatat bahwa sufistik menjadikan daya tarik sendiri bagi orang-orang di Asia Tenggara sehingga menjadi salah satu faktor proses penyebaran Islam berlangsung cepat.
Ajaran-ajaran kosmologis dan metafisis Ibnu Arabi dapat dengan mudah dipadukan dengan ide-ide sufistik India dan pribumi yang dianut masyarakat setempat. Konsep Insan Kamil sangat potensial sebagai basis legitimasi religius para raja.
Di Kesultanan Buton, ajaran sufi tentang emanasi ketuhanan melalui tujuh martabat (Martabat Tujuh) dimaknai atas adanya masyarakat yang berjenjang (stratified) yang terdiri dari tujuh lapis sosial yang hampir menyerupai kasta. (Brunessen, 1999:188-189)
Corak tasawuf ini masih terus berkembang di Indonesia sampai saat ini, di mana sikap-sikap sufistik dan kegemaran kepada hal-hal yang keramat masih meliputi orang Islam di Indonesia. Corak ini semakin kental ketika organisasi-organisasi sufi yang biasa disebut tarekat telah memperoleh pengikut yang tersebar di Indonesia.
Orang-orang yang baru kembali dari Mekah dan Madinah menyebarkan tarekat Syattariyyah, seringkali perpaduan antara Naqsyabandiyah dan Khalwatiyah. Tarekat Rifaiyyah dan Qadiriyah juga sudah tersebar. Sisa-sisa ajarannya dapat ditemukan di Aceh, Minangkabau, Banten, dan Maluku, dengan ciri kekebalan tubuh atau debus. (Brunessen, 1999, 197). Syekh Yusuf Makasar dikenal sebagai penganut Tarekat Khalwatiyah. Abdurrauf Sinkel dikenal sebagai penganut Tarekat Syatariyah, dan sebagainya.
F. HIPOTESIS
Fondasinya pertanyaan ini kemudian menggerakkan Michael Laffan, Profesor Sejarah di Universitas Princenton, untuk meneliti proses tumbuh kembangnya Islam di Indonesia yang memiliki corak dan ciri khusus dalam Buku Buku Sejarah Islam di Nusantara menjadi narasi yang unik karena digambarkan melalui kacamata orang asing.
Sebelum Laffan mencoba membaca Islam di Nusantara, ia terlebih dulu mencoba memaknai Islam melalui kacamata para pengamat Barat sebelumnya. Menurut para pengamat Barat mulai dari para administrator kolonial, para cendeikawan orientalis Belanda, hingga para antropolog modern seperti Clifford Geertz penafsiran Islam yang damai ala Indonesia terus-menerus mendapat ancaman dari luar oleh tradisi-tradisi Islam yang lebih keras dan intoleran.
Di bukunya, Laffan tidak hanya mencoba mengurai jejak Islam di Nusantara. Ia juga menarasikan berbagai pengamatan orang-orang Barat. Dari sebagian pengamatan orang Barat tersebut, Laffan menemukan beberapa penelitian yang tidak obyektif.
Sebab, beberapa pengamat lebih berfokus pada penyebaran agama Kristen dan malah melupakan entitas Islam itu sendiri. Pembacaan terhadap kitab suci Al-Quran dilupakan padahal esensi dari pengamatan yang mereka lakukan adalah agama Islam. Selain itu, pemaknaan terhadap Al-Quran pun hanya dilakukan dengan ala kadarnya. Sehingga, apa yang mereka urai pun tidak sempurna.
Dalam hal ini, Laffan pun mencoba mengurai Islam dengan perpekstif yang lain. Ia menyusuri bagaimana citra populer Islam Indonesia dibentuk oleh berbagai perjumpaan antara cendekiawan kolonial Belanda dan para pemikir Islam reformis.
Laffan juga menyuguhkan peran-peran tradisi Arab, Tiongkok, India, dan Eropa yang telah berinteraksi sejak awal masuknya Islam. Hasil perkawinan lintas budaya dan intelektualitas inilah yang kemudian melahirkan Islam Nusantara.
