Ayat-ayat Al-Quran dan beberapa syair sufi yang terdapat pada beberap nisan itu pada dasarnya mempunyai tema umum, yaitu menekankan: “Hanya Allah yang ada dan Ia menentukan keinginan manusia.”Pada nisan Raja Malik Al-Salih terdapat puisi yang menyatakan: “Dengarlah, sesungguhnya dunia itu fana, dunia tidak abadi. Sesunggunya dunia itu bagaikan suatu jaring yang dianyam oleh laba-laba.” (Abdullah (ed.), 2002: 23)
Bukti di atas menggambarkan bahwa sejak abad ke-13 sampai ke-15 unsur sufi telah masuk di Pasai dan Malaka. Bahkan Sultan Alaudin Riayat Syah (w. 1488 M) disebut-sebut sebagai pengikut sufi.
Dalam Sejarah Melayu dan Hikayat Raja-raja Pasai, terdapat gambaran bahwa raja-raja mempunyai perhatian terhadap ajaran Insan Kamil dan mempelajari kitab seperti Durrul Manzhum atau Darrul Mazlum yang ditulis Maulana Abu Ishak dan dibawa muridnya, Maulana Abu Bakar ke Malaka. (Abdullah (ed.), 2002:23).
Meski tasawuf telah mempunyai pengaruh antara abad 13 sampai dengan abad ke-15, namun baru pada abad ke-16 dan ke-17 ajaran Tasawuf berkembang secara jelas di Asia Tenggara. Hal itu dapat diketahui dari hasil karya tasawuf pada abad tersebut.
Di Jawa, ditemukan primbon abad ke-16 dan kitab Wejangan Syekh Bari dari abad ke-16. Syekh Yusuf Al-Makassari sekembalinya dari Timur Tengah banyak menulis kitab tasawuf, seperti Zubdatul Asrar, Tajul Asrar, Mathalibus Salikin, dan lain sebagainya.
Di Aceh pada sekitar abad ke-17 muncul tokoh sufi seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin Al-Sumatrani, Nuruddin Al-Raniri, dan Abdur Rauf Sinkel. Hamzah Fansuri dan muridnya, Syamsuddin Al-Sumatrani adalah penganut faham wahdatul wujud Ibn Arabi.
Sebaliknya Nurudin Al-Raniri dan Abdur Rauf Singkel adalah penantang Wahdatul Wujud. (Abdullah (ed.), 2002: 23! Mastuki dan Ishom El-Saha (ed.): h.160).
Tampilkan Semua