Hari demi hari dilalui, waktu demi waktu dijalani dengan me-langkah dan melangkahkan kaki untuk mencari tempat yang dapat mengungkap arti kehidupan. Tanpa terasa sampailah Prabu Bawana Keling di Gunung Selok. di tempat itu dia merasakan suasana yang tenang dan nyaman untuk beristirahat dan Bahkan mungkin bertapa.
Dia lalu mencari tempat untuk melepaskan lelah. Setelah beberapa lama mencari, Sang Prabu mendapati sebuah batu lebar dengan penampang atas rata. Dia lalu menggunakan batu itu untuk tidur melepaskan lelah.
Batu yang digunakan untuk tidur oleh Prabu Ba-wana Keling itu kemudian dinamakan kanendran yang memiliki makna ‘tempat tidur raja’ (nendra: ‘tidur’, nalendra: ‘ratu/raja’).
Entah berapa lama Prabu Bawana Keling tertidur. Dia sangat merasa nyaman berbaring di atas batu tersebut. Ketika terbangun dia merasa lapar. Seakan tanpa disadari, Sang Prabu berguman.
“Hemm… tangi turu kaya kiye kok kencot, patute nek mangan tumpeng bosok karo ngombe degan klapa ijo, enak banget”. ‘Hemm… bangun tidur seperti ini kok lapar, alangkah enaknya jika makan tumpeng bosok (tupeng mogana) dan minum kelapa hijau muda, enak sekali.’
Ucapan Prabu Bawana Keling itu terdengar oleh seorang laki-laki separuh baya yang sedang mencari rumput. Zaman dulu lain dengan zaman sekarang. Zaman dahulu, ucapan seorang pertapa pasti diperhatikan oleh orang yang mendengarnya. Demikian pula laki-laki pencari rumput itu, ketika mendengar ucapan Prabu Bawana Keling, si pencari rumput langsung pulang.
Rumah si pencari rumput berada di grumbul (kampung) sebelah barat Sungai Serayu. Sesampainya di rumah, ia berkata pada istrinya.
“Yung, Yung, jagone disembeleh, karo beras sing paling maen. Siki gawea tumpeng bosok, aku tek ngepet degan klapa ijo.” ‘Bu, Bu, Sem-belihlah ayam jago, dan beras yang paling baik. Sekarang buatlah tumpeng bosok, aku hendak memetik kelapa hijau muda.’
Tampilkan Semua