Satu demi satu pekerjaan terselesaikan dengan gotong-royong. Kebersamaan itu telah menghasilkan wujud nyata. Ranggasena dan Kiai Ngabei Tangerang dan sebagian penduduk bertugas membangun pendapa dengan kayu dari hutan itu juga. Anak-anak Ranggasena pun mendapat tugas masing-masing. Salah satunya adalah membangun jalan kadipaten. Setiap hari, seakan tanpa lelah, mereka menjalankan tugas mereka sehingga pembangunan dapat terselesaikan dengan cepat.
Pendapa kadipaten telah berdiri megah. Rumah-rumah di sekitar pendapa itu pun sudah berdiri dan siap dihuni. Jalan-jalan juga sudah dapat dilalui. Semua terselesaikan dengan rapi dan lancar tanpa satu pun halangan. Boleh dikatakan sebuah kadipaten telah berdiri, tetapi pemerintahannya belum berjalan karena belum ada pimpinan yang tetap.
Suatu hari, Kiai Ngabei Tangerang, Ranggasena berserta anak-anaknya, dan penduduk berkumpul di pendapa. Mereka berembuk tentang nama yang baik dan pas untuk kadipaten yang mereka dirikan. Selain itu, mereka juga berembuk tentang siapa yang patut menjadi pimpinan, menjadi adipati. Rembukan itu berjalan dengan baik dan lancar. Rembukan dalam suasana kekeluargaan itu akhirnya menyepakati bahwa Ranggasenalah yang patut menjadi adipati. Untuk memberi nama kadipaten memang terjadi banyak pendapat. Ada yang mengusulkan namanya tetap Penyayang.
Namun, ada yang menyanggah bahwa nama itu sudah menjadi nama salah satu desa. Ranggasena kemudian angkat bicara. Ia mengusulkan kadipaten itu diberi nama penyarang. Nama itu ia ambil karena, ketika belum dibangun kadipaten dan masih berupa hutan, tempat itu banyak sarang burung dan hewan lainnya. Pertemuan itu akhirnya membuahkan kesepakatan tanpa ada pertentangan. Secara aklamasi mereka memutuskan nama kadipaten yang baru mereka bangun adalah Kadipaten Penyarang. Mereka juga sepakat mengangkat Ranggasena menjadi Adipati Penyarang.
Tampilkan Semua