G. PEMBAHASAN
Dari masa ke masa ulama-ulama Nusantara telah lama menjalin jejaring sanad keilmuan dengan para maha guru Islam yang ada di Mekkah dan Timur Tengah. Sekembalinya dari merantau itulah, para ulama Indonesia mulai mengembangkan keilmuan (pembaharuan) serta menjadi inspirasi untuk menggerakan semangat jihad melawan kolonialisme.
John R Bowen dalam artikelnya “Intellectual Pilgrimages and Local Norms in Fashioning Indonesian Islam” menulis, ulama Indonesia yang pernah berguru kepada ulama Makkah dan Madinah, kembali ke Indonesia membawa semangat pembaruan untuk melawan tekanan kolonialisme melalui organisasi Islam.
Gerakan ini pada dasarnya adalah bentuk pemurnian nilai Islam dari campuran nilai-nilai lain. Meski awalnya organisasi ini bersifat kultural dan kedaerahan, pola tersebut kemudian berkembang menjadi gerakan modern.
Jejaring ulama Nusantara ini sudah lama diteliti oleh Dr Asyumardi Azra dalam disertasi asli “The Transmission of Islamic Reformism to Indoesia: Networks of Middle Eastern and Malay-Indonesian Ulama in Seventeenth and Eighteenth Centuries”.
Disertasi saudara Azyumardi Azra yang diajukan kepada Departemen Sejarah, Columbia University, New York, pada akhir tahun 1992, guna memperoleh gelar Ph.D. Dalam penelitiannya ini, Dr. Azyumardi Azra, dikemukakan lebih jauh, bahwa penelitian ini adalah merupakan langkah awal dalam menyelidiki sejarah sosial dan intelektual ulama dan pemikiran Islam di Indonesia, khususnya dalam kaitannya perkembangan pemikiran Islam di pusat-pusat keilmuan Islam di Timur Tengah.
Karena tidak mungkin, pembaharuan yang terjadi di berbagai negara Muslim ini tanpa adanya mata rantai yang sambung-bersambung (sanad ilm, mata rantai emas sanad keilmuan-red) dengan pusat pertumbuhan dan perkembangan Islam dari tempat Nabi Muhammad SAW berasal, yakni daratan tanah Arab (Timur Tengah).
Dalam realitas kesejarahan, pertumbuhan dan perkembangan Islam di Nusantara, yang pada dasarnya memiliki keterkaitan erat dengan dinamika umat Islam di Timur Tengah, bukanlah sekedar dilandasi oleh faktor politis.
Pada masa awalnya, yakni pada akhir abad ke-8 hingga abad ke-12, hubungan di antara kedua wilayah umat Islam tersebut, lebih sebagai hubungan perdagangan dan ekonomi. Pada masa berikutnya, hingga akhir abad ke-15, hubungan antar kedua kawasan mulai mengambil aspek yang lebih luas.
Disamping mereka melakukan praktik perdagangan, para pedagang dari Timur Tengah juga melakukan upaya penyebaran agama Islam, sehingga akhirnya terjalin hubungan sosial-keagamaan yang sangat erat di antara keduanya. Selanjutnya, pada abad ke-15 hingga paruh kedua abad ke-17, hubungan yang terjalin di antara Melayu-Indonesia dengan Daulat Utsmani, lebih banyak diwarnai oleh faktor politis.
Kenyataan ini sebagai akibat dari adanya pengaruh perebutan dua kekuatan besar, yakni dari penguasa Spanyol dan Daulah Utsmani. Dengan adanya hal ini, maka kemudian para elit penguasa di Nusantara mengambil posisi untuk menjalin kebersamaan dengan daulat Utsmani.
Hubungan yang lebih bersifat keagamaan dan politis ini, dikembangkan dengan para penguasa di Haramayn. Dengan adanya jaringan dengan ulama di Haramayn ini, kemudian menjadikan ulama dari Nusantara untuk meningkatkan dan mengembangkan kemampuan keilmuan serta intelektualnya.
Dari sinilah kemudian sejak paruh kedua abad ke-17 ini, hubungan di antara ulama Haramayn dengan ulama di Nusantara ini lebih merupakan hubungan sosial-intelektual, selain juga hubungan sosial-keagamaan.
