Singkat cerita, bundhel tersebut menjadi benda gaib yang turuntemurun. Dipegang oleh keturunan di dalam keluarga. Sampai suatu saat, bundhel tersebut dipegang oleh keturunan ke-33, yaitu Ki Anwar. Peninggalan pusaka bundhel bertahun-tahun dirawat oleh Ki Anwar, penduduk Desa Maoslor. Menjelang ajal, Ki Anwar bermaksud mewariskan bundhel tersebut kepada anak-anaknya. Namun, bag aimana dengan anak-anak Ki Anwar? Adakah yang sanggup menerima ta waran orang tua mereka?
Ternyata, tidak seorang pun anak Ki Anwar mau menerima karena beranggapan bahwa benda tersebut mengandung aliran dinamisme. Sementara, putra-putra Ki Anwar tidak ingin akidahnya ternoda oleh kepercayaan dinamisme. Ki Anwar saat itu sangatlah bingung, sedih mengingat umur yang sudah tua.
“Kepada siapa bundhel ini akan kuserahkan?” dalam keadaan bingung datanglah seorang abdi dalem bernama Ki Abu Hasan, sepupu Ki Anwar yang sudah lama mengabdi.
“Kanjeng, jangan bersedih! Suatu saat pasti ada penerus yang mampu mewarisi. Percayalah padaku, Kanjeng! Pasrahkan saja kepada Sang Pencipta.”
“Terima kasih, Ki Abu. Perkataanmu telah membuat hatiku sedikit lega.”
Tidak sampai satu tahun apa yang disampaikan Ki Abu Hasan menjadi kenyataan. Bahkan, ternyata Ki Abu Hasan sendiri yang menerima wangsit tersebut melalui mimpi-mimpi Ki Anwar. Secara gaib pula bundhel sudah ada di senthong kecil tempat Ki Abu Hasan bersemadi. Sejak saat itu banyak orang berdatangan ke rumah Ki Abu Hasan. Beliau dianggap sebagai sesepuh atau orang pintar. Mereka datang untuk meminta bantuan berbagai macam kesulitan hidup Bahkan mengobati orang sakit.
Dengan hati tulus, dilayaninya orangorang tanpa mengharap imbalan apa pun. Tidak terasa empat puluh tahun sudah Ki Abu Hasan memegang amanah tersebut. Beliau ingin mewariskan kepada anaknya. Dipanggilnya anak tertua karena sudah menjadi kebiasaan turun-temurun bahwa pewaris bundhel adalah anak laki-laki yang paling tua.
Tampilkan Semua