“Ayo bangkit! Maju terus! Kita berjuang sampai titik penghabisan.
Allahu Akbar, Allahu Akbar,” teriak para pejuang Adipati Wirapraja.
Daerah pertempuran berpindah ke sebelah timur Ciancang Ciamis. Mayat bergelimpangan di sisi sungai. Pasukan yang masih hidup mundur karena tidak mungkin dapat melanjutkan lagi perlawanannya. Namun, para pejuang tidak patah semangat. Bahkan, kejadian itu menambah rasa benci kepada Belanda. Semangat baru untuk mempertahankan negara tercinta ini timbul lebih hebat dari yang sudah-sudah.
Malam bertambah pekat, hujan mulai turun dengan derasnya sehingga serdadu Belanda tidak meneruskan perlawanannya ter-hadap pasukan kita. Pasukan kembali ke Kerajaan Dayeuhluhur.
Sepeninggal Adipati Wirapraja Raja Dayeuhluhur digantikan oleh Wiradika I (raja keenam). Wiradika I mangkat dilanjutkan oleh Wiradika II. Selanjutnya, Wiradika II dilanjutkan oleh Wiradika III dengan gelar Raden Tumenggung Prawiranegara. Beliau aktif dalam perang Diponegoro. Dengan wafatnya Adipati Wirapraja, perjuangannya diteruskan oleh cucunya, yaitu Raden Tumenggung Prawiranegara.
Para pejuang pada waktu itu tidak patah semangat. Bersama Tumenggung Prawiranegara, mereka ikut berjuang dengan pasukan Diponegoro. Hal itu diketahui oleh Belanda sehingga Belanda mengadakan patroli ke desa-desa untuk mencari Tumenggung Prawiranegara.
Pada suatu hari datanglah pasukan Belanda, sebagian mengendarai kuda, sebagian lagi mengendarai mobil baja. Mereka menyusuri jalan-jalan kecil di perdesaan lengkap dengan persenjataan. Para serdadu Belanda membakar rumah penduduk, lalu menangkap anak dan perempuan. Suasana desa menjadi kalang kabut. Para serdadu Belanda dengan semena-mena menyiksa para penduduk yang tidak berdosa dan dikumpulkan di suatu tempat. Dengan hilir mudik pemimpin Belanda marah-marah karena yang mereka cari tidak ada.
“Hei kamu pemberontak! Tunjukkan di mana pemimpinmu!” bentak pemimpin Belanda sambil memukulkan senjata ke kepala penduduk itu.
“Ampun, saya tidak tahu,” teriak penduduk dengan takutnya. “Kamu bohong!”