Kiai Ngabei Tangerang menerangkan dengan rinci semua keadaan di hutan itu. Dari tutur katanya tampak sekali bahwa sebenarnya dia bukan orang sembarangan. Sebenarnya, Kiai Ngabei Tangerang adalah seorang yang sudah tersohor ke mana-mana sebagai seorang ahli agama. Selain itu, dia juga dikenal sebagai seorang yang memiliki ilmu kesaktian. di hutan itu dia hidup bersama dengan dua orang anaknya, yaitu Tejalamat dan Megalamat.
Setelah mendengar penjelasan Kiai Ngabei Tangerang yang cukup rinci, Ranggasena mencoba menjelaskan kembali asal muasal mengapa mereka sampai di hutan itu. Akan tetapi, ia tidak menceritakan bahwa dirinya adalah putra Prabu Ciung Wanara, Raja Pajajaran. Hal itu ia lakukan agar Kiai Ngabei Tangerang tidak curiga pada mereka. Memang, sebagai orang tua dan berilmu, Kiai Ngabei Tangerang tidak menaruh curiga sedikit pun terhadap Ranggasena dan anak-anaknya.
Namun, tetap saja ada orang yang tidak suka atas kedatangan Ranggasena. Hal itu sesuai juga dengan cerita Kiai Ngabei Tangerang bahwa di Penyayangan masih ada perselisihan kecil karena perebutan lahan atau perbedaan pendapat. Ia sudah berusaha mencari cara agar mereka tidak saling bermusuhan, tetapi belum berhasil.
Kondisi penduduk seperti itu menggerakkan hati Ranggasena untuk membantu Kiai Ngabei Tangerang. Dalam hati ia bertekad untuk dapat menyatukan mereka. Oleh karena itu, ia memantapkan diri untuk tinggal di Hutan Penyayangan.
“Kiai, jika Kiai tidak keberatan, saya beserta anak-anak mohon diterima di tempat ini untuk membantu dan berguru kepada Kiai,” tutur Ranggasena kepada Kiai Ngabei Tangerang.
“Heheheh… Kalau membantu dan tinggal bersama, dengan senang hati saya menerima, tetapi untuk berguru, ilmu apa yang dapat saya berikan?”
“Saya percaya, Kiai memiliki ilmu hidup dan kehidupan yang tidak kami miliki,” kata Ranggasena meyakinkan Kiai Ngabei Tangerang.
Tampilkan Semua