“Jangan, begitu, Mamang. Ayo berdiri! Berdiri! Sekarang kita bersuten, nanti yang menang digendong!”
“Horeeeee, aku menang!” Gagak Ngampar berteriak dengan se-nangnya.
“Hah, Mamang kalah, Den,” gumam Mamang Lengser sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Mamang Lengser pun menggendong tuannya yang sangat di-sayanginya itu sambil bernyanyi. Tidak terasa sampailah mereka di suatu bukit yang letaknya strategis untuk dijadikan istana. Pada puncak bukit ini terdapat dataran yang cukup luas diapit oleh mata air dilindungi tebing curam untuk memudahkan pengawasan wilayah permukiman penduduk.
Sambil beristirahat Raden Gagak Ngampar berkata, “Wahai Para pengikutku, mulai hari ini kita tinggal di sini. Kita beri nama daerah ini Dayeuhluhur karena letaknya yang berada di dataran tinggi. Setuju semua?”
Semua serempak menjawab, “Setuju!”
Sejak saat itu dinobatkanlah Gagak Nsgampar sebagai raja per-tama di Kerajaan Dayeuhluhur. Pada waktu penobatan Mamang Lengser memulainya sambil berkomat-kamit, “reup angin reureuh heula di dieu rek aya beja jep sora jempe heula di dieu rek upacara.” Kalimat itu berarti ‘angin dari timur dan barat berhenti dulu di sini, di Keraton Salangkuning, Kerajaan Dayeuhluhur, mau diadakan penobatan Raja Gagak Ngampar’.
Gagak Ngampar dinobatkan menjadi Raja Kerajaan Dayeuhluhur.
Lalu mahkota sederhana dipakaikan pada kepala Gagak Ngampar. Mamang lengser membacakan janji Raja Gagak Ngampar yang disebut Rineksa Panca Satya. Rineksa Panca Satya merupakan lima dasar falsafah pedoman kehidupan masyarakat.
Satya pertama, Andika kudu ragragna kalakay di walungan Ci-jolang nepi ka walungan gede artinya ‘raja harus memiliki pemikiran yang luas dan menyeluruh serta bersikap adil dan bijaksana’.
Satya kedua, Andika ulah tangga ka gunung tapi kudu tungkul ka laut jeung sing jadi sigara kahirupan artinya ‘raja tidak boleh som-bong, tetapi semestinya rendah hati dan berkenan menampung se-gala permasalahan orang lain serta mau memberikan bantuan selagi masih menjalani kehidupan’.
Tampilkan Semua