Melalui pendekatan penelitian historis-filosofis serta pendekatan sosiologis-antropologis penulis dapat menelusuri pertumbuhan dan perkembangan lembaga-lembaga pendidikan yang terjadi dikawasan periferi, yang selama ini dianggap remeh oleh para peneliti serta sarjana modern.
Dari penelitian little tradition yang ada di kawasan periferi ini, terdapat gagasan serta ide-ide pembaharuan, yang pada dasarnya juga dikembang tumbuhkan dari jaringan ulama, yang berpusat di Haramayn, dengan memunculkan “sintesis baru” menjadi great tradition.
Jaringan Ulama yang telah lama terbangun dalam wilayah Internasional ini dibuktikan dengan adanya jaringan ulama Melayu-Indonesia, bukan berarti hasilnya berlaku lokal bagi Muslimin di Nusantara, karena Jaringan Ulama yang terjadi ini merupakan mata rantai emas keilmuan yang sangat luas dan menyeluruh ke semua belahan Dunia Muslim.
Ulama Melayu-Indonesia adalah merupakan bagian dari jaringan besar tersebut dimana pada masa itu mulai dilaksanakannya pemikiran serta gerakan pembaharuan di wilayah Islam Nusantara.
Menurut penulis, setidaknya ada dua istilah kunci digunakan Dr Azyumardi Azra dalam menguak jejaring ulama Nusantara yang menjadi sangat penting dan menentukan. Pertama adalah kata Jaringan.
Dengan jaringan ini maka di antara para ulama yang berasal dari berbagai daerah bisa melakukan kontak untuk melakukan dialog serta proses peleburan tradisi-tradisi “kecil” (little tradition) untuk membentuk “sintesis baru” yang sangat condong pada tradisi besar” (great tradition). Proses peleburan yang semacam ini, di antara ulama dilakukan dengan berpusat di Haramayn (Makkah dan Madinah).
Kedua adalah kata Transmisi. yang dimaksud dengan transmisi adalah, upaya yang dilakukan oleh seseorang untuk menyebarkan, menyampaikan gagasan, ilmu serta metode yang diperoleh dari daerah tertentu, tentang sesuatu yang tertentu pula, untuk kemudian disebarkan ke berbagai daerah lainnya.
Yang dimaksud dengan transmisi ini adalah, upaya yang dilakukan oleh seorang ulama untuk menyebarkan, menyampaikan gagasan, ilmu serta metode yang diperoleh di Haramayn, tentang tradisi keagamaan pusat-pusat keilmuan Timur Tengah, ke berbagai dunia Muslim, seperti Melayu-Indonesi (Nusantara).
Proses transmisi ini akan menghasilkan letupan-letupan pembaharuan, yang pada gilirannya nanti secara signifikan akan mempengaruhi perjalanan historis Islam di tanah air masing-masing.
Ulama-ulama Nusantara memberikan sumbangan dalam pengembangan keilmuan Islam pada masa itu. Karena, pertama, tertolaknya suatu asumsi yang mengatakan bahwa hubungan antara Ulama di Timur Tengah dengan para Ulama di Nusantra, hanyalah bersifat politis. Hal ini dikarenakan, semenjak abad ke-17, terutama diparuh kedua abad ini, hubungan di antara mereka lebih menekankan pada aspek sosial-intelektual (keilmuan).
Kedua, tertolaknya suatu asumsi yang mengatakan bahwa abad ke-17 dan 18 adalah abad kegelapan bagi umat Islam. Karena pada kenyataannya di abad ini justru merupakan masa yang sangat harmonis dan dinamis, bagi perkembangan pemikiran serta keilmuan Islam.
Islam di masa ini bukan lagi Islam yang bercorak mistik (sufistik), akan tetapi Islam yang merupakan perpaduan antara Tasawwuf dan Syariah (Neo Sufism).
Terjadinya perpaduan di antara keduannya ini, merupakan kesadaran dari para ulama fiqih (fuqoha) dan ulama tasawwuf (sufi), untuk saling menyadari akan keberadaan serta peranan masing-masing. Dengan adanya kesadaran yang demikian inilah, maka kemudian berkembang suatu praktik keislaman yang baru, yakni yang disebut dengan Neo-Sufisme.
