Peran NU dalam Persiapan dan Pasca Kemerdekaan NKRI

ulama nuasantara
ulama nuasantara

Jauh hari sebelum persiapan kemerdekaan dilakukan, NU pada Muktamarnya ke-15 yang diselenggarakan bulan Juni 1942 (muktamar terakhir masa kolonial Belanda) diadakan rapat tertutup yang dihadiri oleh 11 orang ulama yang dipimpin oleh K.H. Mahfudz Shiddiq untuk membicarakan calon yang pantas untuk dijadikan presiden pertama Indonesia. Sebelas tokoh NU menentukan pilihan dua nama yang disebut, yakni Soekarno dan Mohammad Hatta. Para ulama memilih Soekarno banding Hatta dengan perbandingan suara 10:1.

Pembicaraan mengenai calon pemimpin pertama Indonesia itu dilakukan pada saat Indonesia belum bisa memastikan kapan akan merdeka. NU melakukan pembicaraan dini mengenai pemimpin bangsa Indonesia dikarenakan NU menganggap pemimpin itu sangat penting. Ada ajaran (Islam) yang menyebutkan bahwa pemimpin yang lalim masih lebih baik ketimbang tidak ada pemimpin.

Untuk mematangkan persiapan Indonesia menyambut kemerdekaannya, pada tanggal 29 April 1945 dibentuklah Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang anggotanya berjumlah 62 orang diketuai oleh Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai wakilnya. Dalam badan itu juga tercantum nama K.H. Wahid Hasyim sebagai anggota. BPUPKI selain menyusun Undang-Undang Dasar (UUD) juga muncul pembicaraan mengenai bentuk negara. Polarisasi pendapat di dalam BPUPKI mengenai bentuk negara! satu pihak menginginkan Indonesia menjadi negara Islam, pihak lainnya menginginkan Indonesia menjadi negara kesatuan nasional yang memisahkan negara dan agama. di BPUPKI inilah Soekarno meletakkan dasar-dasar bakal negara Indonesia.

Sebagian umat Islam menginginkan dibentuknya Negara Islam sehingga memungkinkan dilaksanakannya syariat Islam secara penuh. Menurut Soekarno ada dua pilihan tentang bentuk negara Indonesia yakni persatuan staat-agama tetapi sonder (tanpa) demokrasi atau demokrasi tetapi staat dipisahkan dari agama.

Soekarno condong memilih pilihan yang kedua. Menurutnya, negara demokrasi dengan memisahkan agama dari negara tidak mengabaikan (nilai-nilai) agama. (Nilai-nilai) agama bisa dimasukkan ke dalam hukum yang berlaku dengan usaha mengontrol parlemen, sehingga undang-undang yang dihasilkan parlemen sesuai dengan Islam. Pemikiran Soekarno ini substansialistik yang menginginkan dilaksanakannya ajaran Islam, tetapi tidak setuju terhadap formalisasi ajaran Islam.

Tampilkan Semua
Cilacap Info
IKUTI BERITA LAINNYA DIGOOGLE NEWS

Berita Terkait