Telor dadar, Bakwan dan Mie Goreng menu makan siang kami hari ini. Sambil makan Widi bercerita bahwa sepeninggal kami tadi, ada pendaki lain yang datang, dan mengira Widi adalah tukang bakwan. Dengan sedikit kesal Widi berkata “Iya, masa gua dikira tukang bakwan, gara-gara pas mereka sampe, gua lagi goreng bakwan, udah langsung pada bilang enak nih, beli-beli, gitu.” Ucapnya. Hahaha..lucu, mungkin karena Widi bersama Pak Sakri makanya disangka mereka, Widi adalah penduduk asli desa ini. Sudah tidak bisa ikut naik ke puncak, eh disangka jualan bakwan hihi..
Singkat cerita, sambil menikmati makan siang kami saling bercerita tentang pengalaman di atas puncak tadi. Kami tidak terlalu gamblang menceritakannya, karena Widi pasti iri mendengarnya, biarlah nanti kami ceritakan semua setelah turun dari sini. Selesai makan, kami segera berkemas, waktu sudah menunjukkan pukul 1 siang. Tapi kini cuaca tidak terlalu panas, akan turun hujan sepertinya.
Tenda dilipat, nesting dikemas, sepatu kembali dipakai, semua telah siap, kini saatnya kami turun dari gunung ini, menapaki jalur yang sama yang kami lalui ketika awal pendakian ini.
Namun sebelum turun, kami kembali teringat tentang kemenyan itu. Bisik-bisik di antara kami, dan lewat pandangan mata yang seolah saling bertanya, bagaimana nasib kemenyan itu. “Itu bagaimana?”. Tanya ku pelan, Fahmi menoleh ke yang lain. Panji kembali menoleh ke Pak Sakri. Syukurlah Pak Sakri seolah mengerti gelagat kami, bahwa kami berat melakukannya. “Yaudah kalian Sholat kan? Dirumah sholat juga kan?” Tanya nya. “Iya Pak sholat dong Pak, Insya Allah.” Jawab kami bangga. “Yaudah sini, saya pegang saja kemenyan nya, ga usah dibakar, berdoa saja, mohon perlindungan Allah, supaya sehat selamat sampai di rumah.” “Aaamiinn..” Aaahhh..Lega rasanya mendengar perkataan Pak Sakri tersebut, akhirnya kami tidak perlu melakukan ritual yang bertentangan dengan ajaran Agama kami itu. Kini kemenyan itu sudah berpindah tangan, dari tangan kami ke tangan Pak Sakri.
Tampilkan Semua