Ketiga, adanya peranan serta keterlibatan ulama-ulama Melayu dalam jaringan ulama Internasional, yang pada taraf selanjutnya mampu melakukan upaya transmisi keilmuan dan pemikiran ke wilayah Nusantara, untuk melakukan langkah pembaharuan.
Perkembangan pemikiran dan keilmuan didunia Islam, memang tidak terlepas dari adanya jaringan yang terbentuk di antara para ulama Timur Tengah dengan ulama-ulama lain di berbagai dunia Muslim.
Demikian pula dengan perkembangan pemikiran dan pembaharuan yang terjadi di kalangan umat Islam Indonesia, adalah merupakan hasil dari keberadaan ulama Melayu-Indonesia yang terlibat dalam jaringan tersebut.
Peranan Ulama ini bisa dilakukan dengan mengaplikasikan ilmu, gagasan serta metode yang didapatkan dalam jaringan tersebut, di tanah airnya, atau juga bisa melalui buku-buku yang disusun dan disebarkan ke wilayah asalnya.
Teori-teori yang berkembang dapat ditelisik melalui dialog para ahli sejarah, dapat dirunut melalui awal sejarah kedatangan Islam ke Nusantara yang dimulai dari abad ke 7 sampai abad 12 M melalui gelombang I (Dewan Wali) dan II (Wali Songo). Sebagian mengatakan dari India (Gujarat), sebagian lain dari China (melalui sahabat Said bin Abi Waqqas yang diutus Rasulullah SAW ke Cina), Persi dan lain sebagainya.
H. KESIMPULAN
Dengan demikian, dapat ditarik benang merah mengenai hubungan antara Haramayn dengan Nusantara. Kebangkitan dan perkembangan jaringan ulama nusantara ini masih dalam jaringan internasional yang berpusat di Haramayn (Mekkah). Berbagai kebijakan yang diambil dalam pemerintahan Haramayn, yang kemudian memunculkan kemudahan dan efektifitas di antara para ulama untuk melakukan transmisi keilmuan di antara mereka.
Selain itu juga dijelaskan proses ekspansi jaringan ulama ke daerah lain.
Adanya pembaharuan yang terjadi, sebagai akibat dari terjalinnya antar ulama dari berbagai daerah ini. Perkembangan dan kecenderungan masyarakat muslim dari mistik menuju pada neo-sufisme.
Ulama-ulama Nusantara memiliki andil terhadap kelahiran pembaharuan Islam di negeri Nusantara. Ulama Nusantara pada masa itu antara lain Syekh Nurrudin Al Raniri (w.1068/1658), Syekh Abd Al Rauf Al Sinkili (1024-1105/1615-1730) dan Syekh Muhammad Yusuf Al Makassari (1037-1111/1627-1699), Syekh Burhanudin Ulakan (w. 1100 H/1680 M), Syekh Arsyad Al Banjari (w.1777) dll.
Sementara jaringan ulama beserta langkah pembaharuan yang dilakukan oleh para ulama di wilayah Melayu-Indonesia pada abad 17 dan 18 banyak dilakukan oleh Ulama Aceh di bawah pimpinan Teuku Cik di Tiro, Teuku Umar, Cut Nyak Dien dll, ulama-ulama Padri di bawah komando Tuanku Imam Bondjol (Padang Minangkabau), P Diponegoro dan Kyai Mojo di Tanah Jawa, Sayid Idrus Sulawesi, Syekh Arsyad Al Banjari Kalimantan, Haji Wasid dan H Abdul Karim Banten dll banyak membentuk pola pemberontakan lokal dan belum meluas serentak se tanah air dalam melawan kolonialisme.
Pengembangan keilmuan Islam pada saat itu tentu terpusat pada surau, dayah dan musholla, sisanya banyak ulama, kyai dan santri berjuang secara gerilya dalam skala lokal (territorial) Kompeni Belanda.
