Setelah berputar, dan bertanya sana sini, kami diarahkan ke sebuah desa, desa yang menurut saya cukup rapih namun terkesan sepi, karena sepanjang jalan, kami hanya menemui beberapa penduduk desa saja.
Sampai lah kami di ujung jalan desa ini, kami memarkirkan mobil yang kami sewa, di sebuah tanah lapang yang sepertinya sebuah kebun milik warga. Kami sempat kebingungan, karena ketika kami turun kami tidak melihat pos pendaftaran seperti yang terdapat pada jalur resmi pada umumnya. yang terlihat hanya rumah-rumah penduduk saja, yang sepi seperti tak berpenghuni. Sempat beberapa lama kami hanya terdiam karena tidak tahu harus kemana, tidak ada orang atau penduduk desa yang bisa kami tanya.
Sopir yang mengantar kami pun bingung, karena sepertinya ini juga kali pertama mereka mengantar pendakian lewat jalur ini. Setelah mencoba mencari-cari informasi, syukurlah tak berapa lama, kami langsung diarahkan ke sebuah rumah yang tidak jauh dari tempat kami memarkirkan mobil, kami langsung bergegas mengemasi barang-barang.
Tibalah kami di sebuah rumah berwarna biru muda yang sudah samar warna cat nya, “Dukuh Liwung” itu pertama kali yang kami baca, sebuah papan nama tertancap di atas atap depan rumah ini. Jujur saya pribadi tidak mengenal jalur ini, maklum saya ini bukan pendaki professional, hanya hobi menikmati alam. Panji, teman kami yang pertama kali memberitahukan kami, bahwa jalur yang akan kami lewati ini adalah Jalur Pendakian Legenda, dimana Soe Hok Gie menempuh jalur yang sama ketika mendaki gunung ini. Mungkin Panji pun baru mencarinya di google mengenai jalur ini.
Akhirnya kami dipersilahkan masuk ke sebuah rumah yang ternyata milik Juru Kunci Gunung ini. Panggil saja si Mbah, sosok lelaki tua, kurus namun terlihat masih sangat sehat di usianya yang pastinya sudah tidak muda lagi. Beliau duduk bersila di atas lantai rumah yang masih berbalut acian semen halus khas rumah desa. Dengan senyum nya si mbah menyambut kedatangan kami, yang hanya satu-satunya tamu di rumah ini pada hari itu..
Tampilkan Semua