Tarian Sufi adalah sebuah bentuk dari Sama atau meditasi aktif secara fisik yang berasal dari kalangan Sufi, dan masih dipraktikan oleh ordo Dervish dan Mevlevi Sufi. Tarian tersebut merupakan sebuah tarian yang ditampilkan bersama dengan Sema, atau upacara sembahyang.
Tarian sufi atau tarian yang berputar-putar, kini makin akrab didengar di kalangan masyarakat. yang menarik dari tarian ini adalah tariannya yang berputar-putar tanpa henti. Dan tarian sufi ini lekat dengan pemikiran sufistik islam. Tak hanya itu, ada banyak filosofi dalam gerakan yang berputar-putar itu. yang sering terlihat melakukan tarian sufi adalah laki-laki, namun ternyata perempuan juga boleh melakukannya.
Tarian Sufi atau yang dikenal juga sebagai whirling dervishes dianggap dapat menjadi bagian dari meditasi diri yang kaitannya erat dengan Tasawuf. Hal inilah yang membuat para penari Sufi bisa berputar selama berjam-jam tanpa merasa pusing. Bahkan, karena banyak memiliki manfaat, tari Sufi juga banyak dilakukan oleh orang-orang dari negara lain.
Tarian berputar-putar yang biasanya menggunakan kostum jubah dengan ukuran besar. Faktanya, tarian sufi ini bukan hanya sekadar tarian seni yang sangat indah, tapi juga sarana untuk mendekatkan diri kepada Tuhan YME.
Gerakan tarian sufi yang berputar-putar sebenarnya tidak sesederhana kelihatannya. Nyatanya memang tidak bisa sembarang orang melakoni tarian yang disebut diciptakan dari wilayah Anatolia ini.
Dilansir dari laman Tour ke Turki, tari sufi atau yang juga dikenal dengan Whirling Dervish ini pertama kali dipertunjukkan oleh seorang filsuf dan juga penyair Mevlana Caleladdin Rumi atau Mawlana Jalaluddin Rumi.
Tiga orang menari berputar dan melingkar di tengah penonton. Mereka tengah mengabarkan puncak cinta yang abadi.
Ketika sorotan lampu mulai temaram, ketiga tubuh lelaki yang berpakaian putih-putih dan berpeci terubus bak Abu Nawas mulai menari berputar pelan mengikuti irama rampak rebana.
Makin lama, irama rebana dan perkusi yang diselilingi wirid itu makin cepat dan para penari Sufi itu pun semakin cepat berputar. Para penari itu terus berkeliling pada lingkaran kecil halaman itu menyeret langkah menandai ruang sempit yang melingkungi dirinya. Liuk kain yang merumbai memberikan kilau warna bercahaya yang indah ditatap.
Para penari terus saja berputar, yang ada hanyalah lengking tipis dari gitar listrik dan rebana yang ditabuh dengan suara yang kadang mengalun rendah. Suara gumaman dan senandung lirih yang sering terdengar pada tarian tradisional.
Sementara itu di panggung, tebaran tembang melentingkan nuasa kesyahduan bersama lantunan wirid yang diselingi dzikir. Semilir angin terasa menyapu sekitarnya. Sungguh, pemandangan malam itu membawa penonton pada suatu tempat di mana sebuah ritual kudus sedang digelar.
Memang, kekudusan di sini tak berpaut dengan sebuah prosesi keagamaan, tapi berkelindan dengan sesuatu yang lain: gerak dan ritme tarian sufi yang konsentrik. Sosok darwis dibentuk menyerupai mandala yang indah.
Tarian melingkar darwis bisa digambarkan seakan planet-planet di angkasa raya sedang berputar mengitari matahari. Gerak melingkar dan berputar seperti gasing itu juga menggambarkan upacara tawaf atau mengelilingi Ka’bah pada waktu orang Islam melaksanakan ibadah haji.
Energi gerakan memutar yang melingkar-lingkar di tengah penonton ini menggambarkan gagasan sentral ajaran tasawuf, yaitu musyahadah (penyaksian penuh kehadiran dan keberadaan yang Esa). Apa yang dilakukan para penari sufi ialah menghadirkan suasana kerinduan mistikal Sufi kepada yang Satu, kekhusyukan jiwa mereka yang sedang berdoa dan tafakur.