Baru pada akhir abad ke-19, ulama-ulama pesantren di Nusantara di atas makin masif berkonsolidasi. Selain di Makkah Madinah (Haramain) konsolidasi juga dilakukan di Nusantara, misalnya di Aceh tahun 1873 telah mencetuskan ide “Jumhuriyah Indonesia” (Republik Indonesia) dan disebarkan hingga ke Papua untuk membangun cita-cita kesatuan tanah dan bangsa Indonesia.
Jejaring ini pernah dibangun dalam jejaring Busur Laut Nusantara pada abad ke-14 hingga abad ke-16. Jejaring ulama-santri yang telah menegakkan Indonesia sebenarnya hasil dari proses panjang terbentuk dan terkonsolidasinya jejaring ulama Timur Tengah dan Nusantara sebelumnya.
Memasuki paroh kedua abad ke-19 dan abad ke-20, semakin banyak ulama tanah Jawa yang menuntut ilmu di tanah suci. Informasi tentang biografi mereka lebih banyak dan tercatat dengan cukup detail di dalam kitab-kitab sanad dan buku-buku biografi Arab.
Banyak dari mereka telah mendapat ijazah (sertifikasi) dan mengajar di Masjidil Haram. Hal tersebut secara tidak langsung, menjadikan mereka di tanah suci sebagai penerus jejaring ulama Nusantara yang telah dirintis oleh para ulama Nusantara sebelumnya.
Syaikh Ahmad bin Zaini Dahlan, seorang mufti agung Makkah pada abad ke-19 yang telah membuka pintu bagi ulama-ulama Nusantara untuk berkiprah dan memancangkan komunitasnya di Haramain dan berjejaring dengan ulama-santri di Nusantara.
Sebagian ada yang menyemai di Haramain untuk menampung para ulama-santri yang datang dari berbagai penjuru nusantara, sebagian kembali ke Nusantara untuk menjadi poros dan mengokohkan bergeraknya jejaring yang telah dibangun.
Seperti dari Kalimantan muncul Syekh Khatib As Sambasi, Syekh Arsyad Al Banjari dan Syekh Nafi Al Banjari, dari Sumatera muncul Syekh Ismail al Minangkawi, Syekh Abdusshommad Al Falimbani dan Syekh Ahmad Khatib Minangkabawi, Syaikh Abdul Wahab Sandenreng Daeng Bunga Bugis, dari Jawa muncul Syekh Habib Ahmad an Nahrawi al Banyumasi, Syekh Juned al Batawi, Syaikh Abdur rahman al Mishri, Syekh Nawawi al Bantani, Syeikh Agung Asnawi bin Syeikh Abdurahman Caringin al Bantani, Syekh Mahfudz Termas Pacitan, Syekh Abdul Karim al Bantani, dan dari Nusa Tenggara Barat menghadirkan Syekh Abdul Madjid Bima pada abad ke-19 yang berada di Masjidil Haram Makkah menjadi poros bagi ulama-ulama Nusantara.
Poros ulama Nusantara di Haramain tersebut berhasil membentuk soliditas ulama. Muncullah nama-nama semisal Syekh Sholeh Darat As-Semarangi, KH Ahmad Rifaii Kalisalak, Syekh Khalil Bangkalan, Al Hadlratus Syekh Hasyim Asyari Jombang, Syekh Tolhah Cirebon, KH Ahmad Dahlan Jogjawi, Tuan Guru Haji Zainuddin bin Abdul Madjid Al Amfani Al Fancuri (Tuan Guru Zainudin Pancor, Lombok NTB), KH Ahmad Sanusi Sukabumi Gunung Puyuh Sukabumi, Guru Mansur Al Batawi, Syaikh Muhtar Al Bughuri, Dr. H Moh Hatta Bukit Tinggi dll. Kenapa penulis perlu memasukan Dr Hatta dalam salah satu khazanah ulama Indonesia. Dr Moh Hatta pernah belajar dengan Haji Mohammad Djamil, putra Syekh Batu Hampar. Ia juga belajar dengan Syekh Arsyad dan Syekh Djambek yang tiada lain tokoh besar ulama Minangkabau pada masa itu, dll.
