“Sampurasun, apakah ada orang di dalam?” tanyanya sopan dan lembut. Tidak ada jawaban dari gubuk tersebut. Puntadewa pun mengulangi salamnya. Bima yang sedari masuk wilayah tersebut sudah penasaran merasa sangat tidak sabar.
Ia hendak masuk ke dalam gubuk untuk mencari tahu apakah ada penduduk yang da-pat memberikan keterangan tentang keadaan desa yang sangat men-cekam tersebut. Ketidaksabaran Bima tersebut segera dicegah oleh Puntadewa dan Arjuna.
“Sabarlah, Adik Bima. Ayahanda dan ibunda mendidik kita untuk tahu adan sopan santun. Bukan begitu caranya bertamu. Aku mohon jagalah sikapmu!” cegah Puntadewa dengan penuh kewibawaan.
“Iya, Kakang Bima. Kita coba mengucap salam dahulu. Siapa tahu penghuni gubuk ini tidak mendengar,” tukas Arjuna dengan senyum mengembang menenangkan sang kakak yang tampak sudah tidak sabar tersebut.
Sementara itu, Nakula dan Sadewa hanya berdiri santun. Puntadewa mengulangi lagi salamnya untuk kali ketiga. Tidak berapa lama muncullah seorang lelaki renta dari arah belakang gubuk tersebut.
“Ada apa, Ki Sanak? Siapa kalian? Apakah kalian utusan Bakasura?” tanya lelaki itu dengan wajah ketakutan.
“Tenang, Ki. Kami datang dengan maksud yang baik. Perkenalkan, kami Pandawa. Putra Prabu Dewanata. Saya Puntadewa, mereka ini adik saya Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa,” jawab Puntadewa de-ngan tenang sembari memperkenalkan diri pada penghuni gubuk tersebut.
“Mau apa kalian datang ke desa ini? Desa ini hampir mati, Anak Muda. Bakasura menghabisi hampir seluruh penduduk desa. Ia sa-ngat tamak dan tidak berperikemanusiaan. Bahkan, kemarin ia su-dah memakan kepala desa kami. Pergilah kalian, pergilah sebelum Bakasuran memangsa kalian juga!” jelas lelaki tua tersebut.
“Aki, mohon maaf. Bolehkah saya tahu siapa Bakasura itu? Me-ngapa ia memangsa seluruh penduduk desa? Apa yang sebenarnya terjadi, Ki?” cecar Arjuna didorong oleh rasa penasaran yang teramat sangat.
Tampilkan Semua