“Anakku, Tuslam. Umurku sudah tua. Mungkin hidupku tidak akan lama lagi. Bapak percaya kau pasti dapat memegang bundhel warisan leluhurmu!”
“Tidak Bapa. Bukan saya orang yang tepat untuk menerima bundhel itu. Berikan saja kepada yang mampu merawat dan menjaganya.”
Mendengar kakak kandungnya tidak mau menerima, datanglah putra Abu Hasan yang bungsu, yaitu Ki Hadi Prayitno yang terkenal dengan panggilan Hadi Rame. Dengan lantang ia berkata, ” Bapa, jika Kakang Tuslam tidak mau, saya siap melanjutkan jejak Bapa.”
Ki Abu Hasan masih menyangsikan putra bungsunya apakah mampu menjalankan amanah yang cukup berat. Apalagi dengan persyaratan yang tidak mudah. Mengingat usianya yang masih terlalu muda dikhawatirkan masih banyak memikirkan keduniawian. Oleh karena itu, Ki Abu Hasan masih memberi kesempatan kepada Ki Hadi Rame agar dipikirkan masak-masak.
Kemauan keras Ki Hadi Rame tidak dapat lagi dibendung. Beliau berpikir siapa lagi kalau bukan ia yang menerima. Kakak satu-satunya menolak dengan sangat tegas. Jangan sampai Bundhel Tlatah Maoslor lepas dari keluarga. Mulailah Ki Hadi Rame memenuhi seluruh persyaratan. Pada saat tapa yang dilakukan Ki Hadi Rame belum selesai, datanglah seorang pengembara dari Jawa Barat bernama Ki Slamet. Ki Slamet bertamu ke rumah Ki Abu Hasan dengan tujuan meminta bundhel warisan leluhur.
“Ki Abu Hasan, saya mendapat wangsit dari Mbah Platarklasa melalui mimpi. Sayalah yang berhak merawat bundhel melanjutkan tugas Ki Abu Hasan.”
“Apa maksud perkataanmu, Slamet?” tanya Ki Abu Hasan.
“Apa masih kurang jelas ucapan saya? Saya minta Ki Abu Hasan menyerahkan bundhel itu sekarang juga kepada saya! Saya sudah terbiasa merawat pusaka, percayalah kepada saya!”
“Oh, itu maksudmu?”