Ulama-ulama inilah yang dikemudian hari menjadi jangkar ulama di Nusantara yang menggerakkan poros tersebut, berkiprah dipesantren, surau atau dayah. Mereka tidak hanya menimba ilmu di Haramain, tapi juga di Kairo Mesir sehingga terdapat diskursus intelektual dan perbedaan garis perjuangan.
Meskipun demikian, karena memiliki kesamaan semangat anti kolonial, diskursus dan perbedaan tersebut mampu diredam meskipun percikan-percikannya tentu saja mempengaruhi arah dan warna perjuangannya di kemudian hari, khususnya dalam tradisi keberagamaan.
Dan sejarah mencatat, simpul-simpul utama jejaring ulama tersebut terkonsolidasi dalam suatu poros untuk menegakkan bangsa Indonesia. Syekh Hasyim Asyari berupaya mensinergikan simpul-simpul utama ulama, habaib, dan kelompok pembaharu (intelegensia/cendekiawan) untuk bergerak bersama KH Wahab Hasbullah dan kyai-kyai di Surabaya pada tahun 1926 dalam Nahdlatoel Ulama (HBNO), KH Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyah, KH Ahmad Sanusi dengan Persatuan Islam (Persis), Tuan Guru Zainuddin bin Abdul Madjid Al Al Fancuri (Tuan Guru Pancor, Lombok Nusa Tenggara Barat) dengan mendirikan Nahdlatul Wathan pada 1937, Sayid Idrus (Guru Tua) dengan Al Khairat di Palu (Sulawesi), Syekh Nafi dengan Darussalam di Banjarmasin, Jejaring ulama Betawi-Bekasi (Guru Mansyur Jembatan Lima, Guru Mughni Kuningan, Guru Mujtaba, Guru Mahmud, Guru, Khalid, Guru Marzuki Cipinang Muara, KH Noer Ali Bekasi, Syaikh Muhadjirin Amsar ad-Dari, KH Abdullah Syafii, KH Tohir Rohili, KH Fatullah Harun, KH Zayadi Muhajir dll). Sementara tokoh pergerakan dan kebangkitan Nasional dari intelektual muslim, tampil Dr Moh Hatta, KH Abdul Wachid Hasyim, Ir Soekarno dan Syahrir dengan Persatuan Nasional Indonesia (PNI) dan lain sebagainya.
Melalui jejaring gurunya, koleganya dan muridnya, simpul-simpul itu membangun soliditas dan kekuatan utama baik Jumhuriyyah Indunisie maupun pergerakan nasional hingga tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Terbentuk dan terkoneksinya jejaring itu menjadi kekuatan baru (new emergyzing) yang nantinya membungkam sejarah kolonial dan menjadi titik pijak gerakan pembaharuan Islam (nasionalis-Islam) baik yang gerakan Islam tradisional dan gerakan Islam moderat.
Gerakan Islam yang tradisional, moderat dan toleran itu masih berkembang hingga kini telah mewarnai, bentuk dan serta corak gerakan Islam keagamaan, politik, ekonomi, hukum dan sosial budaya kemasyarakatan dalam bingkai NKRI . (***)
DAFTAR PUSTAKA :
1. Ajid Thohir, 2004, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam Melacak Akar-Akar Sejarah, Politik, dan Budaya Umat Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
2. Ahmad Mansyur Suryanegara, 2010, Api Sejarah, Bandung: Salamadani Pustaka Semesta.
3. Azyumardi Azra, 1995, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-Akar Pembaharuan Islam di Indonesia, Bandung: Mizan.
4. Dedi Supriyadi, M.Ag, 2008, Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Pustaka Setia.
5. Moh. Nurhakim, 2004, Sejarah dan Peradaban Islam, Malang: UMM Press.
6. Zakaria, Rafiq, 1989, The Struggle Within Islam, Australia: Penguins Books.
7. Aji Setiawan, Satelit Pos : Melacak Jejaring Ulama Nusantara (2-Habis)
24 Mei, 2019.
8. Aji Setiawan, Santrinews : Melacak Jejaring Ulama Nusantara Sepanjang Masa,
Minggu, 14 Juni 2015
Artikel Dikirim Oleh Aji Setiawan