Sementara itu, kaki Ki Supa menendang benda raksasa tersebut dengan sekuat tenaga sambil mengucap, “Duh Gusti!”
Benda semacam batu raksasa itu pecah menjadibeberapa bagian dan terpental ke arah selatan. Namun, ada pecahan batu sebesar kerbau yang tertinggal di dekat sumur Ki Supa. di kemudian hari, batu itu digunakan untuk batu nisan, tanda kuburan bagi Ki dan Ni Supa.
Karena Ki dan Ni Supa dianggap sebagai leluhur atau orang pertama yang trukah dan tinggal di tempat itu, kuburan tersebut kemudian dikenal orang dengan nama “Panembahan Waktu Kumpul”. Grumbul tempat Ki Supa tinggal diberi nama Grumbul Beras Wutah.
Bagaimana kelanjutan pecahan benda raksasa yang terpental ke arah selatan? Ternyata benda raksasa itu pecah menjadi empat bagian. yang terbesar, jatuh di pinggir laut selatan, di Desa Karangbenda. Benda itu jatuh menyerong dari selatan ke arah barat daya. Ketika benda itu jatuh, orang-orang yang tengah berkumpul, sedang memanen padi di sawah, berteriak, “Awas selok!” Selok maksudnya sela (bahasa jawa yang berarti ‘batu’).
Sekarang tempat tersebut dikenal orang dengan nama Gunung Selok.
Dua pecahan yang berukuran hampir sama, tetapi lebih kecil dari selok, jatuh secara bersebelahan berjajar di Desa Glempangpasir, sebelah timur Selok. yang satu dinamakan Gunung Kembar karena memang bentuk dan ukurannya hampir sama dengan gunung yang satunya, yakni Gunung Srandil.
Pecahan yang terakhir jatuh adalah pecahan yang paling kecil ukurannya. Pecahan itu jatuh di sebelah timur, tepat di samping gunung Selok. Karena bentuknya seperti tumpeng, nasi yang dibentuk seperti kerucut, biasanya untuk kenduri/selamatan, Pecahan itu diberi nama Gunung Tumpeng.
Dari keempat gunung, yang sebenarnya hanyalah bukit ini, yang paling terkenal adalah Gunung Srandil. Konon nama Srandil berasal dari kata Sranane Adil (bahasa Jawa) yang artinya ‘syaratnya harus adil’.