Pascareformasi
Kini, hampir dua dekade pascareformasi, NU sudah menjadi salah satu pendukung kuat Pancasila. Suara-suara penolakan terhadap kebijakan pimpinan pusat di PBNU bukannya tidak ada (sejak dulu pun demikian—satu contoh yang terkenal: pada 1980-an, Kiai As’ad Syamsul Arifin menyatakan mufaraqah atau memisahkan diri/ke luar dari NU yang dipimpin Gus Dur.) Namun secara umum, figur-figur penting NU kini berada di belakang Pancasila. Rais Aam NU Kiai Ma’ruf Amin dan Ketua Umum NU Kiai Said Aqil Siradj kini menjadi dua dari sembilan pengarah UKP-PIP.
Konfigurasi politik saat ini sudah berbeda dari zaman Orde Baru. Rival NU dalam persaingan antarormas Islam juga sudah berbeda. Corak penafsiran politis terhadap Pancasila pun lebih beragam. di masa pascakemerdekaan hingga berakhirnya Orde Lama, Pancasila cenderung dimaknai sebagai konsensus pemersatu semua kalangan melawan kolonialisme dan imperialisme, dengan ragam sisi terang dan gelapnya. di zaman Orde Baru, Pancasila cenderung menjadi instrumen penjaga “stabilitas” politik. Pascareformasi, tafsir-tafsir dari beragam spektrum saling berebut untuk memaknai Pancasila. NU tampaknya berada dalam kalangan yang memaknai Pancasila sebagai simbol penjaga kebinekaan, kalau bukan malah instrumen “penggebuk” ormas “subversif”.
Saat ini, Pandangan NU terhadap Pancasila,sudah dianggap final. Riuh perdebatan seputar isu Pancasila kembali menghangat sesaat setelah muncul draf RUU Haluan Ideologi Pancasila atau HIP. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) memberi sejumlah catatan kritis dan mendesak agar proses legislasi yang sedang berlangsung terkait HIP segera dihentikan.
Apakah NU bisa merumuskan ulang tafsir Pancasila yang lebih dari sekadar itu, misalnya terkait persoalan sektarianisme internal umat Islam dan tafsir lain yang bukan sekadar soal kebinekaan dan hubungan agama negara melainkan juga “keadilan sosial” di sila kelima? Jawabannya ada di tahun-tahun mendatang.[] Aji Setiawan,ST