Dengan langkah mantap Ranggasena dan keempat putranya meninggalkan Kerajaan Pajajaran. Rasa sedih karena harus berpisah dengan orang-orang yang dicintainya sudah tidak tampak di raut wajah. Mereka melangkah sambil bersenda gurau seakan tidak ada beban pada diri mereka.
Dalam pengembaraan itu, mereka tidak lagi mengenakan pakaian kerajaan. Kegemerlapan pakaian Kerajaan Pajajaran sengaja ditanggalkan agar identitas mereka sebagai putra Raja Pajajaran tidak diketahui orang. Mereka menyamar sebagai orang desa dengan pakaian yang sangat sederhana.
Hari demi hari, waktu demi waktu, Ranggasena beserta keempat putranya terus melangkah. Jalan terjal mereka lalui, hutan rimba penuh onak dan duri mereka sibak, tetapi tidak juga ditemui tempat yang pas seperti kehendak ayahandanya. Mereka tidak pernah menyerah, mengeluh, atau putus asa. Bahkan, tidak pernah sedikit pun terlintas rasa ingin pulang ke Pajajaran.
Tanpa terasa, dua tahun telah berlalu. Selama itu pula mereka telah mengembara dari satu tempat ke tempat lainnya. Pada saat itu Ranggasena beserta keempat putranya sampai di tengah hutan yang penuh dengan pohon besar. Daun-daunnya yang rindang seakan menjadi atap sebuah alam yang terbuka. di sela-sela kerindangan daun dan ranting terdapat banyak sarang burung yang menandakan kebebasan hidup burung di sana.
Sementara itu, dibalik pohon banyak hewan berseliweran ke sana-kemari. Tampak sekali jika hutan itu masih asli dan belum dirambah orang. Belum ada manusia yang berani datang atau tinggal di tempat itu. Barangkali, Rangasena dan keempat putranyalah manusia pertama yang menginjakkan kaki di hutan itu.
Hari mulai gelap, terlebih lagi hutan di tempat Ranggasena dan putranya beristirahat sangat lebat, lengkaplah kegelapan menyelimuti tempat itu. Ranggasena kemudian memutuskan untuk tinggal di tempat itu.
Tampilkan Semua