“Tidak tahan mengapa, Adik Bima?” tanya Puntadewa menanyai dengan suaranya yang lembut berwibawa.
“Kakang Bima, ada apa? Kau baik-baik saja kan?” tanya Arjuna menghampiri saudaranya yang berbadan tegap dan tinggi tersebut.
“Ssstt…! Tenanglah saudara-saudaraku. Aku baik-baik saja,” balas Bima dengan memberi isyarat pada saudara-saudaranya. Nakula dan Sadewa yang juga bingung hanya saling bertatapan tidak tahu harus berkata apa.
Bima tersenyum kecut dan mengangkat tangannya sebagai tanda isyarat. Bima segera menghambur ke arah semak-semak dan berdiri dibalik pohon. Tidak lama kemudian terdengar suaranya dari balik pohon tersebut.
“Aaahh, lega rasanya. Saudara-saudaraku, mari kita lanjutkan perjalanan,” kata Bima dengan senyum lebar. Saudara-saudara Bima hanya tersenyum melihat kelakuan Bima tersebut. Konon, air seni Bima tersebut menjelma menjadi aliran sungai yang cukup deras alirannya.
Tidak berapa lama berjalan tibalah mereka di sebuah desa. Na-mun anehnya, suasana di desa tersebut sangat mencekam. Seluruh penduduknya tidak ada yang berani ke luar rumah. Semua rumah penduduk tertutup rapat. Tidak terlihat aktivitas layaknya sebuah kehidupan desa yang tenteram. Pandawa heran dan penasaran dengan apa yang terjadi di desa yang belum mereka ketahui namanya tersebut.
“Apa gerangan yang terjadi?” Puntadewa atau Yudistira membu-yarkan keheningan.
“Kita coba mencari tahu saja dari penduduk, Kakang!” sergah Arjuna.
“Tetapi, tidak ada satu pun pintu rumah penduduk yang terbuka.
Kita hendak bertanya pada siapa, Adi?” lanjut Puntadewa gusar.
Mereka berlima terus berjalan menyusuri lorong desa yang sepi senyap itu. Mereka merasakan aroma anyir di mana-mana. Setelah beberapa lama mereka dihinggapi rasa penasaran dan gusar, sampailah mereka di sebuah gubuk yang pintunya terbuka sedikit. Dengan hati-hati Puntadewa selaku pemimpin Pandawa mengucapkan salam di depan pintu gubuk tersebut.
Tampilkan Semua