Kain yang merumbai, ketika mereka berputar bak jamur raksasa yang memancar cahaya putih penuh dengan pesan simbolik. Dan pesan dari warna simbolik itu dapat digunakan sebagai bentuk penggambaran tentang keriangan rohani dari jiwa yang kerinduannya kepada yang Satu telah terpuaskan.
Sekitar tigapuluh menit itu, para penari tak lelah berputar dan akhirnya mereka terjatuh. Satu orang penari masih berbaring sendirian, sementara kedua penari yang lain telah beranjak bergabung dengan jemaah yang melingkar itu.Sesosok tubuh penari yang terbalut kain putih itu tengah bersujud ke arah sang guru, menirukan salah satu gaya yoga.
Ia bersujud dengan punggung rata bagaikan sebilah anak panah yang terentang dalam busur. Ia diam selama beberapa menit, barangkali sedang bermeditasi, barangkali sedang menyatukan detak jantungnya dengan degup jiwa semesta.
Musik dengan bunyi-bunyian yang minim mengalun lembut, mengajak khalayak untuk membayangkan bunyi-bunyian itu sebagai suara tangis dan gumam sedih, apalagi dibarengi dengan lafadz dzikir yang menghiba-hiba memanggil asma-Nya semata. Beberapa saat kemudian ia bergerak, menggeliat pelan dan pertunjukan berakhir.
Bentuk tarian sufi sesungguhnnya merupakan khasanah peradaban Islam yang tiada taranya di Persia pada beberapa abad yang lampau. Kini, tarian sufi sudah sangat jarang dilakukan oleh sebagian golongan tarekat di Indonesia.
Salah satu thariqat yang mengajarkan muridnya tarian sufi, yakni thariqat Naqsabandiyah Haqqaniyah yang bermursyid Syekh Hisyam Kabbani Al Haqqani.
Padahal, kalau melacak dari kitab Sufi Matsnawi karya Syekh Jalaludin Rumi, kita akan mendapat beragam pesan yang ingin disampaikan dari tarian sufi itu. Dimana pesan itu secara parsial disusun sebagai jawaban terhadap lingkungan di mana ia bekerja.Rumi, menciptakan tarian dan gerakan-gerakan memutar di kalangan para muridnya.
Menurut riwayat, hal ini disebabkan temperamen lamban dan malas dari orang yang diajarinya. Apa yang disebut sebagai variasi doktrin atau tindakan yang ditetapkan oleh berbagai guru Sufi sebenarnya tidak lain merupakan penerapan dari aturan ini.
Dalam sistem pengajarannya, Rumi mempergunakan penjelasan dan latihan mental, pemikiran dan meditasi, kerja dan bermain, tindakan dan diam. Gerakan-gerakan “tubuh-pikiran” dari Para Darwis Berputar dibarengi dengan musik tiup untuk mengiringi gerakan-gerakan tersebut, merupakan hasil dari metode khusus yang dirancang untuk membawa seorang Salik mencapai afinitas dengan arus mistis, untuk ditransformasikan melalui cara ini.
Segala sesuatu yang dipahami oleh orang yang belum tercerahkan (orang biasa) memiliki kegunaan dan makna dalam konteks khusus Sufisme yang mungkin tidak terlihat sampai hal itu dialami. “Doa,” ucap Rumi, “memiliki bentuk, suara dan realitas fisiknya. Segala sesuatu yang memiliki kata (nama), memiliki padanan fisiknya. Dan setiap pemikiran memiliki suatu (bentuk) tindakan.”
Apa yang dipesankan dari bentuk tarian sufi, yang bermula dengan tarian memutar dan melingkar, kemudian berakhir dengan para penari yang bersimpuh diakhir pertunjukan, tampak pasrah, seolah mengirimkan pijar keajaiban sang murid yang ikhlas menerima pesan-pesan sang guru.
Yang kemudian bersetia pada kodrSimpedesat, untuk menerima berbagai pelajaran dan makna yang disampaikan oleh sang guru. Pentas ini cuma berlangsung sekitar 30 menit. Kendati demikian, aliran makna yang terpapar cukup padat.
Lewat lakon ini tarian sufi bertutur perihal hubungan yang agung antara sang murid dengan mursyid dalam meniti cinta menuju Tuhan. Percayalah, tarian sufi, tidak hanya menghibur, namun juga mampu menitipkan sebuah pesan yang dalam tentang gambaran kerinduan dan cinta yang abadi. (*)Aji Setiawan