Suasana tenang di hutan itu membuat Ranggasena dan keempat putranya merasa nyaman. Mereka merasa betah tinggal di tempat itu. Apalagi bagi Ranggasena, ia meyakini bahwa tempat itu adalah tempat yang dimaksudkan oleh ayahandanya. Keyakinan itulah yang membuatnya bertahan. Sehari, dua hari, dan sampai berhari-hari mereka belum menemukan tanda-tanda adanya orang lain yang mau tinggal di tempat itu. Namun, ketika berjalan-jalan di sekitar hutan,
Ranggasena dan putranya dikejutkan oleh adanya sekelompok orang yang berada di tengah hutan.
“Siapa mereka? Hemm… tampaknya memang sudah ada orang yang terlebih dahulu tinggal di hutan ini,” guman Ranggasena dalam hati sambil melangkah menghampiri mereka.
“Salam, Ki Sanak,” sapa Ranggasena kepada mereka sambil menyalami satu per satu.
“Maaf, kami mengganggu. Perkenalkan nama saya Ranggasena dan ini keempat anak saya. Kami pengembara yang kebetulan sampai di tempat ini dan merasakan betapa tenteram dan asrinya hutan ini.”
“Selamat datang, Ki Ranggasena. Semoga berkah Tuhan menyertai pengembaraan Ki Rangga,” jawab seorang yang paling tua dalam kelompok itu.
“Terima kasih, Ki. Maaf, bagaimana kami harus menyebut Kiai?”
“Oh, ya, sampai lupa memperkenalkan diri. Saya Ngabei Ta ngerang. Mari, silakan singgah ke gubuk saya. Tidak enak kita berbincang sambil berdiri seperti ini,” Kiai Ngabei Tangerang mem persilakan.
Setelah mereka masuk dan duduk, Kiai Ngabei Tangerang melanjutkan ceritanya, “Oh, ya, kami ini adalah penduduk asli di hutan ini.
Kebetulan, saya yang paling tua dan dituakan oleh mereka. Mereka memanggil saya Kiai Ngabei Tangerang. Kami sudah cukup lama tinggal di Hutan Penyayangan ini.”
“Hutan Penyayangan?” tanya Ranggasena.
“Ya, ya, itu sekadar nama yang saya buat untuk menyebut tempat ini. Nama itu saya pilih karena hutan ini banyak pohon besar dan rindang, banyak binatang yang tidak pernah saling bermusuhan, dan berbagai jenis burung yang hidup dan bersarang di sela ranting pepohonan. Hutan dan semua binatang itu hidup berdampingan tanpa ada permusuhan seakan hidup saling menyayangi. Oleh karena itulah, hutan ini saya namai Hutan Penyayangan.”
Tampilkan Semua