“Oh, tidak, Dinda. Adinda begitu baik kepada Kanda dan Dinda begitu menyayangi putra-putra Kanda,” jawab Raja kepada istrinya.
“Kalau begitu, apa gerangan yang Kakanda Prabu pikirkan? Mo-hon Kakanda Prabu berkenan menyampaikan segala sesuatu kepada hamba, mungkin hamba dapat membantu Kanda Prabu,” lanjut sang Istri.
“Oh, terima kasih, Dinda. Dinda sudah begitu perhatian kepada Kakanda.”
Prabu Niskala Wastu Kencana berkata dengan lirih, “Begini, Dinda Ratu. Usiaku sudah lanjut, Kanda sudah tidak mampu lagi memimpin kerajaan ini. Nah, untuk itu aku wariskan tahtaku kepada kedua putraku. Sebelah barat untuk Prabu Siliwangi dan sebelah timur untuk Dewa Niskala. Akan tetapi, aku masih memikirkan Gagak Ngampar yang menginginkan tahta Kerajaan Kawali. Aku ingin tidak ada perpecahan di antara mereka,” Prabu Niskala Wastu Kencana menyampaikan kegundahannya.
Niskala Wastu Kencana menghela napas panjang berusaha me-ngeluarkan beban yang ada dalam hati dan pikirannya.
“Oh begitu, Kanda Prabu?” Kedua permaisuri serempak men-jawab.
Semua hening dengan pikirannya masing-masing. Tiba-tiba se-orang permaisuri berkata, “Begini, Kanda Prabu. Menurut hamba, untuk menghindari perpecahan serta pertumpahan darah, sebaiknya Gagak Ngampar harus mencari sendiri daerah untuk dijadikan ke-rajaan, tetapi beri ia petunjuk dan bantuan.”
“Bagus sekali usulmu, Dinda. Sekarang suruh pengawal untuk memanggil Gagak Ngampar agar menghadapku.”
“Baik, Kanda,” jawab para permaisuri.
Permaisuri pun menyuruh salah satu pengawal untuk memanggil Gagak Ngampar yang saat itu sedang berlatih bela diri.
“Gagak Ngampar, Baginda menyuruhmu menghadap sekarang,” kata pengawal kepada Gagak Ngampar.
“Sekarang?” tanya Gagak Ngampar.
“Ya, sekarang juga. Baginda sudah menunggumu,” tegas sang pe-ngawal.
“Baiklah, aku akan segera menghadap,” dengan patuh Gagak Ngampar pun langsung bersiap-siap untuk menghadap.
Tampilkan Semua