Ketika Syekh Atas Angin menyapanya dengan salam, Raden Mundingwangi diam saja. Sebab, ketika itu ia belum memeluk Islam. Maka mereka pun kemudian terlibat dalam adu kesaktian. Karena kalah, dan mengakui keunggulan Syekh Atas Angin, Raden Mundingwangi pun bersedia masuk Islam. Sejak itu oleh Syekh Atas Angin ia diberi ilmu kewalian dan gelar Pangeran Wali Syekh Jambukarang.
Untuk menyempurnakan keislamannya, Pangeran Jambukarang menunaikan ibadah haji ke Mekah, dan pulang dari Tanah Suci ia dikenal sebagai Haji Purba. Konon, ia memiliki beberapa kekeramatan, antara lain kupluk atau pecinya dapat terbang, mampu menumpuk telur di udara, menggandeng bejana tempat air di angkasa.
Tak lama kemudian, Syekh Atas Angin diambil menantu oleh Pangeran Jambukarang, dinikahkan dengan salah seorang putrinya, Nyai Rubiahbekti. Dari pernikahan ini lahirlah tiga putra dan dua putri: Pangeran Syekh Mahdum Husen, Pengeran Mahdum Medem, Pangeran Mahdum Umar, Nyai Rubiahraja, dan Nyai Rubiyahsekar. Belakangan, Pangeran Jambukarang membuka sebuah pesantren di Purbalingga.
Setelah wafat, ia dimakamkan di puncak Gunung Cahya. Ada beberapa keturunan Syekh Jambukarang yang mengabdi di Kasultanan Demak. Sementara Pangeran Mahdum Husen, salah seorang putranya, punya peran dalam mengusir pasukan Kerajaan Pajajaran yang menyerang daerahnya. Sedangkan cucu Mahdum Husen, Syekh Mahdum Wali Prakosa, meneruskan pengabdian keluarganya di Kesultanan Demak.
Dialah yang membuat soko guru Masjid Demak bersama Sunan Kalijaga, yang salah satunya kemudian terkenal dengan nama soko tatal, karena terbuat dari sisa-sisa kayu. Dialah pula yang meluruskan arah kiblat Masjid Demak, sehingga Sultan Demak memberi piagam penghargaan kepadanya.(***) Aji Setiawan, Purbalingga
Tampilkan Semua