“Saya sedang berburu, tetapi saya kehabisan perbekalan karena dicuri kawanan monyet tadi dan saya kelaparan.”
“Oh, begitu. Saya membawa bekal, tetapi hanya bekal nasi sayur seadanya. Kalau Anda berkenan, silakan ambillah!” tawar si gadis sambil menyodorkan bekalnya kepada Prabu Gagak Ngampar. Sang Prabu terkesima dengan kebaikan gadis itu.
“Kalau ini kumakan, lalu kamu makan apa?”
“Rumah saya tidak jauh dari hutan ini. Kalau lapar, saya dapat segera pulang dan makan di rumah. Silakan ambillah,” jawab si gadis. Prabu Gagak Ngampar pun menerima dan dengan lahap memakan perbekalan gadis itu.
“Terima kasih kamu sudah menolongku,” ujar Prabu Gagak Ngampar.
Kebaikan gadis desa tersebut menjadi awal perkenalan mereka. Selama perjalanan kembali ke Kerajaan Prabu Gagak Ngampar terkenang terus dengan kecantikan, kelembutan, dan kebaikan gadis itu. Ketika sampai di Kerajaan pun, ia terus melamun dan tersenyum mengingat gadis itu. Mamang Lengser terheran-heran. Ia bertanya dalam hati mengapa rajanya bersikap seperti itu. Tidak dapat me-nahan diri, ia pun bertanya kepada Raja.
“Wahai, anakku Prabu Gagak. Ada apakah gerangan mengapa sikapmu aneh seperti itu sejak pulang dari berburu?” tanya Mamang Lengser.
“Hemm, apanya yang aneh, Mang?” Prabu Gagak merasa gugup dan malu ketahuan oleh Mamang Lengser. Ia berusaha menyem-bunyikannya.
“Mamang tahu, Den. Mamang kan sangat mengenal, Aden. Jadi Aden tidak dapat membohongi Mamang,” kejar si Mamang agar Prabu Gagak menyampaikan perasaannya.
“Mamang, aku tadi bertemu dengan seorang gadis,” jawab Prabu Gagak dengan malu-malu.
“Wah, bagus sekali itu, Den. Aden memang harus segera menikah.
Lalu siapakah gadis itu?” tanya Mamang.
“Itulah, Mang. Aku lupa menanyakan namanya.”
Tampilkan Semua